Indonesia Gelap, demikian narasi yang muncul dalam aksi massa di beberapa kota mengkritik pemerintahan Prabowo-Gibran selama 100 hari terakhir. Prohealth.id mencatat, viralnya #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu adalah inisiasi warganet atas carut-marut kebijakan pemerintah sekarang. Tagar ini pun menggiring kelompok mahasiswi berdemonstrasi di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta dalam sepekan ini.
Beberapa tuntutan warganet dan aksi massa #IndonesiaGelap seperti meminta kaji ulang efisiensi anggaran yang menyangkut pelayanan publik. Desakan lainnya yakni mengkaji ulang program makan bergizi gratis (MBG) yang disinyalir sebagai ‘biang kerok’ dari krisis ekonomi saat ini.
Untuk mendapat penjelasan lebih detail tentang situasi anggaran Indonesia saat ini, tim Prohealth.id mewawancarai Yenti Nurhidayat selaku Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Anggaran (PUSKAHA) Indonesia. Berikut kutipan wawancara eksklusif tersebut.
Apa saja catatan kritis PUSKAHA Indonesia berkaitan dengan 100 hari Prabowo-Gibran?
Ya, apa yang terjadi sekarang itu, dia tidak berdiri sendiri. Ini adalah akumulasi dari persoalan-persoalan di belakang, atau warisanlah. Dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Termasuk misalnya utang.
Apa saja sih warisan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Joko Widodo yang membebani pemerintahan saat ini?
Misal, bunga utang tinggi dan itu juga jadi beban, terlebih di zaman Jokowi itu ambisi Jokowi itu ada PSN (Proyek Strategis Nasional), IKN (Ibukota Nusantara). Semua itu membebani keuangan negara, karena model pembiayaannya multilayer. Jadi, karena multilayer pasti meninggalkan beban.
Adakah beban yang datang justru dari janji politik pemerintah saat ini?
Nah itu, yang kedua, adalah memang ambisi Pak Prabowo sendiri sebenarnya. Pak Prabowo ini kan selama ini, banyak ‘dimusuhi’ oleh aktivis, organisasi masyarakat sipil, terkait dengan kejadian 1998. Itu adalah salah satu dosa politik Prabowo yang selalu diingat-ingat oleh semua orang. Nah sehingga kemudian, kalau menurut kami beliau itu ingin menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang merakyat dan nasionalis. Itu brand yang ia inginkan.
Jadi dia ingin membuat antitesis, ya?
Iya, meng-antitesis dari tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh banyak kelompok terkait dengan kasus 1998 itu. Maka dia menampilkan diri sebagai sosok hero, pembela rakyat, dan lain-lain. Nah, ketika dia menampilkan sosok yang berpihak pada rakyat kecil itu, maka kemudian visi dan misi dia terbaca arahnya kesana.
Apakah maksud Anda, program makan bergizi gratis ini salah satunya?
Betul. MBG juga salah satu brand yang utama dari Prabowo untuk menjawab persoalan kemiskinan rakyat. Jadi misalnya, persoalan stunting, gizi buruk, SDM rendah. Semua itu kemudian kesimpulannya bahwa akarnya ada di persoalan gizi. Kemudian ketika bicara ingin menuju Indonesia Emas, maka memperbaiki anak-anak masa depan solusinya adalah perbaikan gizi.
Apakah PUSKAHA sepakat dengan kesimpulan soal penuntasan stunting misalnya, melalui MBG?
Ya, secara program ya iya. Kami di Puskaha pun sepakat dengan itu. Bahwa untuk memperbaiki generasi Indonesia salah satunya adalah gizi. Makan siang bergizi bagi kami program yang cukup baik. Namun karena dua faktor tadi, ambisi yang terlalu besar, kemudian latar belakang kondisi anggaran yang terbebani oleh banyak utang dan sisa-sisa ambisi dari presiden sebelumnya akibatnya di fiskal tidak mencukupi untuk itu. Namun persoalannya, Pak Prabowo sudah terlanjur janji karena itu brand utamanya dia. Brand besarnya dia, terlanjur diucapkan. Mau tak mau beliau tidak bisa menarik ludahnya sendiri, janjinya sendiri, untuk tidak melakukan itu. Itu sebabnya di 100 hari, MBG menjadi hal yang harus dikerjakan, dipaksakan, apapun situasi keuangan kita.
