Masih ingat sinetron awal tahun 2000-an, yaitu Pernikahan Dini? Pemerannya adalah Agnes Monica dan Sahrul Gunawan, berkisah tentang dua remaja yang berpacaran dan terjebak pada kehamilan tak terencana.
Kisah dalam sinetron Pernikahan Dini, ternyata masih relevan sampai 20 tahun kemudian.
Menurut data dari Komnas Perempuan pada tahun 2022 menemukan, ada 52.338 permintaan dispensasi nikah pada remaja karena kehamilan di luar nikah. Hal ini dibenarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menyatakan, 80 persen dari permohonan dispensasi menikah itu karena kasus kehamilan di luar nikah.
Tak hanya itu, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo juga menegaskan adanya pergeseran usia remaja saat pertama kali berhubungan seks. Pada tahun 2008 lalu, 60 persen remaja melakukan hubungan seks sekitar usia 21 tahun. Kini, sekitar 60 persen melakukan hubungan seks pertama kali pada usia 16-17 tahun. Padahal, kehamilan remaja juga menjadi penghambat bagi tercapainya pengentasan masalah stunting di Indonesia.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 angka prevalensi stunting turun memang menjadi 21,6 persen dari yang sebelumnya 24,4 persen dan angka wasting naik jadi 7,7 persen dari 7,1 persen. Namun, pencapaian ini belumlah baik dengan konteks kehamilan remaja yang belum berhasil ditekan.
Deputi Bidang Advokasi Penggerakan dan Informasi BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso mengatakan, target penurunan stunting sampai 14 persen pada 2024 akan bisa dicapai dengan usaha yang serius termasuk dengan memitigasi resiko-resiko yang akan terjadi.
” Ini tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang mudah, maka memang perlu dimitigasi faktor utama resikonya seperti apa,” kata Teguh Santoso.
Ia mengklaim stunting mengalami penurunan signifikan justru di saat masa-masa Covid-19. Kondisi ini karena adanya kerja yang intens antara BKKBN, lembaga-lembaga terkait, dan pemerintah daerah. Di mana dalam kerangka kerja sama ini, penyuluhan terkait stunting selalu dikaitkan dengan penyuluhan Covid-19.
“Jadi dengan kita tetap mematuhi protokol kesehatan, seluruh komponen lapangan di jajaran BKKBN dan sebagainya secara tidak langsung pula melakukan sosialisasi. Jadi sosialisasi stunting itu sudah mulai ada sejak saat itu,” sambungnya.
Namun meski begitu, Teguh Sontoso tidak menampik masih banyak tantangan dan kendala yang dihadapi untuk memutus mata rantai stunting, terutama juga untuk mencapai target penurunan stunting sebesar 14 persen di tahun 2024. Tantangan-tantangan tersebut datang dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan juga soal literasi pemahaman masyarakat tentang stunting yang masih minim.
Ia menyebut, stunting sangat penting untuk segera diatasi sehingga perlu diambil kebijakan yang spesifik, salah satunya dengan memobilisasi anggaran daerah. “Kemudian dari aspek masyarakat sebagai penerima layanan publik. Jadi literasi itu memang perlu digerakkan betul. Masyarakat kita secara umum belum paham stunting itu apa? Apakah yang tidak pendek itu termasuk stunting atau memang betul juga semua yang stunting itu pasti pendek? Jadi ini memang menjadi tantangan kita semua. Nah maka literasi terkait apa itu stunting kepada masyarakat dan keluarga menjadi sangat penting,” imbuhnya.
Ia pun membeberkan strategi efektif pencegahan stunting melalui dua langkah strategis. Pertama, kesamaan target untuk mengidentifikasi siapa-siapa yang harus menjadi target pencegahan stunting melalui intervensi dari hulu sampai hilir.
“Kalau kita sepakat katakan intervensi dari hulu. Sebelum memiliki balita stunting, maka calon pengantin, ibu yang sedang hamil, termasuk ibu-ibu yang memiliki balita harus menjadi prioritas,” jelas Teguh Santoso.
