Jakarta, Prohealth.id – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa pada 2021 satu dari empat anak tinggal bersama orang tua yang memiliki kondisi mental yang serius.
Data World Health Organization tersebut secara rinci menjelaskan, 10-20 persen anak dan remaja di seluruh dunia mengalami kondisi permasalahan terkait kesehatan mental, 50 persen di antaranya dimulai sejak usia 14 tahun, dan 75 persen dimulai pada usia pertengahan 20-an.
Selain itu, satu dari empat anak saat ini tinggal bersama orang tua yang memiliki kondisi mental yang serius. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya layanan Mental Health and Psychosocial Support (MHPSS) atau Kesehatan Mental dan Dukungan Psikososial bagi orang tua dapat berdampak serius pada perlindungan, kesehatan, dan kesejahteraan anak.
Isu kesehatan mental orang tua akibat kasus-kasus pembunuhan yang satu minggu terakhir ini banyak memenuhi ruang pemberitaan. Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia Troy Pantouw menyatakan dari kasus-kasus tersebut, orang tua merupakan pelaku kejahatan di mana seharusnya orangtua menjadi orang terdekat yang melindungi anak dan yang paling dipercaya oleh anak. Tak jarang salah satu alasan utama pembunuhan karena faktor kemiskinan, ketidaksanggupan memberikan pengasuhan, dan paling buruk adalah anggapan orangtua bahwa membunuh untuk menyelamatkan anak.
Troy berpendapat, kasus pembunuhan anak yang belakangan terjadi menunjukkan betapa pentingnya semua pihak memberi perhatian pada isu kesehatan mental orang tua. Kondisi kesehatan mental pada orang tua dapat berdampak besar pada anak-anak yang diasuhnya, dan memengaruhi perilaku serta kesejahteraan mereka.
“Oleh karena itu, Save the Children Indonesia mendesak Pemerintah untuk memprioritaskan isu kesehatan mental orang tua dalam berbagai bentuk kegiatan secara nyata dan meningkatkan akses, maupun kualitas layanan kesehatan mental bagi masyarakat, khususnya orang tua,” tegas Troy Pantouw dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (25/5/2023).
Kondisi psikologis orang tua yang rentan juga dapat meningkatkan risiko kekerasan antar pasangan, kekerasan terhadap anak, dan kurangnya kemampuan orang tua dalam mendidik anak. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam meningkatkan layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial untuk orang tua guna mencegah terjadinya kasus kekerasan dan memastikan kesejahteraan anak.
Selain itu, Save the Children Indonesia juga meminta masyarakat untuk menghentikan stigma dan persepsi terhadap masalah kesehatan mental. Troy menegaskan, kesehatan mental bukanlah hal yang tabu dan diabaikan, namun justru perlu dimintakan bantuan dan didukung agar mengalami pemulihan sehingga bagi orang tua yang mengalaminya akan merasa lebih nyaman dan terbuka untuk mencari serta menerima bantuan dalam mengatasi isu kesehatan mental mereka dari para ahli
Save the Children Indonesia melalui program MHPSS / Kesehatan Mental dan Layanan Dukungan Psikososial yang diimplementasikan di Jakarta dan Jawa Barat membuktikan bahwa kondisi mental yang sehat dari orangtua, pengasuh utama dan orang – orang terdekat dengan anak akan membantu membangun hubungan yang baik, aman dan hangat. Hal ini juga membantu perkembangan mental anak dan mencapai hasil pendidikan yang lebih baik.
“Pas masuk sekolah lagi, saya kaget, capek karena jadwal sekolahnya lama jadinya sering sedih, marah sama mamah. Terus di sekolah diajarin pernafasan bunga dan lilin, saya jadi tenang. Di rumah juga praktikin bareng sama mamah,” tutur Sinta, anak perempuan berusia 11 tahun asal Jakarta.
Ancaman gangguan kesehatan mental pada anak juga dialami ketika anak berinteraksi di media sosial.
Ancaman media sosial
Meluasnya penggunaan media sosial telah memungkinkan orang untuk berbagi cerita dan pengalaman pribadi mereka secara online, yang terkadang berakibat cyberbullying. Cyberbullying adalah masalah global yang terjadi ketika individu melecehkan, mengintimidasi, atau mengancam orang lain melalui platform digital, seperti media sosial, aplikasi pesan instan, atau forum online.
Di Indonesia, isu mengenai bullying dan cyberbullying telah beredar luas. Sebuah studi tahun 2019 yang dilakukan oleh Polling Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyoroti bahwa 49 persen pengguna internet Indonesia pernah mengalami perundungan di media sosial.
Audrey Maximillian Herli, CEO dan Founder Riliv pun akhirnya memutuskan membuat inovasi. Melalui program inkubator lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kota setempat dan akselerator, yang membuat Maxi menyadari bahwa ia dapat mengubah visinya menjadi bisnis jangka panjang.
Pada akhir tahun 2015, Maxi dan saudaranya, Audy Christopher Herli, mengembangkan ide tersebut menjadi Riliv, sebuah start-up yang menawarkan layanan konseling dan kesehatan mental. Kemudian pada tahun 2022, Riliv menggalang pendanaan yang dipimpin oleh East Ventures.
Bertahun-tahun kemudian, beberapa faktor mendorong munculnya kesadaran kesehatan mental. Pertama, pandemi COVID-19 telah membawa orang mengalami kecemasan, depresi, trauma, atau sindrom psikologis lainnya. Di samping itu, kebangkitan pendidikan dan tingkat ekonomi di Indonesia telah meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental dan menghilangkan stigma penyakit mental dari waktu ke waktu. Faktor-faktor ini memainkan peran penting dalam membantu membentuk kesiapan pasar untuk menormalkan penerapan layanan kesehatan mental.
