Jakarta, Prohealth.id – Kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia yang sangat berdampak kepada perempuan dan kelompok marjinal lainnya.
Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) bagi tahun 2022 menyebutkan ada sebanyak 339.782 perempuan di Indonesia yang mengalami KBG. Angka ini merupakan jumlah kasus terbanyak dalam 10 tahun catatan KOMNAS Perempuan dan hampir dua kali lipat jumlah kasus dari tahun 2013.
Terjadi pula banyak kasus pembunuhan perempuan pada tahun-tahun terakhir ini. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta pada tahun 2022 meluncurkan Catatan Femisida (Pembunuhan Perempuan) yang memperlihatkan bahwa realita pengalaman hidup perempuan di Indonesia masih sangat jauh dari kata aman.
Pada tahun 2022 saja, setidaknya 289 perempuan, termasuk transpuan dan anak perempuan, dibunuh di Indonesia karena identitas mereka sebagai perempuan. Tak heran jika sebelumnya pada tahun 2012, Diana H Russell, seorang peneliti Amerika, menjelaskan femisida sebagai pembunuhan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena ia adalah perempuan. Russel juga menyebutkan, femisida adalah bentuk misoginis terhadap perempuan dan merupakan yang paling ekstrim dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Sementara hal serupa juga dinyatakan oleh peneliti lain seperti Sevos dan Corradi tahun 2016. Dalam riset mereka disebutkan, femisida merupakan pembunuhan sekaligus kekerasan ekstrim terhadap perempuan. Oleh sebab itu, femisida selalu merupakan kejahatan ganda dan tidak dapat digolongkan sebagai pembunuhan pada umumnya. Dalam praktik femisida, para peneliti tersebut mengatakan, terdapat nuansa politik dominasi patriarki terhadap perempuan.
Dian Novita, Koordinator Perubahan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta menekankan dengan disahkannya UU TPKS tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan tanpa adanya peraturan pelaksana yang membantu penegak dan perangkat hukum lainnya untuk melaksanakan UU TPKS secara menyeluruh.
Riska Carolina dari Konsorsium CRM menambahkan, pemerintah juga harus dapat mengajak masyarakat untuk ikut menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap perempuan dengan ragam identitas, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya.
“Jaminan perlindungan hukum yang komprehensif bagi kelompok rentan sangat dibutuhkan saat ini mengingat Indonesia darurat toleransi,” ujar Riska dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (17/5/2023).
Senada dengan Riska, Echa Waode dari Arus Pelangi mengatakan, eksistensi perda-perda diskriminatif yang khususnya ditujukan untuk mendiskriminasi kelompok marjinal dan minoritas harus dibatalkan.
“Pemerintah seharusnya membentuk legislasi anti-diskriminasi yang komprehensif, bukan sebaliknya. Sikap ini justru menghancurkan nilai nilai demokrasi dan kemanusiaan,” tegas Echa.
Sebagai contoh disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 juga merupakan pukulan keras bagi masyarakat Indonesia. Kebutuhan masyarakat Indonesia yang pada saat itu berjuang di tengah pandemi Covid-19 dikesampingkan oleh pemerintah. Dampak Pandemi Covid-19 terhadap pekerja perempuan, termasuk buruh perempuan dan pekerja rumah tangga (PRT), masih terasa hingga sekarang.
“Tidak adanya perjanjian kerjasama yang formal antara pekerja dan pemberi kerja, mengakibatkan kerentanan PRT terhadap eksploitasi dan kekerasan. Banyak perempuan PRT yang menjadi korban dari kondisi kerja yang tidak layak, menjadi rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan perbudakan modern”, ucap Lita Anggraini, Koordinator Jala PRT.
Lita menambahkan, bahwa sudah belasan tahun Jala PRT melakukan advokasi untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), namun hingga saat ini pemerintah masih belum melakukannya.
“Kami mendesak RUU PPRT bisa dibahas dan disahkan dalam masa sidang bulan Mei-Juni ini,” tegas Lita.
