JOURNOLIBERTA.COM – Rektor UIN Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis belakangan ini mengungkapkan komitmennya terhadap Kampus Hijau atau Green Campus guna mendukung pelestarian lingkungan. Ketua Tim Green Campus UIN Jakarta Lily Surayya Eka Putri mengatakan, Kampus Hijau bukan hanya semata-mata kampus yang memiliki banyak pohon dan tanaman, melainkan kampus yang pengelolaannya ke arah ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dalam meningkatkan status Kampus Hijau, UIN Jakarta telah membuat sejumlah program dan kebijakan keberlanjutan yang dinilai ramah lingkungan. Namun, baik dalam program maupun kebijakan tersebut, tidak ada satu pun yang membicarakan soal pengendalian rokok atau kampus bebas asap rokok. Padahal, dilansir dari Kompas.com, salah satu indikator terciptanya Kampus Hijau menurut Ditjen Dikti adalah menciptakan kampus bebas asap rokok dan polusi.
Terkait hal ini, Lily mengatakan bahwa secara eksplisit tidak ada program dan kebijakan mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR), karena memang tidak ada di dalam item penilaian UI Greenmetric. Soal asap rokok ini, lanjutnya, mungkin bisa dikaitkan dengan penanganan kualitas udara.
“Jadi untuk kawasan (tanpa) rokok secara eksplisit tidak ada itemnya. Mungkin (bisa) dikaitkan dengan penanganan kualitas udara. Karena yang namanya sustainable itu kan udara juga harus bersih kan,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis (3/3/2022), lalu.
Perlu diketahui, UIN Jakarta berpartisipasi dalam ajang tahunan UI Greenmetric World University Rankings sejak 2020 lalu. Tahun lalu, UIN Jakarta berada di peringkat 40 dari 101 perguruan tinggi nasional yang ikut serta dalam pemeringkatan Kampus Hijau. Peringkat UIN Jakarta itu naik dari tahun 2020 yang memperoleh peringkat 52 dari 88 perguruan tinggi nasional. Pada tahun ini, Amany Lubis mencanangkan Kampus Hijau masuk ke dalam penilaian Indikator Kinerja Utama (IKU) Rektor dan Dekan.
UI Greenmetric merupakan pemeringkatan perguruan tinggi pertama di dunia berbasis komitmen tinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup kampus. Terdapat enam kategori sebagai acuan penilaian pemeringkatan, yaitu penataan dan infrastruktur, energi dan perubahan iklim, pengelolaan sampah, pengelolaan air, transportasi, serta pendidikan dan riset.
Aturan Larangan Merokok
Regulasi terkait larangan merokok di UIN Jakarta sebenarnya sudah lama diatur di dalam Kode Etik Mahasiswa maupun Kode Etik Dosen. Selain itu, pada tahun 2019 Rektor Amany Lubis juga sempat mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor B/990/R/HK.00.7/08/2019 tentang Larangan Merokok di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan.
Saat masa perkuliahaan sebelum pandemi COVID-19, masih banyak akademisi yang kedapatan merokok di dalam kampus, salah satunya ialah MU. Mahasiswa Jurusan Dirasat Islamiyah ini mengaku beberapa kali merokok di area kampus. Ia melakukannya karena melihat teman-temannya yang sedang berkumpul di area parkiran Fakultas Dirasat Islamiyah sembari merokok.
“Jujur sih (merokok) karena lingkungan pertemanan. Soalnya waktu itu kelar perkuliahaan, terus keluar kelas, kebetulan dekat kampus tuh ada teman-teman yang sudah ngumpul sambil ngerokok, yaa jadinya gue terbawa suasana dan ikut-ikutan,” terangnya.
MU mengaku tidak mengetahui adanya aturan larangan merokok di dalam Kode Etik Mahasiswa. Ia juga mengungkapkan bahwa kawasan parkiran tersebut sudah lazim dijadikan sebagai tempat untuk merokok, sehingga ia tidak pernah mendapat teguran.
Sementara itu, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Hafizh Maulana Assuyuthi, saat perkuliahaan kerap menjauhi temannya ketika temannya merokok. Ia merasa risih dengan mahasiswa yang merokok, karena menurutnya perbuatan tersebut mengganggu kenyamanan dan merugikan pihak lain yang tidak merokok yang semestinya berhak menghirup udara sehat.
“Kalau mau ngerokok, duduknya jangan deket gua. Tapi pada batu, Jo. Ngerokoknya gak tau waktu,” ujarnya kepada wartawan Journo Liberta.
Sebagai gambaran di lapangan, pada 6 Desember 2019 lalu, Aksi Kebaikan (Smoke Free Campus) UIN Jakarta bersama KSR PMI serta sejumlah mahasiswa lainnya menggelar aksi memungut sampah rokok di Kampus 1 UIN Jakarta. Aksi yang diikuti oleh 21 mahasiswa ini berhasil mengumpulkan 8.561 puntung rokok dalam waktu 60 menit.