Sebenarnya situasi APBN kita separah apa sih?
Kalau kita lihat pembayaran bunga utang saja, sudah hampir sepertiga dari APBN lho. Jadi terbayang APBN yang ribuan triliun kalau sepertiga saja habis bayar utang, terutama itu baru bayar bunga utang. Apa yang akan terjadi dengan yang lain-lain? Untuk kebutuhan MBG itu kan besar banget,
Bagaimana mengatasi situasi yang bentrok antara terlanjur janji dengan keuangan yang tipis ini?
Maka untuk mengatasi persoalan keuangan kemudian ada dua sisi yang di intervensi. Sisi pendapatan dan sisi belanja. Secara prinsipil, PUSKAHA pun setuju. Memang keduanya itu harus diintervensi. Toh, kajian-kajian sebelumnya juga mengatakan (anggaran) dioptimalkan atau bisa diperbesar. Sisi belanja kita harus diefisienkan. Jadi secara prinsipil iya, tetapi kemudian, yang kami kurang sepakat adalah pilihan untuk intervensinya.
Bagaimana maksud Anda dengan pilihan intervensi itu?
Jadi, ketika kita mau memperkuat sisi pendapatan, dan kemudian mengefisienkan sisi pengeluaran maka yang harus jadi pegangan itu Pasal 23 UUD 1945. Isinya bahwa, keuangan negara itu harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Nah, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat ini, ekspekstasi semua orang bisa berbeda juga. Pemerintah bisa bilang, ini kami lakukan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat kok. Semua upaya ini supaya rakyat makmur, Indonesia Emas tercapai. Lalu kemudian pilihannya adalah kita sepakat bahwa pendapatan pajak dan PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak) harus diperbesar tetapi pajak siapa yang sebenarnya harus diperkuat?
Apakah ini yang menurut Anda ada kaitannya dengan rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen tahun lalu?
Iya, karena akhirnya pemerintah kemudian mencoba mengambil jalan yang paling mudah. Daripada mengurus pajak 10 persen orang terkaya Indonesia, lebih baik memajaki 90 persen rakyat. Itu lebih gampang karena metodenya melalui pungutan pajak yang tanpa harus berdebat, itu bisa dilakukan. Makanya pilihannya PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Ya, karena PPN ini dari dulu sudah kena tetapi masyarakat tidak sadar. Sekarang saja baru ada tulisan kalau belanja di supermarket ada tulisan PPN 11 persen. Dulu semua sudah included dalam produk yang dibeli. Yang Terbayang kan, kalau 1 orang saja belanja minimal Rp 50 ribu, 10 persen anggaplah, itu sudah Rp 5 Ribu per orang, per hari. Rakyat Indonesia hampir 350 juta. Sekarang tinggal dikalikan saja. Rp 5 Ribu kalo 350 juta per hari, per 360 hari, itu uang yang besar sekali. Persoalannya kemudian, PPN dipungut oleh kelompok bisnis yaitu perusahaan. Pertanyaannya, dari perusahaan ke negara apakah 10 persen selama ini betul sampai ke mereka? Betul dilaporkan atau tidak? Nah, itu yang jadi problemnya.
Apa tanggapan Anda soal problem PPN yang belum optimal itu?
Ya kalau menurut kami, ini yang harus dijaga, harus ditekan. Ya, okelah pajak rakyat PPN 10 persen lebih, tetapi benar-benar masuk ke kantong negara ya. Tanpa harus ada potongan-potongan, tanpa harus digelapkan, oleh perusahaan-perusahaan. Yang terjadi kan selama ini tidak begitu. Sisi pengusahanya itu dilonggarkan.
