Manusia memiliki dua buah ginjal yang terletak di dalam rongga perut agak ke belakang. Posisi ginjal sebelah kanan lebih rendah daripada ginjal sebelah kiri. Oleh karena itu, bila ada keluhan sakit atau nyeri di bagian pinggang, banyak orang yang berasumsi bahwa itu merupakan tanda penyakit ginjal. Begitu pula sebaliknya, banyak orang merasa tidak ada masalah dengan ginjalnya bila tidak merasakan nyeri atau keluhan di bagian pinggang.
Hubungan Masyarakat Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PB Pernefri) dr. Wachid Putranto mengatakan anggapan tidak ada masalah dengan ginjal bila tidak ada keluhan di bagian pinggang menjadi salah satu kendala untuk deteksi dini penyakit ginjal kronis.
“Anggapan bahwa tidak ada penyakit ginjal bila tidak ada keluhan di pinggang mengurangi kewaspadaan terhadap penyakit ginjal kronis. Padahal secara progresif fungsi ginjal mengalami penurunan seiring dengan pertambahan usia. Karena itu, kelompok berisiko disarankan untuk melakukan deteksi dini,” kata Wachid.
Wachid mengatakan selain menyeimbangkan cairan tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, ginjal yang menyaring 120 liter hingga 150 liter darah per hari juga memiliki fungsi memproduksi sel darah merah, mengatur tekanan darah, dan mengaktifkan vitamin D untuk kesehatan tulang dan gigi. Penurunan fungsi ginjal secara progresif seiring dengan pertambahan usia dapat menyebabkan permasalahan medis diikuti permasalahan sosial dan ekonomi.
Permasalahan yang mungkin muncul dari penyakit ginjal kronis adalah biaya pengobatan yang tinggi, keterbatasan aktivitas fisik, gangguan emosi seperti depresi dan kecemasan, penurunan kualitas hidup, kehilangan produktivitas, serta risiko tinggi terkena stroke dan gangguan jantung. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini terhadap penyakit ginjal kronis.
Menurut Wachid, terdapat dua metode skrining, yaitu universal screening dan direct screening. Universal screening dilakukan dengan sasaran seluruh penduduk di wilayah tertentu sehingga biaya yang dikeluarkan lebih mahal serta berpotensi ditemukan hasil positif palsu. Sedangkan direct screening dilakukan hanya pada kelompok sasaran yang berisiko mengalami penyakit ginjal kronis sehingga biayanya lebih murah dan hasilnya lebih akurat.
“Karena itu, lebih disarankan metode direct screening. Kelompok berisiko menjadi sasaran skrining sehingga biayanya lebih murah. Kelompok dengan risiko tinggi disarankan untuk melakukan skrining meskipun tidak memiliki keluhan nyeri di bagian pinggang,” jelas Wachid.
Kelompok berisiko tinggi yang disarankan melakukan skrining adalah pengidap penyakit diabetes, hipertensi, penyakit jantung, obesitas, memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ginjal kronis, memiliki riwayat gangguan ginjal sebelumnya, serta orang lanjut usia. Deteksi dini dapat dilakukan dengan mewaspadai bila buang air kecil berbusa atau berwarna merah pada pengidap diabetes dan hipertensi. Pengidap hipertensi perlu melakukan skrining karena salah satu risikonya adalah gagal ginjal.
Dengan melakukan deteksi dini melalui skrining, maka orang-orang yang diketahui memiliki atau mengidap penyakit ginjal kronis dapat menjalani pengobatan lebih awal yang efektif pada kasus ringan.
Penanganan sejak stadium awal dapat menghambat dan mencegah kejadian gagal ginjal serta mencegah kehilangan fungsi ginjal. Bila seseorang sudah mengalami gagal ginjal atau kehilangan fungsi ginjal, maka harus menjalani cuci darah atau hemodialisis seumur hidup.
Wachid menjelaskan, pemeriksaan awal melalui urine sebagai langkah deteksi dini dapat dilakukan dengan biaya yang murah dan ditanggung BPJS Kesehatan.
“Pemeriksaan urine juga dapat mendeteksi gangguan ginjal stadium awal sebelum terjadi peningkatan kreatinin dalam darah yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis atau komplikasi penyakit,” tutur Wachid.
Menelan Biaya Tinggi
Guru Besar Universitas Udayana Prof. dr. I Gde Raka Widiana mengatakan penyakit ginjal kronis merupakan penyakit tidak menular yang menelan biaya tinggi bagi negara dan keluarga. Penyakit ginjal kronis memiliki sifat progresif, yaitu terus melaju menuju gagal ginjal.
