Jakarta, Prohealth.id – Berdasarkan data JALA PRT, pada periode 2015-2022 ada sejumlah 2.637 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga (PRT) dalam negeri dan mayoritas berupa kekerasan, gaji tidak dibayar, kekerasan, kondisi kerja yang buruk, tidak ada hari libur.
Lebih lanjut, total 12.508 berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tahun 2017-2019 mencatat, mayoritas kasus dilaporkan oleh PRT terkait dengan pelanggaran hak ketenagakerjaan. Sebut saja misalnya; gaji tidak dibayar, penahanan dokumen, kekerasan, pelecehan, tindak pidana perdagangan orang, sakit, overcharging, dan klaim asuransi.
Padahal, setiap tanggal 16 Juni adalah momentum penting bagi PRT karena tepat 12 tahun yang lalu pada tahun 2011, Konvensi ILO C 189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT) beserta rekomendasi 201 ditetapkan oleh negara-negara anggota ILO. Konvensi ini memberikan penghormatan bahwa pekerja rumah tangga adalah pekerja, mempunyai hak untuk dilindungi dan diperlakukan setara dengan profesi pekerjaan lainnya.
Konvensi ILO 189 Menetapkan Standar kerja layak PRT diantaranya terkait jam kerja, kontrak kerja, upah layak, tempat/lingkungan kerja yang layak, kesehatan, keselamatan kerja, hak berserikat, hak untuk memegang sendiri dokumen pribadi, jaminan sosial, dan kejelasan tata cara penyelesaian perselisihan hubungan kerja.
Dalam siaran pers yang diterima Prohealth.id, tingginya pengaduan kasus yang dilaporkan oleh pekerja rumah tangga didalam dan diluar negeri, menjadi hal mendasar untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 dan mengesahkan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai perlindungan hukum atas hak fundamentar PRT.
Kontribusi positif dari pekerja migran Indonesia telah diakui dalam mendorong pertumbuhan sosial, ekonomi dan pembangunan manusia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di negara asal dan negara tujuan. Sebanyak 70 persen dari total pekerja migran Indonesia adalah perempuan, berasal dari pedesaan dan mayoritas bekerja sektor rumah tangga dan keperawatan sesuai data BP2MI tahun 2019.
Undang-undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 18/17 (UUPPMI) memberikan mandat kepada pemerintah sampai tingkat akar rumput untuk memberikan layanan dan perlindungan ekonomi, sosial dan hukum. Hal ini mengingat sangat pentingnya bagi calon pekerja migran dan keluarganya sebelum memutuskan bekerja keluar negeri memiliki informasi resmi dan pemahaman yang komprehensif tentang proses migrasi yang aman, hak-hak mereka, kondisi kerja dan budaya di negara tujuan, sehingga dapat menurunkan risiko mereka menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, eksploitasi tenaga kerja, kekerasan, dan pelecehan.
Untuk itu, tata kelola migrasi kerja yang responsif gender sangat penting untuk meningkatkan kebijakan dan layanan pemerintah dalam menanggapi realitas yang berbeda dari pekerja migran perempuan dan laki-laki sebagai upaya untuk pemenuhan dan perlindungan pekerja migran di setiap tahapan migrasi. Kebijakan yang bias atau buta gender berisiko pada tidak tepat sasaran dan tidak menjadi solusi dari permasalahan yang ada.
Akan tetapi, berdasarkan hasil Riset ILO berkerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan SBMI tentang Tata Kelola dan Layanan Berbasis Desa untuk pelaksanaan mandat Pasal 42 Undang-undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 18/17 (UUPPMI), desa sebagai gerbang utama dan pertama belum memiliki pemahaman dan kapasitas dalam menyediakan layanan informasi resmi serta layanan migrasi kerja yang responsif gender seperti yang dimandatkan oleh Pasal 42 UUPPMI.
Lebih lanjut, hasil riset ILO bekerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Serikat Buruh Migran Indonesia, pada 2019 memperlihatkan bahwa, terkait dengan tata kelola desa, data pekerja migran sebagai basis perencanaan program desa belum secara sistematis dimiliki oleh desa. Mayoritas pemerintah daerah dan pemerintah desa dengan jumlah warga yang bekerja luar negeri belum memiliki peraturan dan program berbasis desa untuk perlindungan
Pekerja Migran dan Keluarganya.
Mekanisme koordinasi dan rujukan dari tingkat desa dengan LTSA ataupun layanan pemerintah di tingkat kabupaten juga belum terbangun. Sebagai salah upaya untuk percepatan pelaksanaan Undang-undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 18/2017 (UUPPMI) dan penguatan fungsi Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan dan Pelindungan yang terpadu, terkoordinasi, dan responsif gender sejak 2021, telah diresmikan bersama oleh Menteri Ketenagakerjaan dan Bupati Lampung Timur integrasi layanan pelindungan yang responsive gender dari Migrant Worker Resources Center (MRC) kedalam Layanan pemerintah daerah Lampung Timur. Hal ini merupakan pelaksanaan amanat Pasal 38 UUPPMI tentang Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan pada pasal 31 ayat 3 tentang Fungsi dan Layanan LTSA dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Hadirnya layanan non administratif yang responsif gender dan terfokus pada fungsi pelindungan ini diharapkan semakin dapat melindungi para pekerja dan calon pekerja migran beserta keluarganya. Program MRC di Kabupaten Lampung Timur dilaksanakan dengan kolaboratif melalui kerjasama Pemda Lampung Timur dengan SBMI dan Solidaritas Perempuan Sebay Lampung. Program ini merupakan bagian dari “Safe and Fair: Realizing women migrant workers’ rights and opportunities in the ASEAN” merupakan program bersama ILO, UN Women dan UNODC dengan dukungan Uni Eropa yang bertujuan untuk memastikan migrasi yang aman dan adil bagi semua perempuan di ASEAN.
ILO menambahkan, dengan membangun sistem untuk penyelenggaraan layanan penempatan dan pelindungan pekerja migran dan keluarganya yang terpadu, termasuk management kasus baik didalam dan luar negeri, dibutuhkan adanya SOP Layanan dan Mekanisme Pelindungan yang Responsif Gender untuk memastikan penyintas mendapatkan hak haknya, pemulihan, keadilan, dan tidak mendapatkan perlakukan diskriminasi atau victim blaming. Adapun SOP dibutuhkan untuk memastikan hal-hal baik dan praktik baik terinstituionalisasi, sehingga sistem yang baik tetap berjalan walupun adanya perpindahan aparatur. Selain itu, SOP dibutuhkan untuk menguatkan koordinasi antar Organisasi Perangkat Daerah, Aparat Penegak Hukum, Serikat Buruh Migran, dan Masyarakat sipil yang memberikan layanan dan penanganan untuk PMI. Sistem Pengawasan pada setiap penyedia layanan baik pemerintah dan swatsa perlu diintensifkan untuk memastikan layanan sesuai norma dan regulasi yang berlaku.
Pengalaman dan kontribusi positif pekerja rumah tangga hanya dapat dipastikan dan direalisasikan secara utuh jika keselamatan, hak ketenagakerjaan dan hak asasi pekerja dilindungi.
Discussion about this post