Jakarta, Prohealth.id – Baru-baru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan aturan baru yang mengejutkan. Plt. Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono membuat kebijakan tegas memutuskan akses Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk anak sekolah yang merokok.
Menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, tujuan dari kebijakan tersebut memang sangat baik utamanya untuk memutus mata rantai rokok dan produk yang serupa pada anak. Namun di balik masalah ini, sebenarnya saat ini pemerintah tengah ditantang menangani anak-anak yang menjadi korban rokok, agar bisa memiliki hak mengakses anggaran perlindungan khusus anak yaitu rehabilitasi anak, pasca kecanduan rokok, agar pulih.
Dalam Undang Undang Perlindungan Anak pasal 59 ayat 2 menyatakan, pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus Anak, yang di dalamnya ada 15 kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus, dimana poin 5 tegas tentang anak perokok, bicara anak yang terpapar zat adiktif atau zat candu, yang menurut Undang Undang juga wajib dilindungi.
“Karena Negara kita berkomitmen rokok harus jauh dari anak, bahkan rokok membunuh anak. Tetapi ketika bicara skema anggaran perlindungan khusus anak yang menjadi korban rokok dan produk serupa rokok, kita masih kesulitan. Sehingga selain KJP dicabut, orang tua juga kesulitan dalam pemulihan anak akibat efek candu rokok,” ujar Jasra melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id, (8/5/2023).
Kebijakan otoritatif tersebut tetap tak menyelesaikan hulu persoalan rokok karena efek candu rokok pada anak ketika tidak dipulihkan, akan menjadi pembuka untuk industri candu lainnya. Oleh karena itu Jasra menilai jangan sampai kebijakan ini sia-sia, bak menggarami lautan.
“Kita memutus rokok dengan memberi sangsi anak, tetapi akses anak untuk rokok tetap tersedia, mereka yang di stop anggaran KJP nya, tetapi tidak bisa rehab dan pada akhirnya efek candu itu terus menghantui, yang berakibat rokok tidak bisa lepas dari genggaman anak,” tuturnya.
Apalagi di tengah perjuangan para aktivis pengendalian produk tembakau sedang mendesak revisi PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan kepada Presiden dengan fokus utama mendoro aturan tegas atas iklan, promosi dan sponsor (IPS) rokok bisa dijauhkan dari anak. Hal ini dengan alasan bahwa anak yang terpapar zat adiktif masuk kategori Perlindungan Khusus Anak.
“Jadi ini bukan soal, anak mau merokok atau tidak, tetapi mereka merokok, karena industri rokok penyebarannya tidak dibatasi, media ruangnya terus mendekati, paparan asap rokok selalu ada, dan sifat magic rokok menjadi asap yang disukai anak, apalagi bicara rokok di pasar illegal, artinya ada kepanjangan tangan pihak ke 3 yang terus bekerja untuk anak,” terang Jasra.
Ia pun mengingatkan, bahwa semua produk yang berdampak merugikan memang menanggung beban pajak atau membayar efek samping produk dalam bentuk pengenaan cukai. Namun besarnya anggaran cukai tersebut, belum mencerminkan komitmen adanya tempat rehabilitasi yang layak bagi anak yang kecanduan produk yang berdampak besar pada lingkungan dan kesehatan anak ini.
Adapun indikatornya tempat rehabilitas rokok yang layak buat anak ada beberapa hal. Menurut Jasra penting untuk memetakan dan menjamin ketersediaan akses dan fasilitas rehabilitas pecandu rokok. Dengan begitu akan sejalan dengan kebijakan menghentikan KJP yang harus berlanjut, sehingga hak anak untuk sehat dan pulih dari candu produk tembakau dan produk serupa lain bisa tercapai. Jasra menegaskan langkah integral dua kebijakan ini sangat penting mengingat terlalu banyak media memberitakan dengan para ahli yang menyampaikan dampak panjang yang sangat merugikan untuk anak namun masih terabaikan.
“Dari memotret satu kasus saja, dari beragam kasus anak, kita melihat hubungan timpang, yang dibuat terstruktur pada anak yang mendapatkan perlakukan salah industri candu. Masyarakat terkesan berantem sendiri soal dampak rokok, orang tua dan anak akan semakin jauh akibat dampak rokok dan kebijakan ini,” pungkasnya.
Untuk itu, dari kasus anak yang terpapar rokok masyarakat harus tersadarkan tentang sulitnya melakukan pencegahan anak merokok, karena dukungan program dan anggaran yang sangat timpang. Belum lagi kebijakan perlindungan khusus anak yang ber-visi jangka panjang pada menjauhkan anak dari zat adiktif atau produk tembakau, namun pada implementasinya tidak didukung penuh. Sehingga lebih menunjukkan korban terus berjatuhan, karena tidak tertangani, sehingga angka prevalensi perokok terus naik. Kondisi masih diperparah karena sejak dulu anggaran perlindungan khusus anak masih sangat minim.
Untuk itu semua industri yang membawa efek candu dan serupa dengan rokok maka anak-anak otomatis wajib dilindungi, dipulihkan, diberi akses rehabilitasi, dipulihkan, guna sesuai konstitusi tentang sikap anti diskriminasi pada anak.
“Artinya, bukan berarti tidak mendukung kebijakan memutus mata rantai merokok pada anak, tetapi sekali lagi kebijakan ini harus dilanjutkan Plt Gubernur DKI agar semua anak terlindungi.”
Discussion about this post