Kedua, bentuk intervensi. Intervensi terdiri dari dua bentuk yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik berupa pemenuhan gizi berupa makanan tambahan serta pemenuhan protein balita. Sementara itu intervensi sensitif meliputi perbaikan lingkungan keluarga, akses air bersih termasuk rumah yang layak huni.
“Keduanya sama-sama penting tapi harus bisa dibuat skala prioritas. Misalnya, jangan sampai mendahulukan rumah layak huni sementara gizi tak terpenuhi. Jadi skala prioritas itu penting,” tukasnya.
Selain dua strategi di atas, Sukaryo Teguh Santoso juga menjelaskan 5 pilar atasi stunting, yaitu pilar pertama, komitmen kepemimpinan harus berkelanjutan.
Pilar kedua, literasi kepada masyarakat berupa komunikasi perubahan perilaku. Untuk itu, kader-kader penyuluh kesehatan harus aktif melakukan proses pendampingan.
Pilar ketiga, keterlibatan lintas sektor. Pilar keempat, pemenuhan gizi dengan memastiakan pemenuhan kebutuhan gizi mudah, murah dan cepat. Dan Pilar kelima memperkuat sistem pemantauan evaluasi.
Untuk diketahui, angka stunting di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahun setidaknya sejak tahun 2016. Bahkan, di tahun-tahun saat dunia termasuk Indonesia dihantam badai pandemi Covid-19, Sukaryo Teguh mengklaim penurunan stunting tetap terkendali dengan baik.
Intervensi ‘seadanya’ dari pemerintah
Dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan, persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi, dan balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan bahwa angka kematian neonatal, postneonatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun.
Oleh karenanya, pernikahan usia muda berisiko karena belum cukup kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan reproduksi. Pendewasaan usia juga berkaitan dengan pengendalian kelahiran karena lamanya masa subur perempuan terkait dengan banyaknya anak yang akan dilahirkan.
Hal ini diakibatkan oleh pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai. Hasil SDKI 2012 menunjukan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai yang dapat dilihat dengan hanya 35,3 persen remaja perempuan dan 31,2 persen remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual.
Begitu pula gejala PMS kurang diketahui oleh remaja. Informasi tentang HIV relatif lebih banyak diterima oleh remaja, meskipun hanya 9,9 persen remaja perempuan dan 10,6 persen laki-laki memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV-AIDS.
Akhirnya, anak stunting banyak terjadinya bukan pada saat bayi lahir, tetapi disebabkan pada saat sebelum ibu hamil. Pasalnya, dari data stunting pada saat lahir bayi sudah 23 persen dalam kondisi stunted panjang badan di bawah 48 persen. Sisanya 77 persen atau hampir 80 persen ditemukan stunting sesudah lahir, atau pada pasca kelahiran. Sehingga harus membuat intervensi itu dua yaitu intervensi sebelum kelahiran dan intervensi sesudah kelahiran. Salah satu contoh intervensi pra kelahiran adalah dengan memberikan tablet tambah darah pada ibu remaja.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat dr. Maria Endang Sumiwi menjelaskan saat ini pemerintah melakukan pencegahan dan intervensi melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Ia menambahkan, PMT yang diberikan berbahan pangan lokal sebagai upaya krusial dalam rangka mencegah stunting. Sebelumnya, untuk memperbaiki gizi masyarakat Kemenkes sudah memberikan tablet tambah darah (TTD) bagi remaja putri melalui aksi bergizi mencegah anemia. Selanjutnya pemberian gizi bagi ibu hamil untuk mencegah kekurangan gizi pada saat kehamilan.
“PMT berbahan pangan lokal bertujuan untuk memperbaiki status gizi ibu hamil dan Balita. Diharapkan dari PMT ini terjadi penambahan berat badan ibu hamil yang sesuai dengan usia kehamilannya, perbaikan status gizi pada Balita gizi kurang, dan kenaikan berat badan pada Balita dengan berat badan kurang,” ungkap dr. Maria.
