Jakarta, Prohealth.id – Sejumlah gerakan kaum muda yang terdiri lebih dari 100 orang massa aksi dari aliansi organisasi berbagai latar belakang mendesak Presiden Joko Widodo bertindak tegas terhadap industri rokok.
Maklum saja, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang masih belum juga meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Hasilnya, hingga saat ini perkembangan kebijakan spesifik terkait dengan pengendalian konsumsi rokok berjalan lambat.
Di tengah simpang siur perumusan RUU Omnibus Law Kesehatan yang dibicarakan akan menghapus pasal zat adiktif, Presiden Jokowi masih belum juga menunjukkan rupa keberpihakannya pada kesehatan masyarakat dalam isu ini.
Sejumlah organisasi tersebut yaitu Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), Forum Anak Banjarmasin, Social Force in Action for Tobacco Control (SFA TC), STIKes Maluku Husada, Himpunan Mahasiswa Public Health STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun, Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI), Pemuda Penggerak Solo, Himpunan Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia (ILMAGI), dan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI).
Sejumlah organisasi ini telah melaksanakan aksi dan kampanye bersama dalam memperingati Hari Tanpa Tembaka Sedunia (HTTS) pada 31 Mei 2023 dengan tema “We Need Food, Not Tobacco”, untuk menyoroti hubungan kerusakan yang dilakukan oleh industri rokok terhadap generasi penerus bangsa dan absennya pemerintah dalam masalah tersebut. Aksi ini dilakukan di lebih dari 20 titik di beberapa Kabupaten/Kota se-Indonesia.
Adapun tujuan gerakan ini berkampanye di depan gedung pemerintahan juga pabrik industri rokok adalah untuk memberikan peringatan bahwa hubungan “penguasa dan pengusaha” yang dilakukan dengan konflik kepentingan akan berakhir buruk pada kebijakan publik. Seharusnya, kebijakan publik kita mengacu pada bukti ilmiah dan berpihak melindungi masyarakat yang terpinggirkan bukan justru membela kepentingan pemodal besar, apalagi industri rokok.
Perlu diwaspadai bahwa di tahun 2009 silam saat terjadi RUU Kesehatan, sempat ada upaya penghapusan pasal zat adiktif sebagai upaya industri rokok mengintervensi kebijakan yang pro terhadap kesehatan masyarakat. Agar DPR-RI, Presiden, termasuk masyarakat dapat mengawal terus proses pembuatan kebijakan sebelum akhirnya disahkan. Hal ini untuk mewaspadai hilangnya pasal zat adiktif pada RUU Omnibus Law kesehatan. Asas partisipasi, keterbukaan hingga pentingnya memperhatikan substansi yang berdasarkan bukti perlu jadi pedoman dalam penyusunan RUU ini.
Pemerintah harus jelas mengusung pola kebijakan berdasarkan bukti bukan cawe-cawe dari industri, apalagi jika industri ini secara jelas memperdagangkan bahan mematikan setiap harinya yang bahkan bisa diakses dengan murah dan mudah oleh anak-anak.
Manik Marganamahendra, Ketua Umum IYCTC mengatakan naskah RUU Omnibus Law Kesehatan yang beredar belum cukup kuat untuk mengatur masalah rokok yang begitu problematik di Indonesia. Manik menegaskan, DPR-RI dan Pak Joko Widodo selaku Presiden harus memasukkan pasal yang spesifik mengatur larangan iklan, promosi, dan sponsorship (IPS) rokok pada RUU Kesehatan. Untuk itu, jangan biarkan industri rokok ikut cawe cawe merusak kebijakan publik di Indonesia. Hanya Indonesia satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih memperbolehkan iklan rokok di media penyiaran.
“Iklan rokok bukan saja melemahkan daya kritis masyarakat terhadap produk yang mengandung zat adiktif ini dan terbukti dapat menjadi pemicu dimulainya konsumsi rokok pada anak dan orang muda. Tanpa adanya regulasi maka negara telah membiarkan generasi mudanya mabuk adiksi,” terang Manik.
Data Global Adult Tobacco Survey (2021) menunjukan jumlah iklan di internet 11 kali lipat dari tahun 2011 ke tahun 2021. Selain itu, penelitian TCSC IAKMI (2018) menyatakan bahwa iklan rokok di televisi meningkatkan peluang anak untuk merokok 2,2 kali lipat dibandingkan anak yang tidak melihat iklan, dan 1,5 kali lipat melalui poster, radio, billboard, dan internet.
