Penolakan atas program Makan Bergizi Gratis (MBG) terjadi di Papua awal tahun ini. Dalam pantauan Prohealth.id, pada Senin 3 Februari 2025, ratusan siswa di Yahukimo, Papua Pegunungan, menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG). Anak-anak ini monolak makan bergizi gratis, karena memilih beasiswa pendidikan gratis.
Prohealth.id juga mencatat ada 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo, Jawa Tengah, mengalami keracunan usai menyantap menu makan bergizi gratis pada Kamis, 16 Januari 2025 lalu. Kejadian ini membuat pemerintah memperketat standar operasional prosedur (SOP) untuk setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Untuk itu, SPPG harus menyimpan sampel makanan selama 2×24 jam. Sehingga kalau ada kejadian yang tidak diinginkan proses pelecakan penyebabnya lebih cepat dan cermat.
Program MBG menjadi salah satu Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) dari periode kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto. Menurutnya, program utama ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, sejak resmi pada 6 Januari 2025 MBG harus menjangkau lebih dari 92 juta anak balita, anak sekolah, santri, serta ibu hamil dan menyusui.
Bersamaan dengan polemik yang terus muncul tentang program ini, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), meluncurkan Seri Kedua Kajian Makan Bergizi Gratis di i-Hub Coworking Space, Jakarta Pusat, pada Kamis, 6 Februari 2025. Kajian pertama terbit pada 2024 lalu dengan kajian seputar anggaran untuk program prioritas ini.
CEO CISDI, Diah S. Saminarsih menilai program MBG ini berjalan belum optimal akibat lemahnya transparansi, akuntabilitas, sampai tata kelola. Kondisi ini menurut Diah terjadi akibat lemahnya keterlibatan masyarakat sipil dalam program tersebut. Selain itu, terkesan amat terburu-buru seperti membangun candi dalam semalam. Akibatnya, program MBG makin rentan bagi kesehatan target penerima manfaat maupun bagi stabilitas anggaran. Tak heran jika dalam waktu singkat belum menunjukkan dampak yang baik.

Diah mencatat kelemahan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai penanggung jawab utama program MBG. Pasalnya, BGN masih lemah dari sisi kewenangan dan kapasitas teknokratik.
“Literasi kesehatan di Indonesia masih rendah. Oleh karenanya perlu aturan yang kuat dalam implementasi MBG. Kerangka aturan itu seharusnya setara Perpres [Peraturan Presiden],” ujar Diah.
Kewenangan BGN masih timpang-tindih dengan kewenangan lembaga lain dalam program MBG. Ketidakjelasan inilah yang menurut Diah berpotensi menyulitkan kolaborasi lintas sektor secara harmonis dan tepat sasaran. Contoh saja, belum terlihat keharmonisasi komunikasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan komunitas. Orientasi program MBG masih sangat terbatas hanya kepada tingkat kecepatan realisasi ketimbang dampak dan kualitas program.
Dari sisi anggaran, pemerintah hendak menambah sampai Rp100 triliun untuk program ini. Sayangnya, belum ada basis bukti yang kuat unit biaya per porsi makanan untuk siswa PAUD sampai dengan SMA.
“Pelibatan masyarakat sipil untuk program MBG juga terbatas. Akibatnya tidak ada kanal pelaporan untuk evaluasi, dan testimoni MBG.
Catatan kritis atas masalah transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola ini menurut Diah akibat belum ada metode pertanggung jawaban yang jelas terkait program MBG kepada publik.
Sebagai contoh, perlu ada kanal yang jelas untuk melaporkan evaluasi program MBG. Sebab seharusnya MBG menjamin pemenuhan nutrisi dan keamanan pangan bagi anak-anak. Sementara, dalam temuan media yang dicatat oleh CISDI, banyak implementasi MBG menyediakan jenis ultra-process food atau makanan siap saji, maupun makanan dengan kandungan garam, gula, dan lemak (GGL) yang tinggi.
“MBG seharusnya masuk dalam revisi UU Gizi dan memiliki PP sendiri sebagai turunan dari UU Gizi,” jelas Diah.