Selama 60 menit tersebut, mereka hanya memungut puntung rokok dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sampai Fakultas Sains dan Teknologi dengan jarak 500 meter. Bayangkan bila waktu mencarinya ditambah atau area mencarinya diperluas ke seluruh Kampus 1, Kampus 2, Kampus 3, hingga Kampus PPG yang berada di Depok. Jika dikumpulkan, itu bisa saja memenuhi satu bentor sampah.
Ketua Aksi Kebaikan (Smoke Free Campus) UIN Jakarta, Arya Saputra Ramadani menilai masih adanya mahasiswa yang merokok di dalam kampus dikarenakan aturan larangan merokok di dalam Kode Etik Mahasiswa masih lemah. Ia mengatakan, perlu adanya sanksi yang tegas serta petugas yang berwenang mengawasi dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar.
Hal senada juga disampaikan Pendiri Aksi Kebaikan, Priska Maya Putri. Menurut alumnus Jurusan Matematika ini, seharusnya UIN Jakarta sebagai institusi pendidikan menjadi salah satu kawasan tanpa rokok (KTR). Hal ini sebagaimana telah diamanatkan di dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mana pada Pasal 115 Ayat 1 menyatakan tempat proses belajar mengajar menjadi salah satu kawasan tanpa rokok.
Selain itu, mengingat UIN Jakarta masuk ke dalam wilayah administrasi Kota Tangerang Selatan, dalam Perda Tangsel Nomor 4 Tahun 2016 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), mengatur perguruan tinggi sebagai kawasan bebas dari asap rokok.
Aksi Kebaikan yang berdiri sejak Desember 2018 konsisten mendorong UIN Jakarta menjadi kampus seratus persen tanpa rokok. Selain aksi memungut puntung rokok, Aksi Kebaikan juga sempat beraudiensi dengan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Masri Mansoer—sebelum diturunkan dari jabatannya secara sepihak— dan membuat petisi mendukung UIN Jakarta bebas dari asap rokok. Malangnya upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Menanggapi hal ini, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Arief Subhan mengatakan, UIN Jakarta memang tidak membuat secara khusus mengenai KTR. Karena, lanjutnya, asumsinya seluruh wilayah kampus itu adalah wilayah bebas asap rokok.
“Bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan, bahwa merokok itu juga suatu pemborosan, itu kan kita edukasikan. Nah kemudian bentuknya apa? Bentuknya adalah Kode Etik Mahasiswa di mana salah satu poinnya (Pasal 6 Ayat 8) disebutkan bahwa mahasiswa dilarang merokok dalam wilayah kampus, semuanya. Itu karena semuanya, jadi tidak ada yang namanya kawasan merokok di sini (UIN Jakarta). Terus kalo sudah ada larangan begitu, (apakah) masih ada yang merokok di dalam (kampus)? Pasti masih lah,” kata Arief saat ditemui di ruang kerjanya, 7 Februari lalu.
Diketahui, di dalam Kode Etik Mahasiswa, sanksi pelanggaran bersifat akademik. Larangan merokok masuk ke dalam kategori ringan, yaitu sanksi berupa teguran lisan atau tertulis. Menurut Arief, sanksi berupa teguran baik lisan atau tulisan sudah cukup membuat pelaku sadar bahwa apa yang dilakukannya melanggar kode etik.
Arief mengatakan, mahasiswa merupakan kalangan terpelajar, artinya mereka tahu sebenarnya apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Ia melanjutkan, karena mereka orang-orang pintar maka sanksi yang diberikan bersifat penyadaran. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jelasnya, kesadaran sivitas akademika UIN Jakarta terkait rokok mulai membaik.
“Jadi untuk kesadaran-kesadaran yang pelan-pelan membaik, tidak butuh pendekatan yang sifatnya pake satgas, kekerasan. Karena ini dunia pendidikan, kita juga ingin memberikan penyadaran,” ujarnya.
Menurut Arief, kode etik saja sudah cukup sebagai aturan larangan merokok di UIN Jakarta. Saat ditanyai mengenai apakah ke depannya akan ada pembahasan terkait peraturan khusus untuk KTR, Arief enggan menjawab.
“Intinya bahwa di sini di seluruh kampus (UIN Jakarta) adalah dilarang merokok, sesuai dengan kode etik yang ditandatangani oleh rektor. Apakah itu kurang atau lebih ya terserah kamu,” tutupnya.
Penerapan KTR
Bila dibandingkan dengan perguruan tinggi nasional lainnya, seperti Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Udayana Bali, UIN Jakarta jauh tertinggal dalam membebaskan lingkungan kampus dari asap rokok melalui regulasi KTR. Bahkan, perguruan tinggi yang satu “rahim” dengan UIN Jakarta, yakni UIN Ar-Raniry Banda Aceh telah mengeluarkan SK Rektor tentang KTR sejak 2016 silam.
