Masih segar di ingatan para pegiat pengendalian tembakau tarik ulur revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengaman Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Hingga berusia 10 tahun, Peraturan yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan itu tidak kunjung direvisi. Padahal sejumlah hal dalam Peraturan tersebut sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, misalnya tentang iklan rokok di internet dan perkembangan rokok elektronik.
Dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, maka revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengaman Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tidak lagi diperlukan. Meskipun mengundang sejumlah kontroversi dalam penyusunannya, para pegiat pengendalian tembakau kini berharap aturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang baru dapat lebih kuat dalam mengendalikan tembakau.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang tembakau sebagai peraturan turunan dari Undang-Undang Kesehatan yang baru tersebut. Beberapa hal, termasuk tentang peringatan kesehatan bergambar; pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; serta rokok elektronik akan diatur dalam peraturan tersebut.
“Sedang dipersiapkan dalam rancangan peraturan pemerintah yang sedang disusun. Undang-Undang Kesehatan juga mengamanatkan tentang rokok elektronik dan bentuk-bentuk tembakau lainnya untuk mengantisipasi perkembangan produk tembakau lainnya. Kita ingin bangsa ini maju seperti bangsa lain, tidak ada maksud lain selain untuk menjaga kesehatan masyarakat,” katanya dalam Workshop Daring Jurnalis “Jalan Terjal Pengendalian Produk Tembakau” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta secara daring, Kamis (31/8/2023).
Eva mengatakan, sebagai zat adiktif, rokok baik asap maupun residunya tidak memiliki batas aman sehingga harus dikendalikan. Apalagi prevalensi perokok di Indonesia cukup tinggi dan rokok menjadi faktor risiko yang utama penyebab penyakit mematikan. Karena itu, bila tembakau dapat dikendalikan, maka penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok dapat dikendalikan dan dihindari.
Salah satu hal yang menjadi perhatian utama dalam pengendalian tembakau adalah pelindungan anak dari paparan rokok. Anak-anak sebagai generasi penerus Indonesia harus dilindungi dari bahaya rokok dan dicegah agar tidak menjadi generasi yang kecanduan rokok.
“Kita sudah lama merdeka, tetapi masih menjadi negara berkembang. Padahal sedikit lagi kita akan mengalami bonus demografi. Dalam penelitian mana pun, negara yang memiliki bonus demografi yang berkualitas tinggal selangkah lagi menjadi negara maju,” tuturnya.
Eva mengakui upaya pengendalian tembakau memang kerap mengalami gangguan terutama dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan kelangsungan hidup industri tembakau. Tidak hanya dari industri tembakau, upaya pengendalian tembakau yang dilakukan Kementerian Kesehatan juga kerap mendapat tentangan dari kementerian/lembaga lain.
“Padahal peraturan ini untuk menyehatkan masyarakat. Berpihak pada masyarakat, bukan sebagian atau segelintir orang. Karena itu, kami berharap jurnalis juga dapat memberikan pemahaman kepada industri tembakau, mereka tidak akan mati karena kami hanya akan mengatur sesuai tupoksi kami. Silakan tetap memproduksi rokok, tetapi penjualannya diatur. Tidak dilarang memproduksi rokok, tidak ditutup pabriknya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani cukup skeptis dengan rancangan peraturan pemerintah yang sedang disusun tersebut. Menurut dia, sejumlah kebijakan dan regulasi omnibus law yang diterbitkan pemerintah lebih kental bernuansa bisnis daripada berpihak pada hak asasi manusia, termasuk kesehatan.
“Sejak periode pertama, Presiden Joko Widodo sudah meluncurkan paket-paket kebijakan ekonomi yang bernuansa bisnis dan investasi. Pertama kita mendengar tentang tax amnesty untuk menghapus dan mengampuni pajak yang tidak dibayar karena investor asing tidak akan mau berinvestasi ke perusahaan yang masih memiliki hutang pajak. Begitu pula dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang tegas mengesampingkan isu-isu publik dan hak asasi manusia karena mindset-nya bisnis dan industri,” katanya.
Gambaran historis tersebut, kata Julius, tidak bisa dilepaskan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Meskipun Kementerian Kesehatan aktif melibatkan masyarakat, masyarakat sipil memantau dan menemukan sejumlah substansi Undang-Undang Kesehatan lebih mengarah kepada kepentingan bisnis, bukan kesehatan masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Pria yang akrab disapa Ijul ini juga menilai para pemangku kebijakan bidang kesehatan di Indonesia kurang proaktif dalam menyikapi perkembangan teknologi. Iklan dan promosi produk misalnya, saat ini sudah banyak bentuknya. Bukan lagi berupa iklan, tetapi mengarah pada endorsement oleh influencer.
“Hal berbeda ditunjukan oleh Dirjen Pajak. Menanggapi hal-hal yang ditunjukan influencer, mereka aktif melihat itu sebagai objek pajak, meskipun belum ada regulasinya. Namun, hal itu tidak ditunjukan rezim kesehatan yang menganggap belum ada aturannya. Ada yang memelihara status quo saat belum ada aturan,” tuturnya.
