Pemerintah Provinsi Jawa Barat per 9 Agustus 2023 lalu memang telah mengumumkan nama pemenang tender yang akan membangun dan mengelola Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Desa Citaman, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung.
Melalui penetapan tersebut, akan ada fasilitas pemrosesan sampah menjadi energi (Waste-to-Energy) atau insinerator Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di lokasi itu. TPPAS Legok Nangka nantinya akan membakar sampah yang dikirim dari enam wilayah, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Sumedang.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Prohealth.id, Selasa (5/9/2023), tidak lama sejak pengumuman itu, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti mengalami insiden kebakaran selama lebih dari 7 hari dan berujung pada pengumuman status darurat sampah oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, Ridwan Kamil.
TPA Sarimukti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB) memang akhirnya ditutup sampai waktu yang tidak ditentukan akibat terbakar sejak Sabtu (19/8/2023) lalu. Diketahui penyebab awal kebakaran akibat puntung rokok yang dibuang sembarangan, namun indikasi lain menyebutkan adanya akumulasi gas metana yang memperparah kejadian tersebut hingga api tak kunjung padam sampai hari ini.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengecam tindakan kebakaran yang terjadi di TPA, sebab dampak yang ditimbulkannya bukan hanya pada lingkungan namun juga warga yang berada di wilayah Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Kepala Desa Sarimukti Uci Suwanda melaporkan warga sudah mengeluhkan tenggorokannya sakit, sesak nafas, dan iritasi pada mata. Masalah kesehatan ini sudah mulai menyerang lebih dari 50 warga di 15 RW. Kebakaran TPA Sarimukti merupakan salah satu puncak gunung es dari pengabaian sistematis jangka panjang yang telah dilakukan oleh semua level pemerintahan.
Terlepas dari data KLHK yang menyebutkan ada 364 TPA di Indonesia, 33 persen Open Dumping, 55 persen Controlled Landfills, dan sisanya 12 persen Sanitary Landfills. Namun kenyataannya, AZWI menilai mayoritas TPA di Indonesia dalam posisi krisis dan terbukti masih banyak praktik open dumping.
Merespon rentetan kejadian ini, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), WALHI Jawa Barat, WALHI Nasional, Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), menyerukan penghentian penggunaan teknologi termal seperti insinerator.
Aliansi ini meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat perlu meninjau ulang keputusan pemilihan teknologi pembakar sampah tersebut di tengah kondisi darurat sampah.
Meiki Paendong, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat menyatakan bahwa besarnya biaya tipping fee insinerator dan mekanisme put-or-pay dalam kontrak kerjasama merupakan sebuah pemaksaan yang sangat beresiko dan membebani dana publik yang dimiliki Pemerintah Daerah kabupaten dan kota.
“Terbakarnya TPA Sarimukti merupakan salah satu indikasi bahwa anggaran saat ini masih jauh dari cukup untuk mengoperasikan TPA yang aman.”
Meiki menegaskan bahwa insinerator merupakan cara paling mahal untuk menangani sampah dan menghasilkan listrik. Menurutnya kota dan kabupaten masih sangat memerlukan tambahan anggaran yang sangat besar untuk mengelola sampah secara terpilah dan mengurangi sampah dari sumber, terutama sampah organik yang mendominasi timbulan sampah Metro Bandung.
Dia juga menambahkan bahwa pendanaan untuk insinerator seharusnya dialihkan untuk mengelola sampah organik yang menjadi biang kerok insiden meledaknya terbakarnya TPA Sarimukti dan meledaknya TPA Leuwigajah.
“Investasi pada pengomposan berpotensi menghasilkan pekerjaan baru setidaknya 6 kali lipat dibanding insinerator,” tambah Kata Meiki.
Abdul Ghofar dari Eksekutif Nasional WALHI mengatakan bahwa proyek PLTSa Legok Nangka membebani dan merugikan keuangan negara dengan pinjaman hutang 100 juta dolar dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), bagian dari Bank Dunia. Tak hanya itu, Ghofar juga mengkritisi pemenangan tender PLTSa Legok Nangka kepada perusahan konsorsium Jepang.
Ia menilai, penentuan teknologi insinerator diduga dipengaruhi oleh hasil asistensi teknis oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) yang berujung pada pemenangan konsorsium Sumitomo – Hitachi Zosen, perusahan Jepang penjual insinerator di berbagai negara.
“Adapun tipping fee yang sangat besar itu akan menguntungkan pihak Jepang namun merugikan masyarakat yang membayar melalui pajak.” lanjut pengkampanye isu urban itu.
Selain itu, Aliansi Pemulung Internasional juga melaporkan bahwa insinerator dan privatisasi sektor sampah sangat merugikan para pemulung dan pekerja informal di Sektor sampah. Kesepakatan lain yang merugikan Pemerintah Daerah adalah terkait subsidi. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya anggaran yang tersedia untuk upaya pemilahan, daur ulang dan pembatasan timbulan yang merupakan target JAKSTRADA.
Respons GAIA: Sampah dan krisis iklim
Sementara itu, Yobel Novian Putra dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) menekankan konsekuensi negatif insinerator pada krisis iklim.
“Insinerator hanya akan mereplikasi terbakarnya TPA Sarimukti yang melepas gas rumah kaca dalam skala besar. Seperti terbakarnya sampah di TPA, insinerator membakar campuran berbagai jenis sampah, baik sampah organik maupun plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil,” tuturnya.
Berbagai studi terbaru menunjukan bahwa insinerator di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa melepaskan emisi gas rumah kaca lebih besar daripada pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
“Pembakaran sampah organik hanya mengkonversi emisi gas metan dari sampah organik menjadi CO2 secara masif. Ini hanya akan menjauhkan Indonesia dari target Perjanjian Paris dan perjanjian Global Methane Pledge yang ditandatangani Indonesia belum lama ini,” kritik Yobel yang merupakan Staf Kebijakan Iklim dari GAIA.
Menanggapi krisis sampah Bandung Raya terkait terbakarnya TPA Sarimukti, Meiki menegaskan bahwa pembakaran sampah, apalagi sampah organik yang basah, sangatlah tidak efisien dan hanya mengkonversi satu masalah menjadi masalah lainnya. Pada sisi lain, teknologi seperti pengomposan dan bio-konversi (misal: Black Soldier Fly) atau magot dapat mencegah emisi gas metan dengan biaya satuan yang jauh lebih murah, mudah, dan memiliki multi manfaat.
Dia juga menambahkan di saat TPA Sarimukti belum bisa digunakan, seharusnya TPPAS Legok Nangka bisa difungsikan mengatasi krisis timbulan sampah. Namun karena fasilitas tersebut terikat dengan skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) malah tidak bisa dibuka.
“Oleh karena itu, kami organisasi masyarakat sipil ini berpandangan bahwa InsineratorPLTSa bukanlah solusi mengatasi persoalan sampah dan hanya akan menimbulkan permasalahan sosial maupun lingkungan yang baru. Tak hanya itu, tidak menutup kemungkinan akan membebani keuangan pemerintah daerah dan kota,” tuturnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post