Jakarta telah lama menarik perhatian saya. Sebagai sebuah wilayah berstatus ibukota (paling tidak sampai dengan akhir 2023 ini), luasnya memang tak terlalu besar. Namun sudah rahasia umum bila Jakarta yang berjuluk Kota Megapolitan ini sangatlah lengkap dalam hal fasilitas, tak terkecuali fasilitas transportasi publik. Namun, jauh sebelum ada transportasi umum massal seperti Transjakarta dan kereta api listrik alias KRL terintegrasi, Jakarta sungguh awut-awutan dalam hal mobilisasi.
Kondisi ini belum lagi ditambah tingkat kriminalitas yang tinggi. Tak mengherankan tahun 2007 saat saya hendak ke Jakarta untuk mencari bahan skripsi, ide tersebut ditentang oleh tante. Begitu juga pada tahun 2011 saat saya niat banget mencari kerja di Jakarta. Tetapi kalau jodoh memang tidak kemana.
Pada Januari 2015, dokter di Bandar Lampung menegakkan diagnosis autoimun SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau bahasa simpelnya lupus. Pada satu sisi, ini merupakan petaka buat saya, namun pada sisi lain ini merupakan berkah. Petaka karena artinya saya sakit dan lupus tergolong autoimun kronis yang sistemik atau bisa mengenai seluruh organ tubuh penyandangnya. Sesuka hati si lupus itu hendak kemana.
Autoimun adalah penyakit yang berhubungan dengan kekebalan tubuh, dimana imunitas yang seharusnya melindungi tubuh dan “dalamnya” seseorang sudah tak mampu lagi menjalankan fungsinya secara normal.
Istilahnya imunitasnya telah eror, sehingga tubuh dan organ-organnya dianggap benda asing oleh si imun dan harus dimusnahkan supaya tidak mengganggu. Bisa diidiomkan musuh dalam selimut.
Pada orang autoimun, sepintas ia bisa terlihat sehat dan normal layaknya orang biasa. Namun dalamnya tepatnya “organ tubuhnya” bermasalah. Para odai (orang penyandang autoimun) ada yang mengalami nyeri-nyeri pada sendinya, kelelahan atau keluhan lain yang sampai membuat penyandangnya berada dalam kondisi tidak stabil tapi ya tak nampak.
Di mata orang lain, si odai akan tetap terlihat baik-baik saja. Makanya penyakit autoimun kerap disebut juga invisible illness. Terkadang penyandangnya juga ada yang mengalami hal diluar nalar semisal berhalusinasi dan semacamnya.
Namun patut dicatat, ada kalanya saking beratnya kondisi, penyakit autoimun menyebar ke berbagai organ dan menimbulkan komplikasi serius. Penyakit ini juga menyebabkan disabilitas pada penyandangnya. Bisa juga, meski hanya mengenai satu jenis organ saja tetapi imun yang bermasalah tersebut menjadi sangat agresif. Bahkan menyebabkan kematian apabila tidak lekas ditangani atau mendapat penanganan yang tepat.
Singkatnya, akhir November 2016 saya berada di Jakarta untuk keperluan berobat lupus. Opsi ini saya pilih setelah mengevaluasi lebih dari setahun berobat di Bandar Lampung dan hasilnya tak menunjukkan tanda-tanda perbaikan kondisi. Kedua pipi masih merah membentuk ruam kupu-kupu, rambut rontok hingga bagian kepala kanan saya pitak, badan kurus sekali.
Keadaan ini sama persis kalau tak mau disebut tak ada perubahan seperti awal saya tegak diagnosis lupus pada Januari 2015. Hanya rasa nyeri yang sedikit berkurang.
Meskipun dengan kondisi seperti itu ditambah kadar haemoglobin (hb) yang rendah, yang mana setibanya di Jakarta, baru dideteksi saya memiliki penyakit autoimun lain jenis anemia. Oleh karena itu meski sendirian saya tetap berangkat ke Jakarta dan tidak menyesalinya. Saya menaruh harapan besar akan pengobatan lupus di Jakarta karenanya saya jalani dengan penuh semangat. Tentu saja tidak setiap hari saya harus ke rumah sakit (RS). Pada saat tidak ke RS, terkadang saya melakukan “healing” di sekitaran pusat Kota Jakarta. Jika seputar Jakarta saja maka menggunakan Transjakarta, jika luar Jakarta maka menggunakan KRL. Di mata saya, kedua moda transportasi publik massal ini selalu mendapat kesan yang baik dan nyaman.
