Jakarta, Prohealth.id – Bahaya rokok elektronik tidak banyak disosialisasikan tanpa peran sesama remaja untuk menginformasikan bahaya produk tembakau yang dipanaskan tersebut.
Media Officer Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Ni Made Shellasih menyatakan bahwa anak muda memang menjadi target industri rokok. Dengan mereka yang mulai merokok sejak remaja, mereka diharapkan akan menjadi generasi yang kecanduan pada rokok sehingga akan menjadi konsumen tetap dalam jangka panjang bagi industri rokok.
“Pada masa remaja, mereka cenderung mengikuti tren, termasuk rokok dan mereka juga masih mudah terpengaruh oleh sesuatu yang baru, unik dan menarik. Segmen pasarnya juga luas dan terbuka serta rentang waktu perokok yang panjang sehingga pabrik rokoknya mungkin bahkan memperoleh keuntungan yang lebih besar jika memang sudah dimulai dari remaja untuk merokok,” ungkap Shella dalam workshop “Klinik Persma: Menyoroti Lemahnya Regulasi Penjualan Rokok Elektrik” oleh AJI Jakarta pada Minggu, 20 November 2022.
Tingginya prevalensi perokok elektronik pada anak muda, menjadi kesempatan bagi pers mahasiswa untuk dapat berperan dalam mengedukasi anak muda yang kini menjadikan rokok elektronik sebagai tren. Shella mengatakan, pers mahasiswa yang bergerak dibidang akademis dinilai memiliki andil dalam menyebarluaskan literasi pengendalian konsumsi rokok baik konvensional maupun elektronik. Pers mahasiswa dapat mengedukasi anak muda melalui pemberitaan yang dikemas secara menarik melalui konten media sosial maupun melalui kajian-kajian yang diadakan secara bekerjasama dengan organisasi-organisasi kampus dalam mendorong Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di kampus.
“Pers mahasiswa dapat memberikan informasi yang jelas dan benar ke publik sehingga tidak memberikan celah atau lubang hukum yang bisa dieksploitasi industri rokok. Di sini peran persma juga bisa mengekspos fakta dan mitos itu sendiri melalui sosial media dan melalui forum-forum kajian. Selain itu, persma bisa bekerjasama dengan organisasi-organisasi kampus dalam mendorong KTR dengan melihat dasar hukumnya serta melakukan aksi dan kampanye. Mungkin dalam menyampaikannya bisa menerapkan elemen-elemen yang komunikatif serta kreatif,” ujar Shella.
Lebih lanjut, Shella mengatakan, peliputan tentang pengendalian rokok pada anak muda menjadi suatu pembelajaran baru bagi persma. Menurutnya, isu tersebut yang juga belum banyak diteliti dapat dikaji oleh persma dengan melakukan wawancara dengan para ahli akademis di bidang kesehatan, ekonomi dan sosial dalam peliputannya. Namun ia juga mengingatkan agar persma selalu berhati-hati dalam membuat pemberitaannya karena banyak sumber-sumber informasi tentang rokok elektronik yang tersebar di internet yang keliru.
“Mahasiswa juga bisa membuat liputan-liputan yang berisi wawancara ahli bidang kesehatan, ekonomi dan sosial terkait dengan pengendalian konsumsi rokok terutama rokok elektronik karena ini mungkin isu yang baru bagi teman-teman dan belum banyak penelitian-penelitian di luar sana, sehingga mungkin ini bisa dikaji juga dengan liputan-liputan yang berisi wawancaranya,” ungkap Shella.
Meski begitu, jurnalis persma harus lebih berhati-hati dalam mengambil sikap saat menemui berita baru yang didapat dari internet khususnya di medsos. Sebab, tidak jarang informasi tentang rokok elektronik yang beredar merupakan berita-berita yang tidak benar.
“Maka teman-teman persma harus berhati-hati dalam mengambil sumber yang akan dibagikan,” sambung Shella.
