Jakarta, Prohealth.id – Perkumpulan industri farmasi multinasional yang berbasis penelitian dan pengembangan, International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) mendorong advokasi dan transformasi kebijakan pemerintah memfasilitasi percepatan akses terhadap obat dan vaksin inovatif yang berkualitas tinggi, efektif, dan aman bagi pasien di Indonesia.
Hasil studi Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) mengungkapkan bahwa diantara negara-negara G20 ataupun Asia Pasifik, ketersediaan obat baru di Indonesia yang paling rendah dimana hanya sembilan persen saja yang tersedia dari 460 obat baru yang diluncurkan secara global antara tahun 2012-2021.
Senada, Data dari United Nations Economic and Social Commission for Asia
and the Pacific pun menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pangsa investasi sektor kesehatan terendah di antara negara-negara besar di kawasan Asia Pasifik pada tahun 2021. Padahal, Indonesia memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.
Menurut Dra. Lucia Rizka Andalusia, Apt, M.Pharm, MARS, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI bahwa ketersediaan obat dan vaksin baru yang terbatas menjadi tantangan dalam menghadirkan harapan baru bagi masyarakat Indonesia akan pilihan terapi inovatif dengan pendekatan medis terkini.
Melalui sambutannya pada peluncuran Laporan Tahunan IPMG 2022, Lucia menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan mengapresiasi inisiatif IPMG yang diakui dalam rangkaian program dan kegiatan yang sinergis dengan Transformasi Kesehatan.
“Melalui kolaborasi, kami telah meningkatkan akses terhadap obat-obatan inovatif, mendukung penerapan penelitian di Indonesia, dan menggerakkan lokalisasi produksi,” ujarnya dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Sabtu (23/9/2023).
Sejak awal didirikan tahun 2014, IPMG berupaya menjadi mitra layanan kesehatan yang inovatif dan strategis bagi pemerintah, pelaku sektor kesehatan lainnya dan masyarakat Indonesia.
Evie Yulin, Vice Chairwoman IPMG menyatakan sejalan dengan transformasi kesehatan di Indonesia, IPMG meluncurkan inisiatif dan proyek kemitraan di bawah enam kerangka strategis yang diadopsi dari Kementerian Kesehatan. Untuk memastikan keberhasilan program, upaya IPMG memiliki capaian jangka pendek dan jangka panjang yang terukur.
“Kehadiran industri farmasi inovatif bukan hanya membantu masyarakat Indonesia mengakses obat[1]obatan inovatif dan meningkatkan standar perawatan, tetapi juga akan menarik investasi penting untuk
penelitian dan pengembangan,” ungkapnya.
Terdapat lima program utama sebagai prioritas IPMG sepanjang tahun 2023. Di antaranya adalah akses ke obat-obatan inovatif, pengadaan obat-obatan berkualitas yang efisien dan transparan, edukasi pada batas kebijakan lokalisasi, promosi positif insentif non-diskriminatif untuk perkembangan industri, dan peningkatan nilai inovasi.
George Stylianou, Board Member IPMG menjelaskan bahwa di IPMG pihaknya telah berkomitmen untuk membuka akses terhadap obat dan vaksin inovatif melalui empat prioritas advokasi terkait percepatan akses mulai dari tahap registrasi hingga ketersediaan di rumah sakit maupun formularium nasional pemerintah, transparansi pengadaan pemerintah, partisipasi dalam menyusun kebijakan persyaratan lokalisasi, serta penyusuan nilai inovatif dalam transformasi ketahanan kesehatan.
Sepanjang tahun 2022, IPMG berhasil melaksanakan rangkaian kegiatan edukasi, pelatihan tenaga kesehatan, dan aktivitas advokasi bersama berbagai asosiasi yang menjangkau hampir 34.929 praktisi kesehatan dan rumah sakit, serta sekitar 101 kegiatan pelayanan komunitas yang mencakup di dalamnya adalah program tanggung jawab sosial perusahaan, penggalangan dana pada masa pandemi dan bencana alam, filantropi, edukasi kesehatan masyarakat, dan Public Private Partnership (PPP).
Lebih dari 35 persen produk obat inovatif dari anggota IPMG juga telah tersedia di katalog JKN dan dapat dijangkau oleh pasien BPJS di Indonesia. Anggota IPMG secara aktif terlibat dalam program edukasi komunitas, melalui rangkaian kampanye edukasi masyarakat akan penyakit dan promosi kesehatan.
Evie menambahkan, sebagai mitra dan pendukung dari upaya pemerintah untuk meningkatkan sistem kesehatan di Indonesia dan memberikan akses obat yang inovatif, aman, dan berkualitas standar internasional kepada masyarakat Indonesia, IPMG bekerja dengan komunitas medis secara ilmiah dengan mematuhi semua hukum dan peraturan terkait.
“Kami meyakini bahwa kolaborasi, komunikasi berkelanjutan, dan penguatan ekosistem yang menyeluruh dapat mendukung kebijakan pro-inovasi dan pro-pertumbuhan dalam menghadirkan transformasi sistem kesehatan Indonesia,” tutup Evie.
Sementara itu, pasca penetapan UU Kesehatan, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI telah menggelar uji publik melalui kegiatan public hearing Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 di Jakarta pada selasa (19/9/2023) lalu.
Pertemuan yang dilaksanakan secara hybrid ini dihadiri oleh stakeholders dari berbagai kementerian/;embaga, organisasi profesi, asosiasi pelaku usaha, komunitas dan yayasan, tim ahli, dinas kesehatan serta masyarakat.
Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian, Agusdini Banun Saptaningsih menyampaikan bahwa praktek kefarmasian ini harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. Ia menjelaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan praktik kefarmasian dan dapat mengikutsertakan organisasi profesi.
Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan praktik kefarmasian dilaporkan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional. Praktek kefarmasian meliputi pengendalian produksi termasuk pengendalian mutu, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penelitian dan pengembangan sediaan farmasi juga pengelolaan dan pelayanan kefarmasian.
“Dalam menjalankan praktek kefarmasian apoteker dan/atau apoteker spesialis dapat dibantu oleh tenaga vokasi farmasi” ungkap Agusdini.
Agusdini menambahkan bahwa fasilitas kefarmasian terdiri dari dari fasilitas produksi, distribusi, pengelolaan kefarmasian, pelayanan kefarmasian/pelayanan kesehatan penunjang.
“Pada fasilitas produksi yang berupa industri farmasi dan industri bahan obat harus memiliki sekurang-kurangnya tiga orang apoteker dan/atau apoteker spesialis sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu” tegas Agusdini.
Sedangkan yang berupa industri obat bahan alam, industri ekstrak bahan alam, dan industri kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya satu orang apoteker dan/atau apoteker spesialis sebagai penanggung jawab. Selain itu, yang berupa industri alat kesehatan dan PKRT harus memiliki penanggung jawab teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk fasilitas produksi tertentu seperti usaha kecil, usaha mikro obat bahan alam, dan industri kosmetik golongan B dapat dilaksanakan oleh tenaga vokasi farmasi.
“RPP ini akan diatur turunannya di Permenkes, sekurang-kurangnya memiliki 1 tenaga vokasi farmasi tetapi tetap disupervisi oleh apoteker” jelas Agusdini.
Lebih lanjut Agusdini menerangkan dalam kondisi tertentu, praktik kefarmasian secara terbatas pada fasilitas pelayanan kefarmasian dapat dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Kondisi tertentu tersebut meliputi ketiadaan tenaga kefarmasian di suatu wilayah, kebutuhan program pemerintah, penanganan kegawatdaruratan medis dan/atau KLB, wabah, dan darurat bencana lainnya.
“Tenaga kesehatan lain meliputi dokter, dokter gigi, perawat, atau bidan yang memberikan pelayanan kefarmasian pada batas tertentu, ketentuan lebih lanjut mengenai praktik kefarmasian secara terbatas akan diatur dengan Peraturan Menteri” pungkas Agusdini.
Kemenkes akan menghimpun masukan dan aspirasi dari masyarakat. Masyarakat umum dapat mengikuti kegiatan ini melalui Youtube Kementerian Kesehatan RI dan dapat berpartisipasi aktif dengan memberikan masukan maupun usulan melalui website https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ selama proses penyusunan RPP berlangsung.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dita Novianti menyampaikan bahwa setelah ditetapkan undang-undang Kesehatan bidang farmasi memang banyak mendapat perhatian dari kalangan masyarakat, karena undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang disusun secara omnibus law, sehingga isinya lebih komprehensif terkait kesehatan.
Sayangnya, tidak semua diatur dalam UU Kesehatan, maka akan ditindaklanjuti dengan penyusunan peraturan pelaksanaan. Ada 101 pasal didelegasikan di RPP yang merupakan turunan UU Kesehatan, 2 pasal didelegasikan di rancangan Peraturan Presiden dan 5 Pasal didelegasikan di rancangan Peraturan Menteri Kesehatan.
“Maksud dari partisipasi publik ini adalah mengakomodir masukan dari masyarakat, kami berharap asosiasi, organisasi profesi mewakili organisasi membantu menyalurkan aspirasi anggota untuk kita bersama-sama memberikan masukan yang konstruktif terhadap RPP yang sedang dibuat”, ujar Dita.
Direktur Pengawasan Alat Kesehatan, Eka Purnamasari menyampaikan bahwa Pengamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan PKRT yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu.
“Produk yang beredar harus memenuhi syarat yang diacu dengan memenuhi standar untuk menjamin keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu. Pemastian mutu harus dikawal pemerintah dan pelaku usaha secara komprehensif mulai sejak diproduksi sampai di peredaran, antara lain melalui sampling dan pengujian yang dilaksanakan secara berkala dalam waktu tertentu secara intensif”, tutur Eka.
Lebih lanjut Eka menyampaikan fasilitas produksi dan distribusi harus memenuhi kaidah atau ketentuan berlaku. Dengan kemajuan teknologi informasi, peredaran yang meliputi distribusi dan penyerahan dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan sistem elektronik yang terintegrasi yakni Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKN).
RPP juga mengatur ketentuan importasi dan eksportasi sediaan farmasi, alat kesehatan dan PKRT, meliputi pihak yang dapat melakukan impor ekspor dan persyaratan produknya. Untuk kebutuhan penelitian, Lembaga Penelitian dapat melakukan impor, namun dilarang untuk diedarkan. Dalam keadaan tertentu, impor sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memiliki perizinan berusaha (izin edar), dapat dilakukan melalui jalur khusus.
“Sediaan Farmasi, alat kesehatan dan PKRT dapat beredar setelah mempunyai izin edar dan memenuhi ketentuan penandaan, dapat dipromosikan dan diiklankan di media informasi dengan memuat keterangan secara obyektif, lengkap, dan tidak menyesatkan serta mematuhi etika periklanan. Sedangkan obat dengan resep dan alat kesehatan yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga medis atau tenaga kesehatan hanya boleh dipromosikan dan diiklankan di media ilmiah untuk lingkungan profesi kesehatan”, ujar Eka.
Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan perlindungan dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi, alat Kesehatan, dan PKRT yang tidak tepat dan/atau tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan. Pemerintah pusat dan daerah sesuai tusi dan kewenangan masing-masing akan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan PKRT.
Discussion about this post