Sampai dengan awal 2019 saya masih setia menggunakan kedua moda transportasi publik massal itu untuk kemana-mana. Baru saat saya mulai terkena kondisi Avaskular Nekrosis (AVN) yang dikarenakan oleh penyakit dan pengobatan autoimun dan kian hari ke hari grade-nya semakin tinggi alias berat. Saya mulai lebih sering menggunakan transportasi umum online, yang kalau boleh disebut antara Gojek dan Grab. Kondisi AVN ini menyebabkan saya kesulitan berjalan khususnya kaki bagian kanan. Kombinasi nyeri, kaku menjalar dan tak nyaman terasa ketika berjalan atau berdiri lama.
Tatkala pandemi Covid-19 menghantam, kondisi itu membuat saya makin memilih transportasi umum berbasis online untuk pergi berobat ke rumah sakit. Termasuk pascaoperasi ganti panggul kanan dan kiri atau Total Hip Replacement (THR). Kalau untuk transportasi online ini, kesannya tidak bisa dipukul rata.
Adakalanya saya mendapatkan sopir ojek atau mobil yang memiliki rasa empati dengan kondisi penumpangnya, tetapi adakalanya juga tidak. Salah satu yang masih saya ingat pada bulan Januari 2021.
Tepat pada tanggal 29 Januari 2021, saya diperbolehkan pulang rawat inap pascaoperasi panggul kanan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat. Pulangnya saya menggunakan jasa taksi online dan mendapatkan sopir yang kurang empati.
Sopir tersebut meminta saya lekas-lekas turun sesampainya di alamat tujuan. Sementara kondisi saya yang habis operasi, masih kaku, tidak bisa diburu-buru, harus hati-hati melangkah, dan menggunakan alat bantu walker. Saya hanya bisa menghela nafas dan bersabar menerima perlakuan si sopir taksi online tadi.
Saya mulai memberanikan diri lagi menggunakan moda transportasi umum massal Trans Jakarta di bulan April 2022 dan KRL di bulan Agustus 2022. Termasuk pada bulan September 2022, saat selama dua minggu mengikuti Pelatihan Kelas Jurnalisme Sastrawi yang diadakan oleh Yayasan Pantau.
Dari tempat kost saya di daerah Salemba, saya transit di Halte Harmoni dan lanjut menggunakan Trans Jakarta arah Lebak Bulus. Turun di Halte RS Permata Medika, lanjut jalan kaki sedikit hingga perempatan lampu merah dan menyambung dengan angkot Jak Lingko (yang juga dikelola oleh Trans Jakarta) hingga di tempat pelatihan di Kebayoran Lama. Begitu pun saat pulang.
Setiap menaiki Transjakarta, saya selalu bilang kepada pramusapa terkait kondisi kesehatan (panggul yang rentan tersenggol-senggol oleh benda atau penumpang lain dan autoimun) dan minta tolong dicarikan tempat duduk.
Sang pramusapa akan dengan sigap akan membantu mencarikan kursi di dalam bus. Ada satu pengalaman paling berkesan kala pulang pelatihan kelas Jurnalisme Sastrawi. Pramusapa busnya memprioritaskan saya untuk turun duluan di halte Harmoni, baru setelah itu penumpang lainnya.
Sedangkan untuk KRL, tak berbeda jauh. Hanya saja yang membuat agak was-was, saat turun atau transit di Stasiun Manggarai. Sudah menjadi rahasia umum jika stasiun tersebut selalu ramai. Juga naik turun dari gerbong ke peron stasiun yang jaraknya cukup tinggi. Dengan kondisi yang telah operasi panggul dan ada protesa (semacam tulang buatan) di dalamnya, saya diwajibkan pelan-pelan melangkah, tidak boleh terkena hentakan serta harus menjaga lokasi panggul bekas operasi.
