Jakarta, Prohealth.id – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai, sulitnya pengendalian prevalensi perokok anak tidak lepas dari lemahnya aturan di Indonesia karena tidak masuk sebagai negara yang meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali menyatakan dalam peluncuran buku tim Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), bahwa substansi masalah kesehatan anak tidak pernah diabaikan pemerintah. Hanya saja, karena Indonesia tidak meratifikasi FCTC, pendekatan politik dan kebijakan publik pengendalian tembakau menjadi lebih sulit.
“Mungkin kita perlu seperti di Peru, ada dorongan dari organisasi masyarakat. Apalagi sebentar lagi mau Pemilu, ada momentum jual janji-janji politik, ini bisa ditangkap untuk meningkatkan kualitas kesehatan,” jelas Pungkas melalui Zoom, Rabu (12/7/2023).
Pungkas pun menyampaikan apresiasi kepada Tim PKJS-UI yang telah menerbitkan buku Bunga Rampai hasil kajian karena Bappenas juga mendorong kebijakan berbasis bukti, sehingga buku ini dapat digunakan sebagai data.
Ada beberapa topik penelitian yang ditanggapi oleh Pungkas, di antaranya pada isu stunting dapat dilihat dari angle konsumsi rokok; lalu bagaimana pathways terjadinya stunting, apakah dari sisi ekonomi sehingga perlu intervensi dalam penanggulangan kemiskinan seperti temuan pada Program Keluarga Harapan (PKH).
Hal menarik lain yang disampaikan adalah mengenai bantuan sosial yang sebenarnya telah ada di dalam RPJMN, disebutkan bahwa bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk membeli rokok, namun di Kementerian/Lembaga terkait masih memikirkan bagaimana mekanisme aturan tersebut. Salah satu rekomendasi penelitian adalah adanya penandatanganan perjanjian agar tidak membelanjakan dana bansos untuk rokok dan yang sudah dapat diimplementasikan secara langsung adalah melalui modul Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2).
Ia juga menambahkan, jika penerima bansos adalah perokok maka mereka bisa didaftarkan sebagai wajib mengikuti Klinik Upaya Berhenti Merokok (UBM).
“Ke depannya diharapkan ada suatu penelitian kohort sehingga nanti dapat diketahui variabel apa yang lebih berpengaruh agar dapat diberikan fokus lebih dalam pengendalian konsumsi rokok. Selain itu, rekomendasi kepada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) juga akan sangat berdampak pada pengendalian tembakau di Indonesia karena akan jauh lebih kuat dari sisi regulasi,” kata Pungkas.
Turut hadir dalam forum, Amurwani Dwi Lestariningsih, selaku Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, mengapresiasi hasil kumpulan kajian dari PKJS-UI dan mengamini bahwa pengendalian terhadap konsumsi produk tembakau ini memang menjadi hal yang sangat penting karena dampak dari rokok menyerang berbagai aspek.
“Kalau dikaitkan dengan generasi emas 2045, tugas kita adalah bagaimana cara menjadikan generasi ini terputus dan tidak menjadi pengguna dari rokok itu sendiri, ditambah lagi dengan masifnya iklan, promosi, dan sponsor rokok di segala bentuk media, anak-anak semakin mudah terpapar dan terpengaruh,” jelasnya.
Sebut saja beberapa di antaranya anak-anak terpapar melalui televisi sebanyak 65,2 persen, tempat penjualan rokok ada 65,2 persen, media luar ruang 60,9 persen, dan media internet 36,9 persen, berdasarkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019. Maka itu, Amurwani memberikan beberapa poin usulan penting dalam upaya pengendalian produk hasil tembakau adalah dengan mendorong pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah untuk mewujudkan Kota Layak Anak seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021, melalui perluasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Aturan ini masih diperkuat dengan adanya penguatan regulasi pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok agar anak-anak tidak terpengaruh dengan glamorisasi dari rokok yang berusaha memberikan citra “keren” kepada generasi muda. Amurwani juga mendukung upaya standarisasi kemasan dan kenaikan harga jual rokok untuk menghambat akses atau menjauhkan keterjangkauan anak-anak terhadap produk rokok.
Sementara itu tak lepas dari sisi ekonomi, Sarno, selaku Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, menyampaikan bahwa kumpulan kajian yang telah disusun oleh PKJS-UI sudah dijadikan bahan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk didiskusikan dan mengingat kajian PKJS-UI juga sudah pernah di highlight oleh Menteri Keuangan terkait studi stunting.
Sarno mengungkapkan bahwa kepedulian yang telah diajukan oleh penelitian dari PKJS-UI sejalan dengan agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu untuk menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun.
Menanggapi kumpulan hasil kajian, Sarno menambahkan bahwa Kementerian Keuangan juga memiliki peran dalam kebijakan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi tembakau yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 tersebut.
Pertama, Kemenkeu terus mengupayakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau setiap tahunnya, begitupun dengan tarif cukai rokok elektronik sebesar 15 persen dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sebesar 6 persen.
Kedua, Kemenkeu terus mengupayakan simplifikasi layer tarif cukai dengan terus melakukan kajian dan evaluasi untuk penyederhanaan secara bertahap.
Ketiga, melalui PMK No. 215 Tahun 2021, Kemenkeu melakukan refocusing penggunaan dan pemanfaatan dari DBH CHT sebagai langkah mitigasi dari adanya kebijakan cukai dengan meningkatkan persentase kesejahteraan masyarakat, terutama yang diperuntukan kepada para petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau. B
eberapa bantuan di antaranya adalah berupa bibit, pupuk, benih, maupun sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau untuk melakukan diversifikasi tanam.
“Namun memang dalam strategi pengendalian konsumsi rokok, selain dari kebijakan fiskal juga perlu kebijakan non–fiskal yang berjalan beriringan agar tujuan penurunan prevalensi perokok di Indonesia dapat tercapai,” imbuh Sarno.
Discussion about this post