Jakarta, 6 September 2023 – Berurusan dengan ruang perawatan intensif alias intensive care unit (ICU) bukanlah hal mudah bagi keluarga pasien, karena seringkali situasinya berhubungan dengan keselamatan nyawa.
Menurut dr. Vannesi T. Silalahi, Sp.An, MSc, KIC, dokter spesialis anestesi konsultan perawatan intensif, hal ini wajar dialami pasien maupun keluarga pasien mengingat adanya ancaman resistansi antimikroba (AMR) yang membuat bakteri, jamur atau virus penyebab infeksi pada tubuh seseorang lebih sulit ditangani dengan antibiotik, antijamur, atau antiviral sehingga pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama.
Sekitar 7 dari 10 orang yang dirawat di ICU menerima antibiotik sebagai salah satu terapi utama untuk menyembuhkan infeksi. Untuk itu, penggunaan antibiotik secara rasional sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya resistansi antimikroba di ruang ICU. Lanjut dr. Vannesi, keterlibatan pasien dan keluarganya memegang peran penting dalam hal mencegah kondisi AMR di ICU. Caranya adalah dengan membangun komunikasi yang produktif dengan tenaga kesehatan terkait.
Komunikasi dua arah ini akan meningkatkan pemahaman pihak pasien, dan mendorong diskusi lanjutan yang lebih baik mengenai rekomendasi medis dari tenaga kesehatan. Dengan begitu, pemberian antibiotik pun menjadi lebih jitu di ICU, hingga berujung pada meningkatnya kualitas perawatan yang diterima pasien dan menurunnya risiko AMR.
Sejalan dengan ini, Pfizer Indonesia yang bekerja sama dengan Eka Hospital dan mitra kesehatan lainnya, menyelenggarakan seminar bertema “Peran Nakes dan Keluarga Pasien dalam Mewujudkan Tata Laksana Penggunaan Antimikroba yang Bijak & Rasional di ICU: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna”. Seminar ini mengupas lebih dalam manfaat gerakan #JituDiICU dengan mendorong keluarga pasien untuk melakukan komunikasi yang terbuka dan konstruktif dengan tenaga kesehatan.
Nora Tiurlan Siagian, Presiden Direktur Pfizer Indonesia menjelaskan, pihaknya sebagai perusahaan biofarmasi inovatif, Pfizer Indonesia menyuarakan gerakan #JitudiICU sebagai wujud kontribusi nyata dalam upaya bersama mengedukasi masyarakat.
“Pasien perlu berdialog dan memperoleh informasi yang jelas dari tenaga kesehatan sehingga risiko AMR dapat dipahami dan ditanggulangi,” ungkap Nora, dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Minggu (10/9/2023).
Dalam kegiatan itu adir sebagai seorang patient advocate, Butet Trivyantini. Ia menyambut baik diluncurkannya gerakan #JituDiICU. “Keluarga dan pemerhati pasien sudah seyogyanya bertanya, serta mendapatkan informasi yang jelas dan edukasi tentang alasan, jenis, dosis, lama penggunaan, manfaat, dan risiko terkait penggunaan antibiotik di ICU,” jelas Butet.
Lebih lanjut, dr. Vannesi T. Silalahi, Sp.An, MSc, KIC, juga menyatakan beberapa poin penting untuk membangun komunikasi dua arah agar meningkatkan pemahaman pihak pasien dan mendorong diskusi lanjutan yang lebih baik mengenai rekomendasi medis dan tenaga kesehatan.
Setidaknya kata dr. Vannesi, terdapat 4 pertanyaan yang dapat membuka diskusi dengan tenaga kesehatan dalam hal pemberian antibiotik yang lebih jitu, sehingga berujung pada meningkatnya kualitas perawatan yang diterima pasien dan menurunnya risiko AMR. Berikut empat pertanyaan di bawah ini yang dapat membangun komunikasi dengan tenaga kesehatan.