Apa yang bisa saya simpulkan dari pengalaman pribadi bahwa transportasi publik di Jakarta, khususnya yang berbasis massal sudah cukup baik. Sayangnya, untuk kasus seperti penumpang dengan penyakit autoimun (odai), para penyedia jasa transportasi belum lah familiar atau masih awam.
Saya tentu bukan satu-satunya penyandang odai di muka bumi ini. Mari berkenalan dengan Herlina, penyandang odai lain yang akrab disapa Mbak Ina. Berbeda dengan saya, sejak berusia 6 tahun Ina menyandang penyakit autoimun jenis Rheumatoid Arthritis (RA). Saat ini Ina akan memasuki usia 45 tahun, sehingga ia tentu sudah lebih akrab dengan segala rupa pengobatan autoimun RA.
Seperti yang dikutip dari Mayoclinic.org, Rheumatoid Arthritis (RA) adalah gangguan peradangan kronis yang dapat mempengaruhi lebih dari sekadar persendian. Pada beberapa orang, kondisi tersebut dapat merusak berbagai sistem tubuh, termasuk kulit, mata, paru-paru, jantung, dan pembuluh darah. RA yang parah masih dapat menyebabkan cacat fisik.
Walau kami sama-sama tergabung dalam satu grup WA Komunitas Autoimun, saya baru pertama kali bertemu dengannya dengan Ina pada Mei 2022 lalu di RSCM. Saya ingat dengan jelas bahwa ia mengalami keterbatasan dalam hal mobilitas. Untuk berjalan, Ina harus dibantu dengan menopang kruk. “Aku operasi tahun 2014, dua-duanya. Satu panggul kanan dan satu lutut kiri,” katanya. Dan sekarang, sebenarnya ia disuruh untuk operasi lagi. Operasi yang sama namun berbeda posisi.
Meskipun Ina mengalami keterbatasan mobilitas gerak yang disebabkan oleh autoimun hal itu tak menghalanginya untuk tetap berpergian baik untuk hal pekerjaan atau sekadar travelling. Dari sini, ia jadi memiliki banyak pengalaman yang berkaitan dengan transportasi publik massal tak sebatas di kota Jakarta. Semisal transportasi publik massal di Singapura, dikatakannya sangat baik.
“Kalau di Singapura, ada pintu khusus untuk orang-orang disabilitas. Jadi kita tidak didorong-dorong sama orang yang antri itu tapi aku masih mengalami dimana tidak semua tempat bisa begitu,” ceritanya soal bertransportasi publik di Singapura.
Sedangkan di Jakarta, ia tidak mengatakan buruk atau jelek. Menurutnya, salah satunya Transjakarta pelayanannya sudah makin baik. Yang disayangkan adalah fasilitas penunjangnya semisal halte dan trotoar-nya karena dirinya memiliki kondisi keterbatasan mobilitas akibat autoimunnya.
“Ini susah karena harus menanjak naik jembatan (halte Transjakarta), aku udah nggak kuat jalan jauh tapi sekarang aku pakai kursi roda,” jawabnya mengomentari tentang JPO yang terintegrasi dengan Halte Trans Jakarta. Walau kursi roda yang digunakan oleh Ina adalah jenis elektrik, tetap saja untuk menaiki halte harus didorong.
Maka solusi untuk menunjang mobilitasnya adalah menggunakan taksi online. Semisal untuk melakukan check-up ke RS dan sebagainya. Hanya saja diakuinya, bahwa tarif dari taksi online tergolong lumayan mahal untuk satu kali perjalanan.
Contohnya untuk satu kali perjalanan dari tempat tinggalnya di daerah Jakarta Timur menuju ke RSCM harganya kurang lebih Rp40.000 untuk satu kali perjalanan. Jika PP maka tinggal dikalikan dua dan belum tentu jadwalnya hanya satu kali atau satu poli saja.
“Bulan ini aku dirujuk ke tiga poli,” infonya. Jadi ongkos yang harus dikeluarkan sekitar Rp240.000 pada bulan itu.