Jika berkaca pada UIN Jakarta sendiri, regulasi terkait KTR sebenarnya telah lama diterapkan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) dan Fakultas Kedokteran (FK), melalui Surat Keputusan (SK) Dekan. Akan tetapi, langkah ini tidak diikuti oleh sepuluh fakultas lainnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fikes, Ida Rasyidah mengatakan, dikeluarkannya SK Dekan tentang KTR ini karena aturan larangan merokok yang ada dalam Kode Etik Mahasiswa pemaparannya masih terlalu umum. Menurutnya, mengandalkan pada kode etik terkait aturan merokok saja tidak cukup tanpa disertai dengan political will seluruh jajaran dari pimpinan hingga ke tingkat pegawai terendah untuk bekerja sama dalam penerapan, pengawasan, sanksi, dan evaluasi guna mengukur tingkat keberhasilan.
Beberapa tahapan yang dilakukan Fikes sehingga berhasil menerapkan KTR seratus persen di antaranya, yaitu mengeluarkan SK Dekan tentang KTR dan menyosialisasikan di kalangan mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik; memasang plang-plang kawasan KTR; menumbuhkan kesadaran setiap akademisi untuk saling mengingatkan; dan membekali mahasiswa secara teoritis terhadap perilaku hidup sehat. Ida melanjutkan, peer group juga punya peran signifikan dalam upaya meningkatkan kesadaran untuk bebas dari merokok.
“Di awal-awal penerapan KTR, sering dilakukan sidak ke kelas-kelas dan lingkungan kampus (Fikes), tapi sekarang tidak lagi karena kami melibatkan pengurus ormawa (organisasi mahasiswa) dan tendik (tenaga pendidik) yang sudah sadar KTR untuk sama-sama mengawasi,” katanya saat dihubungi via WhatsApp, Jumat (25/2/2022).
Ida membeberkan sejumlah langkah yang bisa dilakukan pihak kampus guna mewujudkan UIN Jakarta bebas asap rokok. Pertama, perlu adanya SK Rektor tentang KTR yang memuat di dalamnya secara jelas terkait dengan bagaimana pengawasan dan pembinaan pelaksanaan KTR. Kedua, perlu adanya tim seperti satgas yang membina dan mengawasi pelaksanaannya, termasuk dalam pemberian sanksi. Ketiga, perlu adanya pedoman implementasi KTR di UIN Jakarta.
Keempat, perlu adanya sosialisasi intensif di kalangan akademisi guna mengubah mindset bahwa merokok itu keren. Kelima, perlu adanya spot khusus untuk merokok agar mudah dilokalisir. Keenam, larangan untuk menerima bantuan dana dari perusahaan rokok bagi kegiatan apapun di kampus, termasuk dana beasiswa untuk mahasiswa.
Ida melanjutkan,UIN Jakarta juga perlu melakukan beragam kebijakan KTR lainnya yang lebih konkrit untuk terwujudnya kampus bebas rokok, sehingga ke depan warga kampus dapat hidup nyaman dan memiliki kesehatan prima. Ia yakin keberhasilan Fikes dalam menerapkan KTR bisa juga diterapkan oleh universitas.
“Ya kuncinya itu ada political will, komitmen, konsistensi, dan disiplin dalam penerapan dan sanksinya,” ujarnya.
Berdasarkan riset yang dilakukan Windi Wiyarti dkk, dengan judul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2019, menyatakan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tentang KTR yang baik akan memiliki peluang mematuhi KTR 4,148 kali lebih besar daripada responden yang memiliki pengetahuan tentang KTR yang kurang baik.
Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan metode cluster random sampling. Klaster sampel diambil dari dua fakultas di UIN Jakarta yang menerapkan KTR, yakni Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) dan Fakultas Kedokteran (FK); serta dua fakultas yang belum menerapkan KTR, yakni Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) dan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH).
Menanggapi KTR ini, Lily Surayya yang juga merupakan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama mengungkapkan, Rektor Amany Lubis pernah mencanangkan bahwa UIN Jakarta adalah kampus bebas rokok serta mengimbau semua pimpinan di fakultas membuat aturan-aturan semacam KTR. Selain itu, Lily menyatakan dukungannya apabila ada mahasiswa yang ingin mengajukan ke pihak kampus untuk dibuatkannya SK Rektor terkait KTR.
“Boleh saja. Bisa diajukan dari mahasiswa, dan ibu sangat setuju. Jadi untuk green campus itu ya harus ada di sana aturan-aturan terkait masalah bebas rokok itu di kampus. Itu ibu sangat mendukung sekali. Bagus sekali kalau itu,” tutupnya. []
Penulis: Johan/Journo Liberta
Editor: Afwan Purwanto/AJI Jakarta
Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta untuk pers mahasiswa.
Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam Pers Mahasiswa UIN Jakarta JournoLiberta pada 17 Maret 2022.
Discussion about this post