Namun, merevisi UU Gizi dan membuat aturan setara PP tentu memakan waktu yang panjang. Sayangnya, pemerintah tak mau mengambil jalan kesabaran membuat UU dan PP. Inilah yang diduga menjadi penyebab implementasi justru tak seideal harapannya.
Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene menjelaskan pro dan kontra terhadap program yang baru rilis bukan hal yang baru. Dalam rapat terakhir Komisi IX dengan BGN pada 3 Februari 2025 lalu, memang ada banyak catatan kritis terkait implementasi program yang berjalan sejak 6 Januari 2025 lalu. Meski demikian ada sisi positif yang menjadi celah optimisme yakni anak-anak mudah bersosialisasi selama makan siang bersama.
“Catatan CISDI itu memang tepat, karena ini [MBG] program baru BGN. Struktur juga baru dibuat. Anggaran Rp71 triliun tidak cukup, tambahan 100 triliun,” ujar Felly.

Ia membenarkan bahwa kesimpulan rapat Komisi IX DPR RI pun sepakat program MBG berjalan dengan mengeluarkan Perpres. Keputusan ini mengingat butuh waktu lama jika harus mengeluarkan revisi dari Undang-Undang Gizi.
Sementara itu dari segi anggaran, saat ini Komisi IX belum sepakat untuk menaikkan anggaran program MBG sampai Rp100 triliun. Felly beralasan, anggota Komisi IX masih meninjau efektivitas dari program anggaran sebelumnya yang sebesar Rp71 triliun.
“Kami sudah sampaikan saat rapat 3 Februari, anggaran Rp71 triliun baru 0,8 persen terserap karena mereka masih harus mempersiapkan segala sesuatu, tetapi sudah jalan,” kata Felly.
Felly mengakui masih ada masalah kesehatan berkaitan dengan lingkungan bersih, cerdas atas keamanan pangan. Untuk itu temuan dalam kajian CISDI bisa menjadi masukan positif untuk BGN.
Sementara itu, Badiul Hadi selaku Manajer Riset dari Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyatakan, program MBG pasti memakan anggaran yang sangat besar. Untuk itu, tanpa mengutak-atik anggaran APBN, pemerintah sebenarnya bisa mengecek dari porsi anggaran di Pemda.
“Misalnya, kita bisa memanfaatkan dana BUMDes. Karena persoalan utama saat ini sebenarnya dari sisi perencanaan dan transparansi. Transparansi dan akuntabilitas program MBG ini sangat lemah,” ujarnya.
Badiul menyoroti hal paling fundamental yang tidak tersingkap adalah dokumen induk untuk implementasi program MBG. Hal ini menimbulkan dugaan, pemerintah tidak siap dengan program MBG. Alhasil, rancangan anggaran berubah terus-menerus.
Konsekuensi dari tata kelola anggaran yang tidak jelas ini bisa menjadi boomerang bagi pemerintah karena celah korupsi makin besar. Oleh karenanya perlu mekanisme monitoring dan fungsi kontrol yang baik.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali mengatakan program MBG adalah program yang mulia. Sayangnya, program ini membutuhkan dukungan multipihak, mengingat kompleksitas program.
“Kita harus menjaminan keamanan pangan, kelengkapan gizi, sanitasi, makanan sisa, kesehatan, dan dampaknya,” ujar Pungkas.

Dalam peluncuran riset CISDI tersebut, Pungkas mengingatkan program MBG membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melihat hasilnya. Namun setidaknya, ada 139 negara di dunia yang sudah menjalankan program sejenis dengan target jangka panjang. Contoh saja Jepang sudah melaksanakan program serupa hampir 150 tahun. Ada juga Finlandia yang telah melaksanakannya selama lebih dari 40 tahun.
“Perilaku itu berubah tidak bisa cepat, dan dampak baru bisa terasa 90 tahun kemudian.”
Evaluasi Kinerja, Peningkatan Kapasitas
Ketidaksempurnaan program MBG juga yang mendorong pemerintah berusaha terus berinovasi. Salah satunya dengan meresmikan National Centre of Excellence (NCoE) Makan Bergizi Gratis (MBG) di IPB University, Selasa (11/2/2025) lalu. Program ini adalah hasil gagasan Kementerian PPN/Bappenas dan Badan Gizi Nasional (BGN) bersama IPB University serta UNICEF Indonesia. Misunya besar; memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan siap bersaing di masa depan.

