Jakarta, Prohealth.id – Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) diketahui bahwa prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022.
Hal ini terjadi melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan aman untuk anak dari berbagai penyakit termasuk stunting dan demam berdarah dengue penting kerja sama lintas instansi menangani sejumlah ancaman kesehatan serius bagi anak.
Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) yang didukung oleh Takeda menggelar diskusi publik dengan tema “Mewujudkan Lingkungan yang Sehat dan Aman untuk Anak”. Diskusi publik ini menghadirkan tokoh penting dari berbagai pemangku kepentingan termasuk swasta, lembaga masyarakat dan pemerintah untuk membahas berbagai tantangan dalam upaya penanggulangan stunting sampai dengan call to action yang bisa dilakukan untuk menanggulangi tantangan tersebut menuju Indonesia maju.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menyatakan, dalam momentum merefleksikan Hari Anak Nasional pada Juli 2023 lalu menegaskan bahwa masalah kesehatan anak di Indonesia ini adalah masalah kita bersama dan mencakup berbagai aspek yang hanya bisa diatasi secara kolektif. Oleh karena itu, Hari Anak Nasional menjadi momentum penting bagi KemenPPPA untuk berkolaborasi dengan Kemenkes, PKJS-UI dan Takeda dalam menghadirkan diskusi publik ini.
“Bersama-sama kami berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan aman bagi anak-anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang produktif dan berdaya saing untuk kemajuan Indonesia yang lebih baik,” jelas Bintang Puspayoga, pada (15/8/2023).
Ia menerangkan, anak-anak termasuk kelompok rentan terhadap beberapa gangguan kesehatan seperti stunting dan penyakit yang mengancam jiwa seperti demam berdarah dengue. Terlebih lagi, polusi udara di wilayah Jabodetabek saat ini sangat tinggi dimana anak-anak adalah kelompok yang paling rentan untuk terdampak.
“Saya harap hal ini juga dapat dijadikan bahan diskusi pada hari ini,” sambungnya.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) memang telah menyatakan prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 24,4 persen pada tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022. Hasil positif ini menunjukkan kemajuan upaya negara dalam mengatasi masalah gizi buruk dan mempromosikan kehidupan yang lebih sehat bagi anak-anak.
Berbagai program pemerintah seperti Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) turut berperan dalam penurunan angka stunting. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar juga menjadi faktor kunci dalam pencegahan stunting. Dimana kurangnya akses pelayanan yang baik dan kondisi air, sanitasi yang kurang baik, serta bangunan yang kurang memadai, bisa berdampak serius bagi pertumbuhan dan kesehatan anak.
Tidak hanya stunting yang menjadi dampaknya, lingkungan yang buruk juga memperbesar risiko penyebaran dengue yang membahayakan kesehatan anak-anak. Oleh karena itu, upaya penanggulangan stunting dan penciptaan lingkungan sanitasi yang lebih baik merupakan langkah krusial untuk mewujudkan masa depan yang cerah bagi generasi anak-anak Indonesia.
Widyawati, selaku Plt. Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengakui pentingnya upaya kolaboratif antara pemangku kepentingan dalam meningkatkan kesehatan anak-anak di Indonesia.
“Besar harapan kami kegiatan ini bisa menjadi langkah awal menuju aksi kolaborasi konkrit antara pemangku kepentingan dalam memecahkan masalah kesehatan anak, termasuk stunting dan ancaman demam berdarah dengue, demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” terangnya.
Kementerian Kesehatan juga mendukung langkah-langkah inovatif yang diambil dalam upaya mencapai tujuan kesehatan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia.
Aryana Satrya, selaku Ketua PKJS-UI menegaskan komitmen PKJS-UI dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Pihaknya sangat bangga dapat berkolaborasi dengan KemenPPPA, Kemenkes dan Takeda dalam menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia.
“Melalui penelitian, pendidikan, dan keterlibatan masyarakat, kami berupaya mengembangkan strategi yang efektif untuk mengatasi masalah gizi buruk pada anak dan meningkatkan kesehatan dan perlindungan penyakit bagi anak secara keseluruhan di Indonesia,” ungkap Aryana.
Terkait dengan pencegahan demam berdarah dengue, Takeda sebagai perusahaan biofarmasi terkemuka yang berbasis penelitian dan pengembangan (R&D) menghadirkan pencegahan inovatif melawan demam berdarah dengue melalui vaksinasi. Takeda bertujuan untuk mencegah penyebaran demam berdarah dengue demi melindungi anak-anak Indonesia dari ancaman kesehatan yang serius ini serta membantu pemerintah dalam meraih target Nol Kematian Akibat Demam Berdarah Dengue Tahun 2030.
Andreas Gutknecht, General Manager Takeda mengatakan, Takeda sebagai perusahaan inovator biofarmasi, berkomitmen untuk membantu mengatasi penyakit serius pada anak seperti leukimia atau penyakit langka seperti hemofilia.