Jadi menurut PUSKAHA ada tendensi pengusaha itu dimanjakan ya? Dikasih kelonggaran tetapi tidak ada jaminan PPN rakyat sampai ke negara?
Betul. Kalau kita mau tracking saja bisa data PPN, itu kan ada. Kemudian kalau mau hitung kasar seperti tadi. Misal Rp5000, kalau 300 juta rakyat Indonesia, kali 365 hari, itu berapa nilainya? Lalu cek, berapa yang masuk ke negara? Itu kan sebenarnya bisa di-tracking sebagai perbandingan. Sesederhana itu logikanya. Hasilnya sama tidak? Sebanding tidak? Kalau tidak sebanding, hilangnya dimana? Ya pasti di tengah, di kelompok orang yang memungut PPN ini. Sayangnya, kebijakan terhadap perusahaan ini dilonggarkan dengan berbagai insentif. Kalaupun digelapkan, kemudian mereka (pengusaha) dikasih keringanan. Bawa uangnya ke negara bebas pajak, jadi pengemplang pajak. Nah, sebenarnya itu yang harus diperbaiki. Nah sisi itu yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Yang ada pemerintah berpikir, perusahaan kontribusinya besar untuk tenaga kerja, untuk ekonomi, dan lain-lain.
Padahal soal pajak untuk pengusaha dan orang kaya sudah ada pengampunan pajak dulu. Bagaimana tanggapan Anda?
Untuk pengusaha dengan kasih insentif, tax amnesty (pengampunan pajak). Efektif? Kan tidak. Amnesty tujuannya untuk orang-orang kaya melaporkan kekayaannya. Namun pengusaha dan orang kaya tidak sebodoh itu juga. Sekali mereka melaporkan, ketahuan dong uangnya berapa, ya mereka tidak bisa aneh-aneh lagi. Jadi, kebijakan kemarin tidak efektif. Sisi itu yang abai.
Apakah ada indikasi kebijakan yang selama ini tidak selaras dengan tujuan Undang-Undang kita?
Di Pasal 23 Ayat 1 tadi, tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat kemudian hilang. Itu dari sisi pendapatan, masih banyak lagi rencana Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), menaikkan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Itu semua menyasar dari sisi pendapatan. Lalu siapa yang terbebani? Yang terbebani 90 persen masyarakat Indonesia yang miskin dan menengah. Sementara kekayaan Indonesia itu dipegang oleh 10 persen orang kaya itu. Mestinya, orientasi pemerintah kalau mau sebesar-besarnya untuk rakyat, atau Pak Prabowo ingin menunjukkan dia adalah pelindung rakyat Indonesia yang kecil seharusnya orientasi dia memperbaiki yang itu paling tinggi tingkat kebocorannya yang maka dikuasai oleh 10 persen (orang kaya).
Apa yang menurut analisa atau dugaan Anda langkah tegas ini tidak diambil oleh Prabowo?
Mungkin ya karena ada politik sandera-menyandera antara politisi dan pengusaha. Kedua, politisinya juga merangkap sebagai pengusaha. Jadi itu problem. Kalau misalnya hal itu dibenahi dengan benar oleh Pak Prabowo, saya yakin kondisi kita tidak akan seburuk sekarang.
Bagaimana tanggapan PUSKAHA rencana efisiensi dari anggaran kementerian dan lembaga?