Meskipun taksi online menjemput dan mengantar sesuai alamat penumpang, hambatan lain adalah permasalahan trotoarnya yang posisinya tidak sinkron dengan jalan sehingga membuat ia kesulitan melewatinya dengan menggunakan kursi rodanya.
Dapat kita simpulkan sementara bahwa transportasi umum di DKI Jakarta mungkin belum ramah untuk penyandang autoimun. Hal tersebut makin terafirmasi oleh pengakuan Sari, odai jenis Sjogren’s Syndrome (SS) sejak 2013. Namun dalam perkembangannya bertambah dua jenis lagi yakni Antiphospolipid Syndrome (APS) atau Sindrom Pengentalan Darah dan Graves Disease. Sari membeberkan ia jarang sekali menggunakan transportasi umum karena terlalu lelah. Maklum ia tinggal di Bekasi dan bekerja di Cikarang.
Menurut lama Mayo Clinic, SS adalah gangguan sistem kekebalan yang diidentifikasikan oleh dua gejala yang paling umum yaitu mata kering dan mulut kering. Selaput lendir dan kelenjar yang mengeluarkan kelembapan pada mata dan mulut biasanya terkena lebih dulu yang ditandai dengan penurunan airmata dan air liur. Penyandang SS lebih didominasi pada perempuan.
Sebelum bekerja di Cikarang, Sari pernah bekerja di area Kuningan, Jakarta Selatan. Kala itu, Sari memang belum menyandang autoimun, tetapi tak bisa ditampik bahwa transportasi umum masa itu pun belum bagus.
“Masih naik metromini dan bis apa deh namanya yang AC jurusan Rambutan-Kuningan. Capek aja, waktu terbuangnya banyak. Nyambung-nyambung naik angkot,” kenangnya.
Selain harus naik banyak angkot, Sari juga harus menghadapi kemacetan. Alhasil, dia memutuskan untuk berlangganan ojek atau omprengan. Bagi Anda yang belum tahu, omprengan adalah mobil pribadi tapi karena searah jadinya bareng dan orang yang menumpang, memberi uang ke yang punya mobil. Sari menyebutnya simbiosis mutualisme. Mirip-mirip dengan sistem three in one yang pernah diberlakukan dulu.
“(Pas) Covid akhirnya nebeng bos di kantor, sampai sekarang bareng-bareng. Jadi tidak naik umum lagi,” kata ibu tiga anak ini.
Meskipun Sari telah cocok dan nyaman dengan pilihan transportasi yang digunakannya sehari-hari. Dalam persepsinya, ia tetap skeptis terhadap angkutan umum di kotanya. “Bekasi tuh nggak nyaman semua angkutan umumnya.”.
Respon Penyedia Transportasi Publik dan Fasilitas Pendukungnya
Untuk membuktikan permasalahan yang dialami para odai, saya mewawancarai beberapa pihak yang dianggap kompeten dan cukup mewakili. Transjakarta, KAI Commuter atau KRL, jasa transportasi online seperti Gojek dan Grab dalam kapasitasnya sebagai penyedia transportasi publik massal dan online. Saya juga mencoba konfirmasi kepada Dinas Bina Marga DKI Jakarta, kapasitasnya sebagai penyedia fasilitas pendukung transportasi publik dan kota.
Dalam proses mencari jawaban, saying saya harus menerima penolakan dari Transjakarta. Begitu pula dengan transportasi daring Gojek yang mengaku “belum bisa memberikan jawaban”.
Keresahan lain harus saya temukan ketika pihak KRL dan Grab berkenan merespon pertanyaan saya. Singkat cerita, baik KRL dan Grab mengaku belum banyak menyediakan standar pelayanan yang ideal untuk odai. Penyedia jasa transportasi massal mengakui bahwa mereka lebih familiar dengan penumpang difabe; atau pengguna disabilitas.
“Untuk pelayanan secara khususnya belum ada di kami, namun akan menjadi masukan dalam penanganan autoimun ini,” kata Leza bagian dari Humas Commuterline Indonesia melalui jawaban tertulis yang diterima pada awal Maret 2023.
Lebih lanjut, Leza juga menyebut, “Di stasiun-stasiun kami terdapat pos kesehatan yang diperuntukkan kepada pengguna commuterline, jika terdapat pengguna yang kambuh untuk pertolongan pertama dapat mendatangi pos kesehatan yang ada di stasiun tersebut.”