“Kami bekerja keras untuk memastikan bahwa obat-obatan kami yang menyelamatkan nyawa dapat diakses oleh seluruh masyarakat baik melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau program akses pasien kami,” tuturnya.
Tentunya hal yang lebih baik dari mengobati penyakit adalah mencegahnya, dan Andreas mengklaim, pihak Takeda amat bangga bahwa vaksin demam berdarah dengue kami dapat membantu para orang tua untuk melengkapi perlindungan keluarga mereka dari penyakit yang mengancam jiwa, yaitu demam berdarah dengue.
Diskusi publik kolaboratif bertema “Mewujudkan Lingkungan yang Sehat dan Aman untuk Anak” ini akan dimulai dengan memetakan kesehatan anak. Mulai dari stunting akibat gizi buruk sampai dengan angka kematian anak di bawah usia lima tahun di Indonesia serta prevalensi penyakit infeksi seperti diare, ISPA dan demam berdarah.
Selain itu, faktor-faktor yang menyebabkan masalah kesehatan anak juga dibahas, termasuk diantaranya sanitasi buruk, rendahnya pemahaman akan pentingnya kebersihan, keterpaparan asap rokok, serta akses terhadap air bersih dan keterbatasan fasilitas kesehatan. Pemetaan ini lalu akan dibedah lebih jauh dari berbagai aspek termasuk diantaranya program atau regulasi terkait kesehatan anak yang ada saat ini, kendala dalam pelaksanaan programnya, harapan kedepannya sampai dengan usulan kerjasama pemangku kepentingan dalam penanggulangan masalah kesehatan anak.
Usai pemaparan peta masalah kesehatan anak, maka dilanjutkan dengan diskusi panelis yang dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dari sektor swasta maupun pemerintah.
Panelis pertama yaitu Seto Mulyadi, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia. Seto menyampaikan bahwa berbicara dengan anak, harus dengan cara-cara yang ramah anak, tidak dengan cara kekerasan. Dalam konteks itu, LPAI pernah mencanangkan gerakan nasional “Saya sahabat anak”.
Hasbullah Thabrany, Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau/Komnas PT menambahkan bahwa harus punya tekad baik untuk menciptakan generasi emas 2045, agar tidak menjadi generasi cemas. ini menjadi tantangan yang besar.
“Pengendalian konsumsi rokok perlu diprioritaskan, kampanye besar-besaran. Anak usia sekolah sudah banyak yang merokok, dan ini memang menjadi sasaran industri rokok. Teman-teman media harapannya bisa mengawal terus dalam melindungi anak-anak kita. Saya juga berharap pemerintah dapat konsisten,” jelas Hasbullah.
Brian Sri Prahastuti, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, menjelaskan bahwa demografi Indonesia bergerak ke arah bonus demografi yang akan terjadi pada tahun 2030.
“Saat ini sudah mulai. Bonus demografi ini akan menjadi bonus kalau SDM muda kita berkualitas. Namun banyak tantangan yang dihadapi (harm situation),” jelas Brian.
Ia juga mengingatkan, bahwa di penghujung periode pemerintah sekarang, sekaligus penyusunan Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di tahun berikutnya yang menjadi urgen.
“Bagaimana program-program yang tadi terefleksikan di RPJP 2025-2045 selanjutnya, dan dalam RPJMN yang akan datang. Sebentar lagi akan ada pemilu. Ini adalah waktu yang tepat untuk mempengaruhi paslon-paslon. Kita kemas program-program yang tadi sedemikian rupa dan buat paslon-paslon itu memasukkan ke dalam agendanya,” tutur Brian.
Iing Mursalin, Program Lead Manager Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Republik Indonesia, menekankan bahwa investasi pada anak itu penting dan sudah terbukti oleh banyak studi.
“Ke depan, komitmen politik harus sangat kuat (dari pimpinan negara). Contoh kasus stunting, semua sudah punya komitmen yang kuat. Ini bisa ditiru untuk isu anak yang lebih luas. Upaya lainnya yaitu perubahan perilaku (edukasi), konvergensi, dan pembagian peran,” tambah Iing.
Panelis terakhir, Bernie Endyarni Medise selaku Ketua III Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menyampaikan bahwa peran sebagai organisasi profesi, IDAI memiliki satuan tugas, misal satuan tugas perlindungan anak, satuan tugas remaja, satuan tugas imunisasi, satuan tugas penurunan angka kematian bayi. Harapannya kelompok ini akan close collaboration dengan kementerian-kementerian yang ada. Upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ini, juga merupakan upaya perusahaan dalam penanggulangan demam berdarah dengue yang bisa diterjemahkan menjadi sejumlah langkah nyata menuju nol kematian pada tahun 2030.
Discussion about this post