Selain rutin konsumsi TTD, Kemenkes ikut menyarankan para remaja putri rutin melakukan pemeriksaan kadar hemoglobin setidaknya 6 bulan atau 1 tahun sekali. Pemeriksaan bisa dilakukan secara gratis di puskesmas.
Intervensi lain dari Kemenkes dalam hal jaminan gizi bagi ibu hamil usia remaja adalah dengan mengganti anggaran untuk pemberian biskuit dan susu kotak menjadi pemberian produk protein hewani dalam rangka mempercepat penurunan stunting di Indonesia.
Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante S. Harbuwono, menegaskan bahwa anggaran untuk pembelian susu dan biskuit sekarang sudah tidak ada. Untuk itu, semua anggaran posyandu adalah untuk memberi produk makanan protein hewani kepada anak-anak di seluruh Indonesia. “Itu kita kerjakan sama di semua posyandu,” ungkap Dante.
Menurut Dante, perubahan alokasi anggaran untuk pemberian produk makanan protein hewani kepada anak-anak di Indonesia dilakukan setelah melewati sejumlah kajian dengan menggandeng beberapa pihak terkait.
Hasil kajian tersebut mengerucut pada efek positif yang didapatkan dari pemberian makanan tambahan dalam bentuk protein hewani dibandingkan biskuit dan susu kotak.
Intervensi dari sisi lingkungan dan sosial
Dante menambahkan, pemerintah telah menerapkan dua strategi pendekatan dalam rangka percepatan penurunan stunting di Indonesia, yakni pendekatan spesifik dan pendekatan sensitif.
“Pendekatan spesifik berkaitan dengan pemberian makanan tambahan pada anak-anak, kemudian mencegah anak-anak menjadi sakit, dan sebagainya,” pungkas Dante.
Sementara itu, pendekatan sensitif, demikian Dante, lebih berkaitan dengan faktor-faktor yang berada di lingkungan daerah setempat. “Misalnya, kemiskinan, sanitasi yang baik, kemudian masalah budaya setempat,” lanjutnya.
Menurut Dante, optimalisasi kedua pendekatan tersebut menuntut kolaborasi lintas komponen, khususnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Misalnya, pendekatan spesifik sudah dilakukan dengan memberikan makanan tambahan, tetapi pendekatan sensitifnya itu tidak dilakukan.
“Ini memang butuh komitmen tidak hanya dari pemerintah pusat secara eksklusif tetapi juga peran pemerintah daerah,” tegasnya.
Untuk menjamin kesehatan janin, Kemenkes juga aktif melakukan pembagian alat pemindai ultrasonografi (USG) di hampir 52 persen puskesmas di seluruh Indonesia. Dengen demikian, para dokter akan bisa melakukan USG pada ibu-ibu hamil, kemudian diukur lingkar kepala janin di dalam rahim ibu.
“Apakah lingkar kepala janin sesuai dengan umur kehamilan? kalau nanti ternyata angkanya kecil, terindikasi tidak berkembang dengan baik, maka harus dilakukan pemberian kalori yang cukup, energi dan gizi yang cukup pada ibu-ibu tersebut sehingga tubuh janinnya menjadi lebih baik,” lanjutnya.
Kemenkes juga membagikan perangkat antropometri, alat untuk menimbang dan mengukur tinggi badan yang baik dan berstandar WHO di posyandu-posyandu seluruh Indonesia.
Menanggapi dinamika ini, Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menyatakan, fenomena ini memerlukan intervensi dari pihak sekolah, khususnya melalui konselor dan orang tua. Bentuknya, adalah mengalihkan atau mengontrol hasrat seksual remaja dengan olah raga, atau mengajak mereka beraktivitas untuk merumuskan cita-cita tinggi sehingga hasrat seksual berkurang.
Discussion about this post