Hal ini bisa saja dengan mudah terjadi mengingat Indonesia mendapatkan nilai 82 dalam Tobacco Industry Interference Index yang dirilis oleh SEATCA pada 2020 lalu, nilai ini adalah yang tertinggi kedua setelah Jepang dari negara-negara Asia Tenggara juga Asia lain yang dimonitori. TII Index sendiri menunjukkan seberapa besar industri rokok terlibat dalam mengganggu kebijakan publik pengendalian tembakau di suatu negara.
Sekretaris Jenderal ISMKMI, Nadhir Wardhana Salama, menyampaikan bahwa masalah rokok sebagai zat adiktif yang berdampak multidimensi harus dikendalikan secara serius oleh pemerintah. Untuk itu, gerakan aksi bersama oleh kaum muda merupakan bentuk peningkatan kesadaran akan pentingnya asupan makanan bergizi dibandingkan konsumsi rokok. Sedangkan aksi turun ke jalan merupakan bentuk kritik kepada pemerintah atas masih adanya kelonggaran kebijakan yang diberikan kepada industri rokok.
“Selain itu, kami juga melayangkan pesan kritis kami kepada industri rokok atas manipulasi dan kerugian yang selama ini ditimbulkan akibat rokok,” tambah Nadhir.
Ahmad Habibi, perwakilan dari ILMIKI menyatakan, dengan bergabung dalam aksi media sosial, ILMIKI juga menekankan perlu langkah konkret sebagai upaya menangani masalah konsumsi rokok. Ia menegaskan, apabila terus dibiarkan, jumlah pasien akibat penyakit karena rokok juga dapat menjadi tanggungan yang berat bagi negara dari aspek sosial, ekonomi dan tentunya kesehatan.
“Rokok dalam konsumsi individu tak hanya menyisakan dampak perseorangan tetapi juga dampak eksternal yang berbahaya bagi perokok pasif. Hasilnya, beban biaya kesehatan akan melonjak naik yang seharusnya bisa dialokasikan untuk keperluan lainnya,” ungkap Ahmad.
Menurut Ketua Pemuda Penggerak Solo, Aprilia Dian Asih Gumelar, bahan pokok yang selama ini seharusnya dicukupi dalam satu keluarga seringkali tidak cukup terpenuhi karena sang ayah memotong uang belanja untuk membeli rokok. Selain menunjukkan ketidakadilan gender, fenomena ini juga nyatanya memicu kejadian stunting pada anak dengan keluarga merokok.
“Selain paparan asap rokok pada ibu hamil ataupun balita, potongan alokasi belanja untuk rokok ini juga mengurangi asupan gizi keluarga, sehingga menimbulkan potensi pemberian nutrisi yang tidak optimal pada anak,” tutur Dian.
Hal yang disampaikan oleh Dian ini juga merujuk pada data PKJS Universitas Indonesia yang menyebutkan bahwa anak dari keluarga perokok memiliki peluang 5,5 persen lebih tinggi untuk stunting dibandingkan dengan anak dari keluarga bukan perokok.
Sudah cukup bagi industri rokok dalam mengintervensi kebijakan publik di Indonesia yang berakibat fatal pada tingkat kecanduan masyarakat saat ini. Sudah lama pula pemerintah membiarkan hal ini terjadi lalu mengesampingkan hak rakyat yang seharusnya dapat memilih bahan pokok murah bukan harga rokok yang murah.
Adapun titik aksi serentak ini dilaksanakan di beberapa lokasi;
- Kantor Walikota Madiun
- Alun-alun Kota Malang
- Kantor Walikota Kediri
- Kantor Bupati Banyuwangi
- Kantor Walikota Surabaya
- Kantor Gubernur Jawa Tengah
- Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin
- Kantor Walikota Banjarmasin
- Gedung DPRD Kalimantan Selatan
- Kementerian Perindustrian RI
- Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi SSelatan
- Gedung DPRD Sulawesi Tengah
- Tugu Lilin Sulawesi Utara
- Dinas Pendidikan Prov. Sulawesi Selatan
- Gedung DPRD Kota Cimahi
- Kantor Walikota Tasikmalaya
- Gedung DPRD Kabupaten Indramayu
- Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta
- Tugu Yogyakarta
- Kantor DPRD Jawa Tengah
- Kantor DPRD Surakarta
- Kantor Walikota Surakarta
- Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Selatan
- Gedung Negara Cirebon
- Dinas Kesehatan Kota Cirebon
- Kantor/Pabrik Industri Rokok (Gudang Garam Signature, PT. HM Sampoerna, Djarum)
Discussion about this post