Jakarta, Prohealth.id – Dalam rangka memperingati bulan kesadaran sekaligus mengedukasi autoimun, khususnya autoimun jenis Sjogren’s Syndrome (SS), Yayasan Sjogren’s Syndrome Indonesia (Yassi) bersama Laboratorium Prodia menggelar webinar daring bertema “Tetap Sehat di Bulan Puasa untuk Penyintas Sjogren’s” pada Sabtu, 8/4/2023 lalu.
Ketua Yayasan Sjogren’s Syndrome Indonesia (Yassi) dr. Warigit Dri Atmoko, SpPD, M.Kes, FINASIM, mengatakan saat memberikan sambutan pembuka acara webinar bahwa bulan April adalah bulan kesadaran Sjogren’s Syndrome, oleh karena itu penting agar masyarakat lebih luas lebih mengerti penyakit langka tersebut.
“Ya dan tentunya tak hanya masyarakat sendiri yang bisa lebih paham gejala-gejalanya, tetapi juga kepada dokter umum dan juga sejawat,” kata dr. Warigit.
Sjogren’s Syndrome merupakan salah satu penyakit rematik autoimun gejala utama kekeringan, terutama menyerang kelenjar ludah dan air mata, dan terjadi pada 90 persen perempuan namun bisa juga terjadi pada laki-laki. Untuk itu, edukasi penyakit Sjogren’s sangat penting karena jumlah penyandangnya yang cukup banyak. Menurut dr. Warigit, ada sekitar 4 juta orang di Amerika yang hidup dengan penyakit ini dan tentunya penyakit ini juga bervariasi mulai dari sangat ringan, ringan, sedang sampai berat.
Dengan jumlah penyandangnya yang mencapai jutaan, menjadikan penyakit autoimun Sjogren’s sebagai salah satu penyakit autoimun dengan jumlah penyandang tertinggi di Amerika. Sementara di Indonesia sendiri menurut catatan Yassi dari sejak 2017 sampai dengan sekarang total ada 300-an penyandang Sjogren’s. Namun dia meyakini jumlah asli penyandangnya lebih dari data tersebut. “Masih menjadi PR karena banyak yang belum terdata,” sambung dr. Warigit.
Asal tahu saja, gejala utama yang dialami dari Sjogren’s adalah kekeringan, juga nyeri kronis dan keterlibatan organ lain seperti saraf. Sedangkan tingkatan gejalanya bervariasi mulai dari sangat ringan, ringan sampai dengan berat.
Yassi sebagai Yayasan berdiri sejak 2017 dengan tujuan utama mewadahi para penyandang autoimun jenis Sjogrens’s Syndrome, memberikan edukasi dan informasi mengenai Sjogren’s Syndrome.
“Memberikan edukasi kemudian memberikan informasi tentunya dan kita juga berusaha sekuat mungkin untuk menjalin kerjasama, tentunya dengan yayasan (autoimun) yang lainnya yang memang sudah berjalan sampai saat ini,” pungkas dr. Warigit.
Sebagai pimpinan Yassi saat ini dr. Warigit berharap, Yassi dapat menjadi support system bagi teman-teman penyandang autoimun. Ia pun berpesan kepada para penyandang autoimun untuk tetap bersemangat.
Mengenal Autoimun Sjogren’s Syndrome
menurut dr. Sandra Sinthya Langouw, SpPD, KR, salah satu narasumber dalam webinar bata di Amerika penyandang Sjogren’s dengan karakteristik penyakit rematik autoimun memiliki jumlah kedua terbanyak.
Sebagai sebuah penyakit rematik autoimun, Sjogren’s dapat dikelompokkan menjadi dua yakni Sjogrens’s Primer dan Sjogren’s Sekunder.
“Disebut Sjogren’s primer jika tidak ada penyakit [autoimun] yang lain, [hanya Sjogren’s], yang kedua disebut Sjogren’s Syndrome sekunder kalau memang ada kondisi-kondisi [autoimun] yang lain, yang paling sering misalnya Rheumatoid Arthritis (RA), lupus,” infonya.
Sjogren’s Syndrome merupakan penyakit autoimun yang bersifat sistemik. Artinya, seluruh organ tubuh bisa terkena dampak tersebut, tidak hanya mata dan mulut yang merupakan tempat target utama kelainan dari penyakit ini. “Namun semua bisa terdampak,” terangnya lagi.
Ia pun memerinci beberapa kelainan dampak dari Sjogren’s Syndrome. Seperti kelainan paru yang dapat menyebabkan penyakit paru interestial, kelainan saraf yang dapat menyebabkan neuropati, kelainan darah misalnya; anemia dan trombosit turun, cryoglobulinemic vasculitis, dan juga ada risiko untuk terjadi kanker kelenjar getah bening atau limfoma.
Sayangnya, Sjogren’s Syndrome sangat sering terlambat didiagnosis. Mengapa demikian?
“Kadang-kadang kita anggap sepele karena mirip sekali gejala-gejala yang bisa terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari misalnya mata sering sakit, sakit sendi,” kata dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi yang berpraktik di RS Siloam Karawaci, Tangerang ini.
Kedua, gejala Sjogren’s Syndrome kerap ditambah gejala-gejala lain, yaitu mata kering, mulut kering, kulit dan vagina kering, kelelahan yang berlebihan, kesemutan, pembengkakan kelenjar di bawah rahang. Pada mata kering yang merupakan target utama dari Sjogren’s Syndrome, yang akan dirasakan antara lain matanya terasa gatal, berpasir atau sering merah karena sering infeksi, ada rasa mengganjal di mata, silau jika terkena sinar dan juga pandangannya kabur. Sedangkan pada mulut kering, yang dirasakan antara lain rongga mulut terasa kering.
“Akibatnya teman-teman akan sering merasa haus, sulit menelan, kesulitan bicara, ada gangguan rasa dan akibatnya kalau tidak ditangani dengan baik bisa sering jadi infeksi pada gigi dan gusi,” terang dr. Sandra.
Lalu bagaimana menegakkan diagnosisnya?
“Jadi kumpulan dari gejala bapak ibu sekalian dan dikombinasikan laboratorium dan kami [para dokter] diminta untuk membuat suatu sistem,” jelasnya.
Sistem ini berupa penghitungan poin dan mengacu pada kriteria klasifikasi Sjogrens’s Syndrome dari American College of Rheumatology (ACR) atau European League Against Rheumatism (EULAR) tahun 2016. Mengacu kalsifikasi dari dua institusi internasional tersebut, hasilnya disebut Sjogren’s Syndrome primer jika seseorang memiliki tanda dan gejala Sjogren’s serta memenuhi skor sesuai dari penghitungaan poin.
Discussion about this post