Sementara untuk penanganan penumpang disabilitas dan berkebutuhan khusus, pihak KRL telah memiliki prosedur namun dengan catatan setiap prosedur pelayanannya berbeda-beda tergantung dengan kondisi disabilitas dan kebutuhan khusus dari penumpangnya. Mereka juga telah secara rutin memberikan pelatihan kepada pertugas frontliner KAI Commuter dalam memberikan layanan kepada pengguna disabilitas dengan berbagai karakteristiknya.
“Saat ini KAI Commuter memiliki Pelayanan dan Ruang Pelayanan khusus Disabilitas,” ungkap Leza. Dia menjelaskan, pelayanan khusus untuk pengguna berkebutuhan khusus bisa diakses melalui nomor 081296605747 yang dapat dihubungi melali telepon, SMS, dan layanan WA. Sementara menurut catatan mereka, sepanjang 2022 KAI Commuter telah melayani total 1.072 orang disabilitas dan berkebutuhan khusus seperti disabilitas Netra, daksa, dan low vision.
Mewakili penyedia jasa transportasi online, pihak Grab menekankan bahwa pihaknya sudah mengakomodasi kebutuhan penumpang disabilitas. Pada 2019 mereka meluncurkan layanan Grab Gerak untuk memfasilitasi penumpang disabilitas atau berkebutuhan khusus.
Dikutip dari laman Grab.com, fitur Grab Gerak telah bisa diakses di sejumlah kota besar Indonesia antara lain (saat informasi ini diakses) DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Medan.
“Grab Gerak merupakan solusi transportasi unik yang didedikasikan untuk mendukung para penyandang disabilitas mendapatkan lebih banyak akses dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari,” tulis Grab.
“Kehadiran Grab Gerak diharapkan dapat membantu memudahkan mobilitas dan kegiatan penyandang disabilitas dan dapat menikmati layanan transportasi yang aman, nyaman dan terjangkau,” tulis Grab masih dalam laman tersebut.
Pihak Grab juga mengklaim bahwa mitra pengemudi Grab Gerak telah menjalani program pelatihan khusus yang mencakup penanganan kursi roda dan perangkat mobilitas lainnya serta bantuan pemindahan penumpang berkebutuhan khusus dari kursi roda ke dalam kendaraan.
Saya teringat cerita Ina yang mengaku pernah mencoba memesan layanan Grab ketika berada di Yogyakarta, dan ternyata tidak bisa dimanfaatkan alias tidak berbeda dengan layanan yang standar. Hal itu membuat Ina kapok dan memutuskan memesan jenis layanan standar saja. “Paling aku info dulu ke drivernya soal aku pakai kursi roda dan drivernya mau membantu kok,” cerita Ina.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengakui, pembangunan infrastruktur yang ramah disabilitas sudah mulai dikerjakan pemerintah, terutama pada saat pemerintah membangun jembatan penyeberangan orang (JPO) baru. “Disitu pasti ada lift-nya dimana fungsi itu untuk mengakomodir teman disabilitas untuk bisa menggunakan,” katanya.
Sejak tahun 2018 pembangunan JPO di kota Jakarta memang menerapkan penggunaan lift untuk sarana fasilitas pendukung disabilitas. Adapun JPO-JPO yang telah menerapkan penggunaan lift untuk disabilitas dan orang berkebutuhan khusus tercatat sebanyak 16 JPO yang tersebar di berbagai wilayah administrasi DKI Jakarta. Sebut saja; JPO Sumarno, JPO Sugiyono, JPO Matraman yang berada di Jakarta Timur. Kemudian JPO Bundaran Senayan, JPO GBK, JPO Polda Metro Jaya, JPO Phinisi Karet yang berlokasi di Jakarta Pusat dan Selatan, dan masih ada JPO lainnya.