Menurut Shella, pemberitaan tentang pengendalian konsumsi rokok oleh persma dapat dilakukan dengan memonitoring rokok konvensional dan elektronik serta kebijakan pengendalian di kampus yang masih hanya sebatas mengatur KTR untuk rokok konvensional. Peliputan ini dapat dilakukan melalui survei atau investigasi kecil.
“Tingginya prevalensi perokok elektronik pada anak muda disebabkan oleh strategi promosi industri dimana rokok elektrik digadang-gadangkan sebagai cara untuk berhenti merokok tembakau dengan risiko yang lebih rendah. Padahal studi di Amerika Serikat menyatakan bahwa pengguna rokok elektronik cenderung menjadi dual user dibandingkan dengan yang tidak pernah menggunakan rokok elektronik,” demikian pernyataan Oktavian Denta dari Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC).
Menjadi jurnalis independen dan berpihak pada kepentingan publik
Dosen UPN Vetertan Jakarta Dewanto Samodro mengatakan persma dapat mewujudkan independensi jurnalis dengan melakukan peliputan pengendalian rokok. Menurutnya, cukai penerimaan negara yang besar dari produk hasil tembakau saat ini menunjukkan adanya kegagalan dalam pengendalian tembakau oleh pemerintah karena tujuan dinaikkannya cukai setiap tahun adalah untuk menekan prevalensi konsumsi rokok di Indonesia.
“Independensi sebagai jurnalis adalah bebas, termasuk bebas memiliki keberpihakan yang mana dan keberpihakan jurnalis itu adalah pada kepentingan publik. Begitu juga dengan pengendalian tembakau, dengan fakta yang menyatakan bahwa saat ini cukai penerimaan negara dari produk tembakau tinggi, sehingga menunjukka kegagalan dalam pengendalian tembakau. Maka jurnalis dalam memberitakan pengendalian tembakau memiliki keberpihakan pada kepentingan publik,” ujar Dewanto.
Menurut Dewanto, terdapat berbagai tema dan angle dalam isu pengendalian tembakau karena dalam peliputannya akan melibatkan banyak pihak. Adapun temanya tersebut dapat berupa isu kesehatan, ekonomi, politik, hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan agama.
“Dalam isu kesehatan jelas terdapat dampak negatif rokok yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Kemudian dalam isu ekonomi bisa membahas tentang cukai rokok atau informasi produksi industri setiap tahun. Pada isu politik bisa membahas tentang UU Kesehatan dengan mewawancari Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan. Pada isu hukum bisa membahas revisi PP 109 tahun 2012. Dan pada perlindungan anak, dapat dibahas tentang bagaimana anak-anak menjadi target industri rokok,” ujar Dewanto.
Dalam meliput pengendalian konsumsi rokok juga terdapat banyak data yang dapat diolah untuk menjadi berita. Dewanto mengatakan, terdapat banyak sekali data di Indonesia yang berkaitan dengan isu pengendalian tembakau. Data-data tersebut berasal dari banyaknya lembaga-lembaga yang menyediakan data baik dari lembaga negara maupun lembaga sipil.
“Banyak data beredar termasuk data pengendalian tembakau, baik itu yang berkaitan langsung dengan komoditas tembakaunya seperti berapa sih setiap tahun petani tembakau bisa mensupply industri atau berapa data produksi rokok tiap tahun serta data penerimaan negara dari cukai rokok. Selain itu ada juga data tentang dampak negatif tembakaunya seperti data kerugian negara karena penyakit yang disebabkan oleh rokok, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas),” ungkap Dewanto.
Untuk membuat pemberitaan yang menarik dan informatif, menurut Dewanto penyajian beritanya dapat dibuat dalam bentuk infografis dengan menampilkan teks-teks kunci sehingga memudahkan khalayak untuk memahami data dengan lebih mudah.
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post