Stigma dan ekspektasi sosial yang diberikan kepada perempuan juga mengakibatkan timbulnya beban ganda bagi perempuan. Namun pada saat yang sama, perlindungan sosial yang diberikan negara kepada perempuan belum komprehensif dan menyeluruh.
Igna, dari Yayasan IPAS Indonesia menambahkan, penting bagi pemerintah untuk memastikan berjalannya perlindungan sosial yang komprehensif, adil gender dan inklusif, dan dilengkapi dengan alokasi anggaran yang memadai. Akses pada pelayanan kesehatan yang adil gender dan inklusif, termasuk fasilitas dan anggaran bagi terselenggaranya jaminan pelayanan kesehatan seperti visum gratis, pengobatan ARV, konseling kespro, layanan aborsi bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya, dan pelayanan kesehatan jiwa bagi semua perempuan dan kelompok marginal, rentan minoritas lainnya, termasuk anak, juga harus diberikan sesuai dengan prinsip HAM yang universal.
“Maka dari itu, perlu bagi pemerintah untuk mendengarkan suara perempuan khususnya dalam membahas RUU Kesehatan. Pemerintah perlu mengintegrasikan prinsip layanan yang berpusat pada pasien dan komprehensif yang berlandaskan perspektif HAM dan gender,” tegas Igna.
Nissi, dari Feminis Themis mengingatkan bahwa perempuan dengan disabilitas juga memiliki kerentanan berlapis yang sering sekali isu dan kebutuhannya dikesampingkan oleh pemerintah termasuk akses teman teman tuli terhadap informasi dan pendidikan.
“Selain memastikan implementasi kebijakan akomodasi yang layak bagi peserta didik dengan disabilitas di isu pendidikan, pemerintah juga harus segera mengesahkan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) sebagai bahasa isyarat bervariasi dalam dialek dan bekerja sama menuju penghentian bertahap Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI),” ucap Nissi.
Sementara itu, Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan dari Greenpeace Indonesia menekankan pada isu lingkungan hidup dan perubahan iklim memiliki hubungan yang sangat erat dengan perempuan. Dia menjelaskan bahwa dampak dari perubahan iklim sudah sangat jelas, dan perempuan yang paling rentan terkena dampak dari perubahan iklim.
Sekar menekankan bahwa pembangunan juga tidak selamanya merupakan hal baik, apalagi jika tidak memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, perampasan lahan dan hak masyarakat adat yang hidup harmonis dengan alam.
“Jika pemerintah memang peduli dengan lingkungan dan hak masyarakat adat, pemerintah perlu mencabut UU Ciptaker, UU Minerba dan pasal pasal bermasalah di KUHP dan segera mengesahkan RUU Perlindungan Masyarakat Adat,” pungkas Sekar.
Sayangnya, banyak perempuan pembela HAM yang menerima ancaman, tekanan dan bahkan kriminalisasi. UU ITE dengan pasal karetnya masih menjadi salah satu peraturan yang sering sekali menjerat perempuan pembela HAM.
Kasus Fatia-Haris merupakan sebuah contoh konkrit yang membuktikan bagaimana UU ITE digunakan untuk membungkam kritik masyarakat sipil terhadap pemerintah.
Citra Referandum, Direktur LBH Jakarta mengatakan pemerintah harus segera merevisi UU ITE dan mencabut pasal bermasalah dalam KUHP baru yang akan memperparah situasi kebebasan berekspresi dan perlindungan HAM secara umum.
“Jika ini tidak dilakukan, maka pelan-pelan kita akan kembali ke masa Orde Baru. Kita tidak ingin sejarah masa lalu terjadi kembali, di mana suara-suara kritis dilenyapkan. Apalagi hingga sekarang pun, tepat 25 tahun setelah kejadian Mei 1998, pemerintah belum juga melakukan kewajibannya untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM pada masa lalu,” kata Citra.
