Jakarta, Prohealth.id – Dalam peluncuran riset terbaru, dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang bertajuk Efek Crowding-out Konsumsi Tembakau di Indonesia dan Efek Kemiskinan Akibat Konsumsi Tembakau di Indonesia ditemukan bahwa penduduk miskin adalah kelompok masyarakat yang paling dirugikan secara jasmani dan rohani oleh rokok.
Riset Efek Crowding-out Konsumsi Tembakau di Indonesia menyebut rata-rata keluarga dan rumah tangga perokok gunakan 10,89 persen anggaran bulanan untuk membeli rokok. CISDI menyebut rumah tangga dengan perokok rata-rata lebih sedikit belanjakan anggaran untuk kebutuhan lain selain rokok.
I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D, Principal Investigator riset CISDI menjelaskan berkurangnya belanja kebutuhan pokok rumah tangga akibat belanja rokok disebut efek crowding-out. Kehadiran efek ini berdampak buruk terhadap rumah tangga. Dengan kata lain, keluarga perokok mengurangi anggaran rumah tangga untuk komoditas lain, seperti makanan, pakaian, pendidikan, hingga kesehatan untuk membeli rokok.
“Riset kami menunjukkan, rumah tangga dengan pengeluaran untuk rokok cenderung memiliki asupan kalori harian lebih rendah, dibandingkan yang lain,” tutur Dewa di Hotel Borobudur, Jakarta, 30 Agustus 2022 lalu.
Berdasarkan simulasi CISDI menunjukkan penurunan belanja rokok sebesar 50 persen, dari Rp407.285 menjadi Rp203.643, berpotensi tingkatkan belanja kebutuhan pokok, seperti beras, sebesar 14 persen atau dari Rp266.099 menjadi Rp338.142.
“Singkatnya, mengurangi belanja rokok akan tingkatkan anggaran untuk pemenuhan nutrisi dan kebutuhan pokok lain yang dapat dinikmati seluruh anggota keluarga,” tutur Dewa.
Vid Adrison, Ph.D, pemapar riset kedua Efek Kemiskinan Akibat Konsumsi Tembakau di Indonesia menekankan distorsi angka kemiskinan yang ditimbulkan konsumsi rokok dalam rumah tangga.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan jumlah pengeluaran rumah tangga untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga, termasuk menentukan keluarga berada di bawah garis kemiskinan atau tidak. Adapun pengeluaran rumah tangga mencakup kebutuhan dasar makanan dan non makanan. Kebutuhan dasar makanan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan 2100 kkal per kapita per hari.
“Ada 52 komoditas yang digunakan termasuk tembakau yang tidak memberikan kalori. Itu berarti, sebagian masyarakat yang hampir miskin sebetulnya tidak bisa memenuhi kebutuhan minimum 2100 kkal jika sebagian pengeluarannya dialokasikan untuk konsumsi tembakau,” tambah Vid.
Dia melanjutkan, selain ada pengeluaran untuk tembakau, ada juga alokasi dana yang harus dikeluarkan akibat dampak negatif konsumsi tembakau, misalnya biaya kesehatan. Akibatnya, bagi sebagian masyarakat yang hampir miskin, uang yang tersisa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori minimum.
“Namun begitu, mereka tidak tercatat sebagai masyarakat miskin. Inilah yang disebut sebagai ‘ilusi kesejahteraan’” lanjut Vid.
Dengan demikian, apabila belanja tembakau dan biaya kesehatan akibat tembakau dikeluarkan dari perhitungan total pengeluaran rumah tangga, angka kemiskinan pada 2021 bisa meningkat dari 10,14 persen menjadi 13,37 persen atau setara dengan penambahan 8,8 juta orang dari 1,9 juta rumah tangga. Kedua riset ini akhirnya menunjukkan bahwa upaya pengendalian tembakau dapat berdampak positif pada upaya penanganan kemiskinan di Indonesia.
Arya Swarnata, Research Associate CISDI menyatakan langkah-langkah pengendalian tembakau yang efektif dibutuhkan untuk mendorong pengurangan belanja tembakau rumah tangga yang sia-sia, yang dapat berkontribusi dalam penanganan kemiskinan.
Berdasarkan catatan kedua peneliti tersebut, CISDI merekomendasikan beberapa usulan kepada pemerintah.
Pertama, mengalokasikan penerimaan cukai rokok untuk program-program kesehatan dan pendidikan, khususnya untuk populasi berpendapatan rendah. Kedua, meningkatkan tarif cukai tembakau dan harga jual eceran minimum untuk turunkan keterjangkauan rokok. Ketiga, melakukan simplifikasi struktur tarif cukai rokok untuk mengurangi variasi harga rokok dan untuk mencegah substitusi konsumsi ke produk yang lebih murah.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post