Akhir-akhir ini, polusi udara menjadi pemicu meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Dalam rapat terbatas (ratas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (28/8/2023) lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa polusi udara menjadi salah satu penyebab pada enam penyakit gangguan pernapasan di Indonesia, seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), pneumonia (infeksi paru), asma, tuberkulosis, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), dan kanker paru.
Dalam suasana menghadapi polusi udara Jabodetabek yang memburuk, Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) dr. Irandi Putra Pratomo, Ph.D., Sp.P(K), FAPSR, FISR, FISQua., mengimbau masyarakat untuk tetap menjalankan protokol kesehatan. Selain itu, periksa kualitas udara secara rutin dan mengurangi aktivitas di luar ruangan saat polusi udara tinggi juga perlu dilakukan.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat dapat melakukan pencegahan mulai dari diri sendiri, seperti mencari informasi terkait kualitas udara ketika ingin berkegiatan di luar ruangan dan informasi ini bisa didapatkan melalui aplikasi untuk melihat air quality index.
Selain itu, masyarakat juga bisa mulai membiasakan diri mencari dan mendapatkan data ini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Ia juga mengingatkan anjuran ini tidak hanya diperuntukkan untuk aktivitas harian, seperti pergi sekolah dan bekerja, tetapi juga untuk para penggemar olahraga, terutama olahraga outdoor.
“Kalau pun tidak terhindarkan, disarankan untuk menggunakan masker dengan standar yang bisa mengurangi hirupan partikel kecil berbahaya yang tidak seharusnya masuk ke dalam tubuh dengan kadar tinggi, seperti KN95 ataupun KF94,” ujar dr. Irandi yang juga Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Rumah Sakit UI (RSUI).
Bila dimungkinkan, dr. Irandi juga mengatakan untuk saat ini sebaiknya bekerja secara remote atau yang dikenal dengan work from home namun juga dengan memperhatikan kualitas udara di dalam ruangan. Harus ada ventilasi sehingga dapat mengalirkan udara dari luar ke dalam ruangan dan sebaliknya.
“Salah satu cara yang ada dalam rekomendasi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) adalah pemasangan air purifier, walaupun secara keilmuan masih kontroversi manfaatnya tapi sekali lagi dalam upaya ikhtiar seperti ini bisa dilakukan,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menyarankan, bagi seseorang yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap dampak polusi udara, seperti seseorang yang mempunyai riwayat penyakit paru, maka dianjurkan untuk melakukan kontrol ke dokter.
Hal ini dilakukan guna mengurangi efek buruk yang ditimbulkan akibat polusi udara dan mendapatkan rekomendasi tambahan obat agar tetap dapat beraktivitas dengan baik.
Air Purifier dan Kesenjangan Ekonomi
Sementara itu, menurut Ivan S. Jayawan, PhD selaku Environmental Health Engineer dari University of Michigan menyatakan pemanfaatan air purifier sebagai solusi atas polusi udara belum sepenuhnya inklusif. Ia beralasan, harga air purifier hanya ideal bagi kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Artinya, masyarakat dengan pendapatan rendah atau kelas menengah bawah agak sulit untuk menjadikan air purifier sebagai kebutuhan utama saat ini.
“Bisa liat di luar negeri, tidak perlu air purifier, bisa dengan membagikan alat respirator atau masker gratis. Karena di Indonesia, tingkat ekonomi pembeli air purifier menjadikan barang ini barang tersier,” tutur Ivan dalam kegiatan XSpace yang diselenggaran oleh CISDI beberapa waktu lalu.
Selain kebijakan pemerintah yang perlu kreatif, Ivan juga mengingatkan pentingnya edukasi pada masyarakat bahwa sumber polusi tidak melulu hanya bersumber dari alat transportasi maupun kegiatan industri. Polusi juga bisa bersumber dari dalam rumah. Misalnya; dari mebel, plafon asbes, cat tembok, ventilasi udara yang kurang baik hingga membuat kelembapan tidak baik, serta kebiasaan membakar dalam rumah termasuk merokok.
Maka itu penting bagi pemerintah membuat kebijakan arus utama yang terkoordinasi dengan baik. Kebijakan tersebut jangan sampai menjadi lelucon di tengah masyarakat seperti kejadian menyemprot air untuk mengurangi polusi udara. Padahal, studi terbaru menyebut penyemprotan air di jalan tidak berdampak pada penurunan polusi udara, apalagi untuk menekan kadar PM 2.5 di udara.
“Maka harus kolaborasi, libatkan orang yang punya expertise di bidang polusi. Jangan sampai menentukan tapi kebijakannya tidak sesuai. Jangan sampai jadi bahan lelucon di tengah masyarakat,” tuturnya.
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria Fransisca KL
Discussion about this post