Pertama, penting menanyakan bagaimana penggunaan antibiotik saat ini? Perlu diketahui bahwa tenaga kesehatan di ICU umumnya memberi antibiotik sedini mungkin (antibiotik empirik) kepada pasien sebagai tindakan darurat untuk menstabilkan kondisi pasien. Tenaga kesehatan menggunakan antibiotik empirik secara cermat dengan menilai beberapa hal, misalnya tingkat keparahan infeksi, lamanya infeksi, serta lokasi dan sumber infeksi. Untuk itu, pihak pasien dapat menanyakan jenis, dosis, lama penggunaan, rute (cara pemberian), serta efek samping penggunaan antibiotik ini kepada tenaga medis agar mendapat pemahaman yang lebih baik.
Kedua, tanyakanlah tentang bagaimana dengan hasil uji kultur?
Pihak pasien perlu mengetahui bahwa sebelum tenaga kesehatan memberi antibiotik definitif kepada pasien ICU, mereka akan melakukan tes laboratorium (uji kultur) untuk mengetahui secara tepat jenis bakteri penyebab infeksi pada pasien. Hasil uji kultur akan keluar dalam beberapa hari, sebagai bahan evaluasi bagi tenaga kesehatan untuk melanjutkan, menghentikan, atau mengganti penggunaan antibiotik yang sudah berjalan.
Adapun beberapa hal yang bisa ditanyakan kepada tenaga kesehatan antara lain adalah apakah akan dilakukan uji kultur, waktu keluarnya hasil uji kultur, alternatif perawatan yang bisa dilakukan setelah hasil uji kultur keluar, serta risiko pemberian antibiotik empirik apabila ternyata infeksi pasien bukan disebabkan oleh bakteri.
Ketiga, tanyakan bagaimana perkembangan kondisi pasien?
Lanjut dr. Vannesi, selain hasil uji kultur, hal lain yang juga menjadi pertimbangan tenaga kesehatan dalam memberikan antibiotik adalah perkembangan kondisi pasien ICU, apakah membaik atau memburuk selama perawatan. Oleh karena itu, pertanyaan ini bisa diajukan secara berkala kepada tenaga kesehatan selama perawatan berlangsung.
Secara lebih spesifik, pertanyaan yang bisa diajukan antara lain adalah seberapa sering tenaga kesehatan akan memberikan informasi terbaru mengenai kondisi pasien, siapa saja yang dapat ditanyai mengenai perkembangan kondisi kesehatan pasien, tindakan lain atau perubahan pemberian antibiotik apa yang akan diterapkan jika kondisi pasien tidak kunjung membaik, dan sebagainya.
Terakhir, bagaimana risiko resistansi antimikroba ditangani?
Pertanyaan ini bisa diajukan ketika rekomendasi medis dari tenaga kesehatan mengandung unsur pemberian antibiotik di dalamnya. Menurut dr. Vannesi, dengan bertanya secara spesifik mengenai langkah pencegahan AMR, pihak pasien pun dapat mengetahui secara pasti langkah-langkah yang diambil tenaga kesehatan untuk meminimalkan risiko AMR.
Beberapa pertanyaan yang bisa pasien atau keluarganya ajukan juga ke tenaga kesehatan misalnya; seberapa tinggi risiko terjadinya resistansi antimikroba di ICU, indikator terjadinya resistansi antimikroba terhadap pasien, risiko transmisi bakteri, jamur atau virus yang sudah kebal ke anggota keluarga lain, serta upaya-upaya lain yang bisa dilakukan untuk menekan risiko terjadinya resistansi antimikroba.
Sebelumnya dalam kegiatan workshop jurnalis yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta pada Mei 2023, dr, Harry Parathon, SpOG(K) selaku Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba bahwa AMR adalah bakteri yang tidak dapat dibunuh oleh berbagai golongan antibiotik, bahkan bakteri mampu bertahan lama. Adapun salah satu penyebab munculnya bakteri yang tidak dapat dibunuh adalah penggunaan antibiotik. Untuk itu, tenaga medis berperan besar dalam pengendalian AMR.
“Dokter punya beberapa peran misalnya menekan risiko munculnya AMR akibat reaksi antibiotik. Salah satunya dengan tidak sembarangan dan hati-hati meresepkan antibiotik,” ungkap dr. Harry.
Selain itu, dokter juga perlu menyelenggarakan tatalaksana kasus infeksi dengan baik. Tim medis khususnya dokter wajib mencegah risiko transmisi bakteri, serta melakukan edukasi pada pihak pasien terkait keuntungan dan risiko konsumsi antibiotik.
Discussion about this post