Hari juga menjelaskan terkait revitalisasi trotoar untuk pejalan kaki di ibu kota Jakarta, yang sudah terdapat guiding block atau ubin pemandu untuk memudahkan berjalan bagi para disabilitas. Selain itu, trotoar juga disediakan ramp dengan kemiringan tertentu sehingga pengguna kursi roda (keterbatasan mobilitas) dapat naik ke trotoar dari sisi jalan dengan mudah Hari mengatakan, bahwa Dinas Bina Marga dalam pembangunan trotoar memiliki pedoman teknis. Oleh karena itu, Dinas Bina Marga dalam membuat fasilitas pedestrian senantiasa berkoordinasi dan berkolaborasi dengan berbagai instansi dan stakeholder terkait termasuk kelompok disabilitas.
Opini bernuansa beda justru muncul dari Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dan juga akademisi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang menilai transportasi publik di Jakarta saat ini sudah bagus dan makin bagus. Namun ketika disinggung mengenai penumpang atau pengguna transportasi publik yang menyandang autoimun atau punya masalah kesehatan, ia menyarankan untuk menggunakan layanan taksi regular.
Djoko mencontohkan salah satu layanan taksi regular yang beroperasi di Jakarta dan Indonesia. Sebut saja taksi Bluebird. “Setahu saya pengemudinya itu dilatih untuk mengantarkan orang-orang (penumpang) tertentu,” kata Djoko.
Pegiat di Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini juga menceritakan pengalaman ibunya yang memakai layanan tersebut. Saat itu ibunya sedang bosan menggunakan alat bantu jalan berupa walker. Sang ibu pun menggunakan taksi Bluebird karena jaminan akan standar pelayanan bagi disabilitas dan lansia. “Tapi kalau online saya nggak berani jamin karena mereka itu kan tujuannya berbeda,” katanya.
Berbicara soal layanan transportasi publik seperti KRL atau Commuterline,, komentar Djoko pun tak berbeda jauh. Ia memerinci bahwa kini di setiap stasiun pasti ada ruang kesehatan. Andaikan pengguna KRL mengalami gangguan kesehatan, maka penumpang bisa datang atau menunggu sesaat hingga kondisi kesehatannya stabil di ruang tersebut. Selain itu jika ada masalah berat, penumpang disabilitas atau memiliki keterbatasan mobilitas gerak, tak perlu ragu melapor ke pihak KRL.
“Itu kan nanti bisa dibantu karena ada kursi roda ya kan,” ujar Djoko. Intinya, ia menjamin pihak KRL pasti akan membantu penumpang dengan kebutuhan khusus sesuai amanat negara dan aturan kebijakan publik.
Berbeda dengan KRL, menurut Djoko layanan Transjakarta memiliki beberapa metode unik yang mungkin bisa diterapkan bagi penumpang disabilitas. Penumpang odai bisa memanfaatkan program sejenis pin ibu hamil untuk membantu akses layanan. Usulan ini, tentu bisa dikerjakan setelah mendapatkan respon positif dari pihak Transjakarta.
Dalam pengamatan Djoko, pemberian pin masih diprioritaskan untuk ibu hamil. Oleh karena itu, ia berpendapat perlu ditanyakan apakah memungkinkan selain ibu hamil bisa mendapatkan pin sejenis dengan penjelasan karakteristik penyakit yang dialami.
“Caranya mungkin perlu didiskusikan lebih lanjut lagi dengan pihak pengelola,” ucapnya.
Saran lain yang menurut Djoko layak didiskusikan antara pengelola transportasi publik dengan komunitas odai adalah mengatur waktu berpergian (jam berangkat) dan pulang (jam pulang). Ia menilai, jika odai bukan pekerja rutin disarankan jangan berangkat pada jam sibuk. Misalnya berpergian atau berangkat setelah jam 9 pagi yang dirasa lebih nyaman.
“Atau kalau mau pulang, bisa memilih waktu di atas jam 20.00 malam.”
Berangkat dari kondisi transportasi publik yang berbeda karakteristik, pro dan kontranya dalam layanan bagi penumpang berkebutuhan khusus, Djoko mengakui dengan besar hati bahwa masih banyak kekurangan yang bisa ditingkatkan dalam layanan transportasi publik untuk memanusiakan manusia. “Jadi memang, belum apa ya, mengcover kebutuhan setiap golongan gitu ya,” terangnya.
Discussion about this post