Selain itu, Ijul menilai tembakau sebagai zat adiktif diperlakukan berbeda dengan zat adiktif lainnya, misalnya alkohol. Saat produk alkohol dilarangan iklannya sama sekali, produk tembakau mendapat keistimewaan masih diperbolehkan beriklan. Begitu juga dengan aturan dalam Undang-Undang Kesehatan yang mewajibkan pemilik atau pengelola tempat untuk menyediakan area khusus untuk merokok.
“Apakah dalam regulasi tentang alkohol, ada aturan yang mewajibkan pemilik atau pengelola gedung menyediakan tempat khusus untuk mengonsumsi alkohol?” tanyanya.
Tentang peraturan pemerintah yang sedang disusun, Ijul mengatakan basisnya adalah Undang-Undang Kesehatan yang saat ini berlaku. Bila Undang-Undang Kesehatan tidak menetapkan regulasi tentang tembakau yang ketat dengan diksi yang tegas, maka dia pesimistis aturan turunannya akan memberikan harapan dalam pengendalian tembakau.
“Peraturan pemerintah tersebut akan menjadi ruang yang lebih terbuka, tidak terukur, bahkan jauh lebih liar dan jauh dari mandat konstitusi yang mengamanatkan pelindungan terhadap hak asasi manusia,” katanya.
Senada dengan Ijul, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan Indonesia saat ini mengalami antiklimaks dalam pengendalian tembakau. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah lebih dominan berpihak untuk kepentingan industri daripada kesehatan masyarakat.
“Sebenarnya yang terjadi saat ini memang strategi dari industri tembakau dalam mengintervensi kebijakan pemerintah. Strategi ini dilakukan secara global, tetapi sangat kentara di Indonesia,” ujarnya.
Strategi tersebut adalah 3D, yaitu delete, delay, dan dilute. Delete, berarti industri tembakau berupaya menghapus aturan-aturan yang berkaitan dengan tembakau. Hal itu pernah terjadi pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan saat ayat yang menyatakan tembakau sebagai zat adiktif hilang dalam draf ketika akan disahkan oleh Presiden.
“Namun, yang dihilangkan ternyata hanya ayat yang ada di substansi undang-undang, Di bagian penjelasan tidak dihapus sehingga kemudian terungkap upaya penghapusan ayat tentang tembakau itu,” jelasnya.
Strategi kedua, bila upaya penghapusan regulasi tidak berhasil, adalah delay atau menunda pemberlakuan sebuah aturan. Cukup banyak aturan yang ditunda karena intervensi industri. Salah satunya, menurut Tulus, upaya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengaman Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Bila penghapusan dan penundaan tidak berhasil, maka strategi terakhir dari industri tembakau adalah dilute atau melemahkan. Jadi regulasinya tetap ada, tetapi pelaksanaan dilemahkan bahkan dimandulkan sehingga tetap menguntungkan bagi industri tembakau.
Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau Prof Hasbullah Thabrany salah satu hal yang menyulitkan upaya pengendalian tembakau di Indonesia adalah penyimpangan informasi seolah-olah tembakau berkontribusi besar bagi negara. Karena itu, banyak pejabat eksekutif maupun anggota legislatif yang kemudian berpihak pada industri tembakau dan mengagung-agungkan kontribusi tembakau.
“Laporan keuangan salah satu industri tembakau di Indonesia tahun ini menyatakan laba Rp11 triliun, meningkat dibandingkan tahun lalu yang mencapai Rp9 triliun. Coba cek berapa pajak yang mereka bayarkan. Kalau cukai itu adalah denda yang harus dibayar konsumen rokok karena tidak berperilaku hidup bersih dan sehat dengan mengonsumsi rokok,” katanya.
Salah satu informasi yang disimpangkan untuk mengagung-agung industri tembakau adalah kontribusi mereka kepada pekerja dan petani tembakau. Bila industri rokok terus berkembang, maka pekerja dan petani tembakau akan mendapat jaminan penghidupan yang layak.
“Ternyata pekerja dan petani hanya menjadi tameng mereka. Silakan cek data BPS, berapa banyak Indonesia mengimpor tembakau tahun lalu. Jadi mereka tidak sepenuhnya menggunakan produk tembakau petani Indonsia. Laporan Bank Dunia 2017 malah menyebutkan petani tembakau Indonesia termasuk salah satu kelompok dengan penghasilan rendah,” tuturnya.
Menanggapi sejumlah permasalahan dalam pengendalian tembakau, jurnalis CNN Indonesia Dewi Safitri mengatakan jurnalis harus lebih mengedepankan hati nuraninya dalam menulis berita tentang tembakau. Salah satu hal yang seharusnya bisa mengetuk hati nurani jurnalis adalah fenomena perokok anak di Indonesia.
“Indonesia pernah diberitakan di media internasional karena ada baby smoker. Hingga hari ini isu perokok anak masih menjadi permasalahan di Indonesia karena prevalensi perokok anak bukannya menurun melainkan malah bertambah,” katanya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post