Pasca pandemi, Maxi mengungkapkan permintaan konsultasi online melonjak sangat tinggi, hingga 800 persen.
“Semakin banyak orang yang menyadari pentingnya kesehatan mental dan merasakan meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara fisik maupun mental. Selain itu, mereka juga sudah merasa nyaman dengan konsultasi online. Maka, preferensi sistem online masih ada,” kata Maxi.
Hingga Maret 2023, lebih dari 900.000 orang di seluruh Indonesia telah mengunduh aplikasi Riliv, dan lebih dari 100 psikolog profesional bermitra dengan Riliv untuk memecahkan masalah pengguna. Ada tiga fitur favorit Riliv, seperti Counseling, Journal, dan Meditation, untuk pengguna individu dan karyawan perusahaan.
Kota-kota di Pulau Jawa, antara lain Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah menjadi kota teratas terkait penetrasi pengguna Riliv. Selaras dengan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2023, Jakarta dan Jawa Barat tetap menjadi provinsi peringkat pertama dan kedua dengan peningkatan Penggunaan TIK yang signifikan dan Pengeluaran TIK mendorong orang untuk menggunakan digital dan membelanjakan lebih banyak untuk perangkat TIK.
Sementara itu, Jawa Tengah (Jateng) menempati peringkat ke-4 dalam penetrasi Riliv dan ke-6 dalam skor EV-DCI 2023, didorong oleh pilar Penggunaan ICT dan Pengeluaran ICT. Kedua pilar tersebut menjadi penyumbang terbesar yang membawa Jateng melonjak delapan peringkat dari tahun lalu. Peningkatan pilar Penggunaan dan Pengeluaran TIK di setiap provinsi secara tidak langsung mendorong adopsi startup digital, termasuk startup kesehatan mental seperti Riliv.
Ketersediaan SDM
Seiring meningkatnya kesadaran kesehatan mental, masalah kesehatan mental pun meningkat. Namun, fasilitas medis dan psikologis tetap tidak mencukupi untuk menangani permintaan yang terus meningkat. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), hanya 50 persen dari 10.321 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang saat ini menawarkan layanan kesehatan jiwa. Selain itu, empat provinsi masih kekurangan layanan kesehatan jiwa, dan hanya 40 persen rumah sakit umum yang memiliki fasilitas yang diperlukan.
Mengenai ketersediaan psikiater, rasio di Indonesia sangat tidak proporsional, dengan satu psikiater melayani sekitar 227.000 orang, jauh dari rasio ideal yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menyarankan satu psikiater per 30.000 orang. Terlebih lagi, distribusi psikiater sangat terkonsentrasi di kota-kota di pulau Jawa, mengakibatkan akses layanan kesehatan jiwa yang tidak merata di seluruh negeri.
Untuk memperkuat jaringan kesehatan jiwa di Indonesia, pemerintah mendorong kolaborasi antara pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swasta, organisasi profesi, komunitas, dan startup lainnya untuk mengembangkan pendekatan terpadu dalam upaya kesehatan jiwa. EV-DCI 2023 juga menyarankan kolaborasi ini untuk mencapai pemerataan akses kesehatan di seluruh Indonesia.
Mengintegrasikan data dan layanan antara startup kesehatan konvensional dan digital juga bisa menjadi cara untuk menciptakan ekosistem kesehatan Indonesia yang lebih baik. Ini dapat membawa peluang untuk mengembangkan produk berbasis digital, seperti produk aktivitas medis preventif berbasis IoT dan AI. Selain itu yang paling penting adalah kolaborasi akan membuat perawatan kesehatan lebih mudah diakses untuk kota-kota besar dan mereka yang tinggal di daerah lapis 2 dan 3. Ini berlaku untuk startup kesehatan mental, pusat kesehatan konvensional, asosiasi psikiater, dan komunitas.
Maxi juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam menggalakkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan jiwa. Ia menegaskan bahwa Riliv sepenuhnya selaras dengan inisiatif pemerintah dan terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan guna memperluas penyebaran informasi dan pengetahuan terkait kesehatan mental di Indonesia untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.
“Kami bermimpi seluruh rakyat Indonesia harus sehat secara mental. Kami selalu berharap masyarakat Indonesia menganggap kesehatan mental sebagai kesehatan fisik, dan tidak ada lagi stigma bahwa orang yang berkonsultasi dengan psikolog itu aneh atau gila. Alangkah baiknya jika ada lebih banyak pemahaman tentang orang-orang dengan masalah kesehatan mental sehingga lebih banyak orang bisa bahagia dan hidup bermakna bagi diri dan lingkungannya,” kata Maxi.
David Fernando Audy, Operating Partner East Ventures menambahkan pihak East Ventures saat ini mendukung beberapa startup kesehatan mental, termasuk Riliv, karena mereka percaya bahwa menjaga kesehatan mental sama dengan menjaga kesehatan fisik.
Melalui digitalisasi, East Ventures berharap semakin banyak masyarakat yang dapat mengakses layanan kesehatan di setiap provinsi dan kota yang mungkin belum terakomodasi secara daring.
“EV-DCI 2023 memiliki beberapa rekomendasi bagi para pemegang kepentingan di industri kesehatan untuk memutus hambatan, sehingga kita bisa menjaga kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk membangun ekosistem kesehatan yang kuat,” kata David.
Discussion about this post