Menjelang Pemilu serentak tahun 2024, semua persoalan ini makin terlihat tetapi tetap saja diabaikan oleh pemain kunci dalam politik. Suara perempuan sama sekali tidak terdengar oleh partai atau caleg, walaupun perempuan merupakan 50 persen dari penduduk Indonesia.
Khoirunnisa Agustyati, Direktur Eksekutif dari PERLUDEM, menekankan, penting untuk memastikan keterwakilan politik perempuan dengan membuka dan memudahkan akses perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya untuk berpartisipasi dalam politik.
Partai politik juga harus melakukan pendidikan politik dan kewarganegaraan yang berperspektif gender; melakukan pendidikan politik secara sistematis bagi kader perempuan; memastikan terintegrasinya perspektif gender dalam kepengurusan dan kebijakan partai; serta memastikan keterwakilan kelompok marginal dan minoritas lain dalam segala aspek.
Dari segala isu di atas, maka Koalisi Women’s March Jakarta melihat bahwa banyak sekali pembungkaman yang dialami perempuan dan kelompok marginal yang dilakukan secara sistematis oleh negara. Maka dari itu, Women’s March Jakarta pada tahun ini menekankan aspek politik.
“Aksi ini bertujuan untuk menantang struktur kekuasaan patriarki dan menciptakan ruang bagi suara perempuan untuk didengar dan dihormati dalam ajang kontestasi politik di Indonesia. Tema Women’s March 2023 adalah SUDAHI BUNGKAM, LAWAN! adalah semboyan yang mendorong semua perempuan, kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya untuk turun ke jalan, merapatkan barisan dan menggaungkan perubahan,” ujar Anindya Restuviani, selaku Direktur Program dari Lintas Feminis Jakarta.
Anindya menambahkan semangat ini juga ingin diteruskan kepada kawan-kawan perempuan pembela HAM di negara-negara yang tengah mengalami otoritarianisme, seperti di Myanmar dan Thailand. Semangat yang sama seharusnya juga ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia dalam merespon konflik – konflik HAM dan kemanusiaan baik di Indonesia, maupun secara global.
Aksi Women’s March Jakarta 2023, yang akan dilaksanakan pada Sabtu, 20 Mei 2023 secara luring ini akan berjalan dari IRTI Monas dan berakhir di Patung Merak Monas di Pintu Barat Daya akan membawa Nawatura, yang merupakan 9 Tuntutan Rakyat.
Pertama, meningkatkan keterwakilan politik perempuan dengan membuka dan memudahkan akses perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya untuk berpartisipasi dalam politik.
Kedua, segera mengesahkan seluruh kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan, diskriminasi, stigma, represi atau dampak buruk program pembangunan terhadap perempuan.
Ketiga, mencabut dan/atau membatalkan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, rentan dan minoritas lainnya baik di tingkat lokal maupun nasional.
Keempat, menghentikan praktik-praktik berbahaya (harmful practices) terhadap perempuan, anak perempuan, dan kelompok minoritas gender dan seksual.
Kelima, mendorong kurikulum pendidikan yang komprehensif, adil gender dan inklusif, termasuk melalui jaminan bagi anak perempuan untuk mendapatkan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, karakteristik seks, ras, suku, agama, kepercayaan, status kesehatan (fisik dan psikis), status sosial, dan lainnya; serta memajukan pendidikan, pemberdayaan dan akses yang inklusif bagi anak-anak perempuan dengan disabilitas, anak dengan HIV/AIDS, anak narapidana, dan anak pengguna napza.
Keenam, mendesak Pemerintah Indonesia untuk melindungi perempuan, kelompok minoritas, rentan dan marginal.
Ketujuh, memastikan berjalannya perlindungan sosial yang komprehensif, adil gender dan inklusif.
Kedelapan, menuntut Pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan hak-hak korban.
Kesembilan, mendorong pemerintah sebagai chairperson ASEAN 2023 untuk turut aktif dalam penyelesaian konflik di wilayah Asia Tenggara dan memberikan perlindungan pada para pencari suaka atau pengungsi.
Discussion about this post