Menteri PPN/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, menegaskan MBG bukan hanya soal gizi, tapi juga tentang masa depan bangsa. Ia menegaskan program MBG memiliki tujuan utama untuk membangun generasi sehat, cerdas, dan produktif dengan beberapa tujuan khusus.
“Pertama, pemenuhan gizi ibu hamil dan menyusui, balita, dan anak sekolah. Kedua, meningkatkan prestasi, partisipasi pendidikan dan kehadiran siswa, serta mengurangi anak putus sekolah. Ketiga, meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, nelayan, pelaku UMKM, dan koperasi. Keempat, menciptakan lapangan kerja dan pengurangan beban penduduk miskin,” ujar Rachmat.
NCoE MBG: Pusat Kolaborasi Multi-stakeholder
NCoE MBG bukan hanya pusat koordinasi, tetapi juga pusat riset, inovasi, dan pelatihan. Dengan melibatkan akademisi, industri pangan, pemerintah, serta organisasi masyarakat sipil, NCoE MBG akan merancang model terbaik dalam implementasi MBG di berbagai daerah.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menegaskan keberhasilan MBG bergantung pada data dan riset yang kuat. “Kami ingin memastikan setiap kebijakan berbasis bukti, sehingga benar-benar berdampak bagi kesehatan masyarakat,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa pendirian NCoE ini adalah bentuk komitmen konkret terhadap ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, NCoE MBG ini adalah langkah strategis memastikan MBG tidak hanya berjalan secara efektif, tetapi juga berkelanjutan.
NCoE MBG juga akan menjadi pusat edukasi, memastikan bahwa kesadaran tentang pentingnya gizi seimbang tidak berhenti di meja makan, tetapi juga tertanam di masyarakat luas.
“Kami ingin lebih dari sekadar memberi makan, tetapi juga membangun budaya makan sehat,” tambah Dadan.
Selain pusat unggulan di IPB University, beberapa Regional Centre of Excellence (RCoE) akan dibangun di berbagai daerah untuk mendukung implementasi MBG di tingkat lokal. IPB University, sebagai pengelola utama NCoE, berkomitmen mengoptimalkan sumber daya akademik dan fasilitas penelitian dalam mendukung program ini.
Rektor IPB University, Arif Satria, mengungkapkan kesiapan IPB dalam membangun ekosistem penyediaan pangan yang melibatkan Bumdes, koperasi, dan kelompok tani. “Kami juga mengembangkan model dapur berbasis karakteristik lokal, memastikan standar gizi dalam menu MBG, serta berinovasi bersama berbagai pihak,” tambahnya.
Dukungan Internasional dan Peluncuran Panduan MBG
Perwakilan UNICEF Indonesia, Maniza Zaman, menyambut baik inisiatif ini sebagai bagian dari pendekatan komprehensif dalam meningkatkan pertumbuhan anak-anak di Indonesia. “Kami mendukung pusat ini untuk menghasilkan bukti intervensi yang hemat biaya dan berdampak tinggi, terutama bagi kelompok rentan,” katanya.
Dalam acara peluncuran ini hadir pula Buku Rekomendasi Penyelenggaraan Program MBG. Buku ini adalah kerja sama antara Kementerian PPN/Bappenas, BGN, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serta UNICEF, dengan dukungan kepakaran dari IPB University.
Peluncuran NCoE MBG yang bersamaan dengan peluncuran Buku Rekomendasi Penyelenggaraan Program MBG, menjadi panduan implementasi di lapangan. Dengan ekosistem yang terus berkembang dan pendekatan berbasis sains melalui NCoE MBG, harapannya program makan bergizi gratis ini tidak hanya berorientasi pada penyaluran makanan sehat. Namun juga menciptakan ekosistem berkelanjutan untuk memastikan setiap anak Indonesia tumbuh dengan gizi yang cukup, siap menghadapi masa depan, dan berkontribusi bagi bangsa.
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post