Jakarta, Prohealth.id – Upaya pengesahan RUU Kesehatan menjadi polemik dan mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat seperti organisasi profesi bidang kesehatan, organisasi masyarakat sipil, tak terkecuali organisasi disabilitas.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menghadapi dampak langsung dari pengesahan RUU Kesehatan, Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), Perkumpulan OHANA, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, dan Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) melakukan survei cepat tentang pemahaman dan persepsi penyandang disabilitas, pengasuh penyandang disabilitas, dan aktivis disabilitas tentang RUU Kesehatan. Survei tersebut dibuka tanggal 8 Juni hingga 7 Juli ini berhasil menghimpun 100 responden. Hasil survei tersebut mengindikasikan beberapa hal.
Pertama, keterlibatan penyandang disabilitas, orang tua anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas lainnya relatif rendah pada perumusan RUU Kesehatan yang hendak disahkan. Survei menemukan, dari 100 responden, terdapat 69 persen menyatakan tidak terlibat advokasi RUU Kesehatan, meski 94 persen partisipan menyatakan advokasi RUU Kesehatan penting bagi mereka. Bentuk partisipasi yang paling sering disebutkan adalah keterlibatan bersama organisasi masyarakat sipil lainnya.
Kedua, responden mengeluhkan akses terhadap dokumen RUU Kesehatan sangat sulit didapatkan. Meski 69 persen responden menyatakan mengetahui bahwa saat ini sedang terjadi pembahasan RUU Kesehatan, tetapi hanya ada 30 persen yang pernah mengakses dokumen seputar RUU Kesehatan.
Koalisi organisasi penyandang disabilitas juga menilai proses legislasi RUU Kesehatan tidak transparan dan tidak memperhitungkan aspirasi masyarakat sipil.
“Ini dapat dilihat dari kondisi saat ini, di mana naskah final RUU Kesehatan masih simpang siur, bahkan hingga satu hari sebelum pembicaraan tingkat II,” tulis mereka dalam siaran pers yang diterima Prohealth.id.
Di sisi lain, naskah yang terdapat pada website DPR RI tidak mengalami perubahan setelah masyarakat sipil memberi masukan. Padahal, masyarakat sipil, terutama penyandang disabilitas akan sangat terdampak jika RUU Kesehatan disahkan tanpa substansi keberpihakan yang jelas.
Pemerhati isu disabilitas memiliki aspirasi yang sangat luas tentang permasalahan kesehatan. Berdasarkan survei, responden menggarisbawahi isu-isu penting yang perlu untuk diakomodir oleh RUU Kesehatan, yakni kesesuaian substansi RUU Kesehatan untuk menyesuaikan dengan mandat-mandat Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas sebanyak 73 persen, jaminan layanan kesehatan berbasis hak asasi manusia 71 persen, ketersediaan layanan kesehatan bagi disabilitas 71 persen, program jaminan kesehatan negeri/swasta 69 persen, sistem rujukan layanan kesehatan 58 persen, intervensi dan deteksi dini 54 persen, layanan edukasi kesehatan 50 persen, disabilitas psikososial 49 persen, obat-obatan khusus untuk penyandang disabilitas 47 persen, upaya kesehatan berbasis masyarakat 43 persen, disabilitas karena sindrom langka 39 persen, kesehatan reproduksi penyandang disabilitas 39 persen, layanan rehabilitasi 33 persen, kesehatan remaja 32 persen.
Prioritas sejumlah permasalahan kesehatan sampai dengan saat terakhir sebelum pengesahan diketahui belum cukup diakomodir oleh naskah terakhir dari RUU Kesehatan. Misalnya saja, kesesuaian RUU Kesehatan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas masih diragukan ketika masih ada Pasal 104 di mana penyandang disabilitas mental masih bisa dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan.
Dalam RUU Kesehatan saat ini, penentuan ketidakcakapan ini bisa dilakukan dengan segera pada saat itu juga ketika seseorang hendak mendapatkan layanan medis dari dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter lainnya yang memberikan layanan. Koalisi menilai, ketentuan ini mencerabut hak atas kapasitas hukum penyandang disabilitas yang telah dijamin oleh Pasal 12 Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas, yakni hak untuk bertindak dan menentukan pilihan sebagai subjek hukum yang setara.
Kebutuhan-kebutuhan khusus yang sudah diidentifikasi oleh penyandang disabilitas, pengasuh anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas direduksi ke dalam hanya satu pasal dalam RUU Kesehatan, yakni Pasal 59, yang secara umum menjamin kesetaraan penyandang disabilitas dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas di Indonesia cukup spesifik.
Sebagai contoh, tidak ada penjelasan dan jaminan penyediaan tentang Alat Bantu dan Alat Bantu Kesehatan yang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan benda yang sangat prinsipil dalam hidup penyandang disabilitas, sebab bisa mendorong kemandirian penyandang disabilitas. Ironisnya, Pasal 59 dalam draf RUU Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi penyandang disabilitas bertujuan untuk mendorong hidup yang bermartabat, sesuatu yang sulit tercapai jika tidak adanya jaminan atas Alat Bantu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, koalisi organisasi penyandang disabilitas menyatakan beberapa hal. Pertama, sikap tegas menolak RUU Kesehatan saat ini dan meminta untuk menunda pengesahan oleh DPR RI.
Kedua, Mendesak DPR RI dan Pemerintah membuka partisipasi masyarakat sipil, khususnya penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas, untuk melakukan pembahasan ulang bersama.
Ketiga, mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menghapus pasal-pasal diskriminatif dan yang bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Kesehatan.
Keempat, meminta DPR RI dan Pemerintah agar mengkaji dan menggunakan “Guidance on Mental Health, Human Rights, and Legislation” yang dibuat oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCHR) dan World Health Organization (WHO) pada 2022 sebagai salah satu rujukan penyusunan RUU Kesehatan.
Discussion about this post