Nah dari sisi belanja, efisiensinya juga tidak tepat. Ide efisiensi PUSKAHA setuju karena kajian-kajian lama sudah menunjukkan ada 30-40 persen kebocoran di sisi belanja. Bahkan pemerintah juga mengakui, Bappenas bilang ada kebocoran 30 persen. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) juga bilang kebocoran 36 persen. Kajian di INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), CELIOS (Center of Economic and Law Studies) dan PUSKAHA sendiri yang melihat di anggaran daerah lebih banyak bocornya. Kalau INDEF dan CELIOS lihat di anggaran pemerintah pusat. Itu sekitar 40 persen, karena kami cek anggaran daerah kebocorannya. Artinya ini adalah satu gejala yang terjadi di semua lini. Nah, ketika efisiensi diwajibkan, efisiensi itu kemudian tebang pilih. Pertama, kementerian mana yang ditebang itu, erat kaitanya dengan kementerian mana yang menjadi backbone dari pemerintah sekarang. Itulah sebabnya Kepolisian, TNI, DPR, Kementerian Agama itu tidak dipotong. Kalau menurut PUSKAHA, golongan kementerian teknis yang berhubungan sama rakyat itu dipotong semua.
Adakah usulan PUSKAHA soal efisiensi ini agar tepat sasaran?
PUSKAHA melihat seharusnya kalau pemerintah mau melakukan efisiensi, harusnya melakukan pada kementerian non teknis, karena itu yang menghabiskan uang paling banyak dari sektor prioritas. Misalnya, apakah kita sedang dalam situasi perang sehingga anggaran pertahanan tidak diturunkan? Kalau kita lihat kan beberapa tahun terakhir, anggaran terbesar itu Pertahanan, Kepolisian, dan lain-lain. Apa gunanya? Terus tujuannya apa? Kalau memang tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat seharusnya pilihannya kementerian teknis jangan dipotong. Terlebih jika melihat dari visi Indonesia Emas. Sektor pendidikan sebagai amanat konstitusi saja sudah 20 persen. Sekarang betulkah masih dapat 20 persen? Lalu sektor kesehatan, sosial, yang berhubungan dengan ekonomi, perumahan itu yang sektor yang dibebaskan dari potongan. Ini memang pilihan yang sulit, semua orang tidak ingin efisiensi. Bahkan kalau bisa jangan ada efisiensi. Lebih tepatnya mendorong upaya efektivitas agar uangnya tetap segitu dan didorong lebih efektif.
Salah satu gugatan masyarakat khususnya warganet juga soal gemuknya porsi kabinet. Bagaimana tanggapan PUSKAHA?
Memang Pak Prabowo itu sebaiknya melakukan perampingan kabinet. Kami memaklumi bahwa ada keinginan membalas budi pada semua orang. Tetapi tidak harus dengan cara mengorbankan kepentingan dan anggaran yang membuat kebutuhan masyarakat terganggu. Sekarang kan yang gemuk ini saja sekitar 48 KL (kementerian/lembaga). Nah, itu baru KL, belum non KL ada banyak sekali. Kami cek hampir 100-an KL dan non KL. Dari situ jadi terbayang struktur menteri, wakil menteri, stafsus. Ini yang bagi kita, apa sih, model influencer itu menjadi stafsus. Apa sih? Kalau pak Prabowo mau berdiri bersama rakyat, mau benar-benar berdiri sama rakyat tidak perlu influencer. Karena rakyat kita ini cepat dalam hal memviralkan. Sebenarnya netizen kita kan sangat proaktif. Kalau untuk meminta dukungan rakyat, ya tanpa harus ada influencer harusnya sudah proaktif dengan rakyat kita saja.
Dari persoalan efisiensi dan perampingan kabinet, ada lagikah rekomendasi urgen dari PUSKAHA Indonesia?
Rekomendasi ketiga dari PUSKAHA adalah efisiensi harus dilakukan pada pos-pos belanja aparatur. Kalau melihat struktur belanja pemerintah ada belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja hibah dan lain-lain. Belanja pegawai itu adalah gaji ya. Nah, gaji ini bukan mau dipotong, tetapi berdasarkan yang ada saja. Jadi sebenarnya gaji itu aman, yang agak ngaco sebenarnya adalah di belanja non pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, belanja yang ditujukan untuk rakyat. Itu alokasi pos aparaturnya tinggi, sekitar 40 persen kebocoran ada disitu.
Adakah temuan dari PUSKAHA sebelumnya soal hal ini?