Seseorang berusia 40 tahun biasanya sudah mengalami penurunan fungsi ginjal secara alami dan pada usia 100 tahun hingga 120 tahun sudah mengalami gagal ginjal.
Prof. Raka menjelaskan jika tidak diobati, maka dalam waktu tujuh tahun pasien akan mengalami gagal ginjal. Pengobatan lebih awal dapat menyimpan waktu dua tahun.
“Karena itu, lebih baik lebih dini kita melakukan pencegahan. Penting melakukan deteksi dini lebih awal dan melakukan pencegahan sehingga progresivitas penyakit ginjal kronis terjadi selambat mungkin,” kata Raka.
Pengobatan stadium awal pada penyakit ginjal kronis tidak harus dilakukan oleh dokter ahli ginjal. Prof. Raka mengatakan pengobatan stadium awal harus memberdayakan fasilitas layanan kesehatan di tingkat pertama.
Jika pasien sudah mengalami gagal ginjal, maka harus menjalani cuci darah seumur hidup atau transplantasi ginjal. Selain biaya untuk cuci darah, penyakit ginjal kronik juga dapat menimbulkan komplikasi pada jantung dan pembuluh darah yang menimbulkan biaya yang juga tidak sedikit.
Penyakit ginjal kronis adalah salah satu masalah dunia yang menyebabkan beban ekonomi cukup besar untuk biaya pengobatan pasien yang semakin banyak. Perlu biaya besar, sementara sumber daya yang ada terbatas. Oleh karena itu, penting untuk melakukan deteksi dini dan menghambat progresivitas penyakit ginjal kronis.
Prof. Raka mengatakan orang-orang dengan hipertensi dan diabetes perlu waspada karena kedua penyakit tersebut merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronis. Kasus penyakit ginjal kronis pada pasien hipertensi dan diabetes semakin banyak terjadi di banyak tinggi.
“Pasien cuci darah yang berasal dari pasien hipertensi dan diabetes semakin meningkat, meskipun ada pasien yang berasal dari penyakit lainnya. Namun, selama 30 tahun terakhir, pasien cuci darah dari pasien hipertensi dan diabetes meningkat cukup signifikan,” tuturnya.
Progresivitas penyakit ginjal kronis dapat diperlambat dengan asupan gizi yang cukup dan gaya hidup yang sehat. Prof. Raka menyarankan masyarakat untuk rutin berolahraga serta menghindari rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektronik.
“Hindari rokok dan vape. Lakukan aktivitas fisik setidaknya 20 menit hingga 30 menit per hari,” ujarnya.
Selain itu, karena ginjal merupakan organ yang mengatur volume cairan di dalam tubuh, maka seseorang perlu minum air secara cukup. Dalam kondisi normal, seseorang perlu minum kurang lebih dua liter air setiap hari.
“Sesungguhnya minum dua liter air, ginjal kita sudah rileks. Kalau sering kurang atau kelebihan, malah akan membebani ginjal. Ada yang mempromosikan tentang terapi air, harus minum sekian dalam sehari. Itu tidak perlu. Cukup dua liter setiap hari,” tuturnya.
Bagaimana dengan peminum kopi atau teh?
Prof. Raka mengatakan tidak ada masalah dengan kopi dan teh. Sejumlah penelitian justru memaparkan dampak baik dari konsumsi kopi dan teh. Kopi dilaporkan memperbaiki fungsi otak, daya ingat, dan mencegah Alzheimer. Bahkan di usia muda, kopi dilaporkan dapat menghambat progresivitas penurunan fungsi fungsi ginjal.
“Teh hijau dilaporkan bisa mengurangi dan menghambat penurunan fungsi ginjal dan menurunkan proteinuria. Kadar protein yang terlalu tinggi dalam tubuh dapat memicu penyakit ginjal kronis. Tidak ada masalah dengan minum kopi dan teh. Yang paling berbahaya justru adalah rokok,” tegasnya.
Menurut Prof. Raka, rokok diasosiasikan dengan kadar albumin yang tidak normal pada urine dan progresivitas penyakit ginjal kronis. Rokok juga berkontribusi pada kematian akibat stroke dan serangan jantung pada pasien penyakit ginjal kronis.
Mengingat penurunan fungsi ginjal merupakan proses yang alami pada tubuh manusia, maka perilaku hidup yang meningkatkan progresivitas penurunan fungsi ginjal harus mulai ditinggalkan dan beralih kepada gaya hidup sehat, yaitu olahraga secara teratur, memastikan asupan gizi mencukupi, minum air dua liter per hari, dan tidak merokok.
Discussion about this post