Dalam 100 hari kerja Kabinet Merah Putih kepemimpinan Prabowo-Gibran, ada beberapa implementasi kerja dan janji yang belum tercapai. Pasalnya, terdapat banyak program prioritas pemerintah yang menjadi sorotan salah satunya adalah komitmen pada energi terbarukan.
Berawal saat Prabowo menghadiri kegiatan internasional, ia berpidato di acara APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil. Prabowo mengatakan di hadapan para peserta dan kepala negara untuk berkontribusi pada net zero emission. Ia menyatakan kepemimpinan Indonesia mengatasi perubahaan iklim global dan transisi energi terbarukan dengan cara menghentikan PLTU batubara dalam 15 tahun ke depan. Ia juga menjanjikan akan mencapai 100 persen penggunaan energi terbarukan dalam 10 tahun mendatang serta akan mencapai swasembada listrik.
Institute for Essential Service Reform (IESR) memandang timbulnya semangat pemerintah untuk mencapai kemandirian energi dan mencapai nol emisi harus memiliki rencana jangka panjang. Apalagi Presiden Prabowo menargetkan net zero dari target semula yaitu tahun 2060 menjadi 2050. Artinya, Presiden Prabowo menginginkan 10 tahun lebih cepat.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, transisi energi merupakan proses yang panjang. Namun keputusannya harus segera, agar memberi waktu untuk penyusunan perencanaan energi yang terintegrasi dan implementasi yang terukur. Keberanian Prabowo dan Gibran untuk melawan status quo, kepentingan yang mempertahankan energi fosil, serta berbagai alasan untuk mengerdilkan upaya transisi energi, menjadi syarat agar meraih ketahanan dan swasembada energi yang selaras dengan Asta Cita.
Sesuai ambisi presiden menghentikan operasi PLTU di 2040, kajian IESR menemukan pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini dapat mulai pada 105 unit PLTU (25 GW). Aksi ini berkontribusi terhadap hampir setengah pengurangan emisi kumulatif pembangkit listrik on-grid. Adapun keseriusan pemerintah bisa mulai dengan membangun langkah taktis. Contohnya; mempercepat pembangunan 9 GW energi kapasitas terbarukan di tahun ini.
Fabby menegaskan, komitmen presiden untuk pensiun dini PLTU batubara pada 2040-2045 harusnya juga dengan penghentian pembangunan PLTU captive. Upaya mempertahankan penggunaan batubara yang kotor dengan menggunakan teknologi CCS/CCUS yang belum teruji dapat menurunkan emisi secara signifikan.
“Ini harus dibandingkan efektivitas hasil dan biayanya, dengan pilihan pemanfaatan energi terbarukan. Tentu yang lebih bersih, murah dan pasti memangkas emisi,” ujar Fabby.
Sayangnya, konsistensi ucapan Presiden Prabowo tidak sejalan dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang terbit pada November 2024. Justru masih mempertahankan pencapaian target net zero di tahun 2060, bukan 2050. Lalu puncak emisi di 2035, bukan di 2030. Selain itu, RUKN juga masih memuat rencana pembangunan PLTU hingga 2035.
Fabby juga menambahkan agar pemerintah perlu secara serius mencermati tren pasar global yang menuntut produk barang maupun jasa yang rendah emisi. Hal ini menuntut listrik yang bersih dan rendah karbon. Kemampuan negara menyediakan listrik rendah karbon akan menentukan daya tarik investasi sebuah negara.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya lapangan tanding yang setara untuk pemanfaatan energi terbarukan, dengan mengurangi subsidi energi fosil secara bertahap.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada tahun 2024, pemerintah menghabiskan anggaran Rp386,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi fosil, termasuk BBM, LPG, dan listrik, yang 87 persen listrik berasal dari energi fosil. Sementara, penggunaan energi fosil, termasuk BBM berkualitas rendah telah meningkatkan beban biaya kesehatan hingga Rp1,2 triliun pada 2023 untuk wilayah Jakarta saja akibat tingginya polusi. Selama 100 hari ini, pemerintah Prabowo-Gibran masih belum memiliki strategi penurunan subsidi energi kotor dan mengatasi dampak harga energi jika subsidi dikurangi secara bertahap dan dibuat tepat sasaran.
IESR menilai pengembangan biodiesel di masa Presiden Prabowo Subianto sebagai upaya mewujudkan kemandirian energi, perlu hati-hati, bijaksana dan memperhatikan trade-off. Tingginya permintaan minyak sawit (CPO) sebagai bahan baku BBN berpotensi memicu pembukaan lahan kelapa sawit baru. Hal ini yang dapat meningkatkan deforestasi, merusak ekosistem, dan menyumbang emisi gas rumah kaca yang signifikan.
“Untuk mengurangi risiko tersebut, IESR mendorong diversifikasi bahan baku biodiesel ke sumber-sumber lain guna mengurangi ketergantungan tinggi pada minyak sawit, “ ungkap Fabby.
Penulis: Ahmad Khudori
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post