Contoh program stunting. Itu kemudian di dalamnya kalau melihat DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), kalau di judul program dan kegiatan tidak akan kelihatan. Kalau DIPA baca dokumen menunjukkan ada berapa kali rapat, dimana, dan kemudian ada perjalanan dinasnya, ada honor pembicara, kemudian masih ada lagi misalnya, kostum tertentu. Kemudian ada, SPJ-nya. Bagian itu yang dipotong karena kalau kita bilang cara menyisirnya dari dokumen DIPA itu sampai ke satuan rincian obyek kegiatan. Nah, itu kalau dilakukan akan besar efisiennya. Kalau kita bicara ada temuan anggaran untuk stunting itu, waktu zamannya Jokowi, anggaran stunting ternyata yang sampai ke publik hanya 30 persen. Di DIPA itu kelihatan. Itu yang seharusnya disisir dan dipotong. Permasalahannya, Pak Prabowo bilang semua harus efisiensi ya, KL kemudian tebang rata. Itu artinya semua direktorat kena. Nih misalnya Kesehatan efisienkan 30 persen, lalu Kemenkes mengatakan pada direktorat jenderal masing-masing terkena efisiensi 30 persen. Akibatnya program dibawahnya juga kena efisiensi 30 persen.
Jadi ada pos-pos yang selama ini sangat terbuang sia-sia, ya?
Kalau kita cek satu per satu di DIPA memang sangat butuh waktu dan kesabaran ada banyak hal yang sepertinya tidak perlu. Contoh, mobil dinas kantor sudah ada. Jadi aparatur cukup memakai mobil kantor untuk dinas dari Jawa Barat mau ke kota Bandung, ujung Sukabumi, tidak perlu ada biaya perjalanan dinas lagi. Model seperti itu yang harus disisir. Selain pembelian mobil, ada juga untuk mebel, ATK. Nah, itu semua dikurangi saja. Kalau perlu jangan beli mobil misalnya jika tahun lalu sudah beli mobil, jadi buat apa beli mobil lagi? Kan rentang usia mobil 5 tahun, buat apa harus beli lagi. Kalau sudah ada ya sudah, apalagi selama ini juga ada biaya perawatan. Kalau sampai mobil dinasnya belum 5 tahun sudah rusak maka kita bertanya, biaya perawatannya selama ini dipakai buat apa? Ini memang butuh itikad untuk menyisir itu. Yang terjadi tidak begitu. PUSKAHA mengamati pemerintah cenderung main tebang rata, sehingga kemudian yang dibawah-bawah juga main tebang rata. Jadi orang kemudian berpikir, program kegiatan stunting dengan pemberian vitamin lewat posyandu, yang dipotong pembelian unit vitamin bukan perjalanan. Bukan rapat yang dipotong tetapi jumlah vitaminnya. Jadi semua rapat dipotong setengah, vitamin juga setengah. Harusnya bukan vitamin yang dipotong, tetapi biaya-biaya persiapan. Misal rapat sudah ada, rapat di kantor.
Sedang ramai juga belakangan soal BUMN. Apa rekomendasi PUSKAHA berkaitan dengan ini?
Memang awalnya tidak banyak disinggung, tetapi kami dari PUSKAHA mengusulkan saat ini kurangi dulu pembiayaan untuk BUMN. Selama ini investasi untuk BUMN sangat tinggi. Kami mengolah data investasi BUMN setiap tahun, karena BUMN diberikan tambahan investasi. Tetapi pendapatan dari BUMN itu tidak sebanding dengan uang hasil investasi. Indonesia sudah berapa puluh tahun ada BUMN. Ada BUMN usianya sudah 20 tahun, ada yang 30 tahun, itu setiap tahun masih dapat investasi. Lalu keuntungan baliknya berapa? Kami kemarin mendata ya, untuk 2023 misalnya, investasi pada BUMN dan BLU itu Rp 94,6 triliun. Kemudian, penerimaan investasinya hanya Rp 25,8 triliun. Itu tidak sampai separuh dari investasinya. Jadi, bayangan saya, Anda, bahkan orang kaya pun, kalau mau investasi di sebuah usaha yang bertahun-tahun mendapatkan uang tetapi tida untung balik, pilihannya apa? Jangan invest lagi.
Bukankah investasi ini bentuk dukungan pemerintah pada BUMN yang memberikan pelayanan publik?
Memang betul ada BUMN yang mengambil tanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik, misalnya PLN, Telkom. Namun itu perlu di-cek karena kenaikan tarif listrik misalnya, cenderung diam-diam saja. Karena sekarang belanja listrik model token. Contoh beli token Rp 100 ribu dapat sekian Kwh, watt, tiba-tiba beli Rp 100 ribu sekarang malah turun Kwh-nya. Masyarakat tidak tahu. Beli pulsa Telkomsel dengan 3 GB, 4 GB, bisa untuk satu bulan dan harganya dulu tak sampai Rp 50 ribu. Sekarang, belinya sudah hampir Rp 150 ribu untuk 1 bulan. Itu masyarakat tidak pernah tahu rinciannya. Karena model jual token dan jual paket, perubahan itu membuat orang kalau pun dia kesal yay tetap beli saja. Beda kalau misalnya beli bensin, itu kelihatan dari harganya berapa. Kalau model pulsa, token, kenaikan luar biasa hanya saja rakyat tidak tahu. Nah, seharusnya coba kaji benarkah BUMN ini merugi? Sudah banyak temukan kajian, PUSKAHA juga melakukan kajian pada BUMN, karena sebenarnya mereka tidak rugi. BUMN ini bisa memberikan keuntungan pada pendapatan negara. Namun yang terjadi, standar gaji BUMN sangat tinggi, orang yang duduk di BUMN adalah orang-orang yang ditugaskan oleh partai. Ini hubungannya sama partai. Jadi, orang-orang untuk perlu berbalas jasa kepada partai ditempatkan disana, yang itu kemudian menjadi ATM politik oleh politisi.
Lagi-lagi, karena ada faktor ‘cawe-cawe’ ya di BUMN?
Iya, selagi seperti gitu lebih baik kurangi dululah investasi untuk BUMN. Atau pilihlah BUMN yang sehat, dan prioritas untuk pelayanan pada publik. Ini tidak banyak yang menyoroti. Padahal diam-diam terjadi saat ini Undang-undang BUMN sedang direvisi, bahkan sudah disetujui meski belum diundangkan saja. Nah, ini adalah bagian yang tidak kita sadari, tidak kita waspadai sebagai masyarakat.
Jika berkaitan dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diduga menjadi salah satu masalah besar saat ini, apa tanggapan PUSKAHA?
Menurut kami, program MBG memang perlu ditinjau ulang. Programnya bagus, tetapi, tepat sasarankah program ini kalau ditujukan bagi 19,47 juta penerima manfaat se-Indonesia. Menurut kami, akan lebih tepat dengan menimbang juga kondisi fiskal kita. Pada tahap awal karena uang belum cukup, berikan MBG ini untuk anak didik yang tidak mampu. Selama ini yang terlihat di media, yang diangkat cerita anak yang di rumahnya tidak pernah makan enak, lalu saat dia menerima itu (MBG), dia sangat senang. Itu yang tepat! Jadi kalau orangnya tepat, dia akan senang menerima MBG itu. Tetapi kalau orang yang tidak tepat dia akan merasa, aduh, makanan ini tidak sesuai sama yang di rumah. Karena toh orang tuanya bisa menyajikan makanan yang lebih enak dari yang disajikan. Lalu nanti berapa banyak makanan yang kemudian terbuang? Karena tidak enak, tidak sesuai, dan lain-lain. Itu sebenarnya yang perlu ditinjau ulang. Kalau misalnya, penerima manfaat adalah anak didik yang dari kelompok miskin dan rentan misalnya, maka tidak akan sampai sebanyak 19,47 juta itu.
Pewawancara: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post