“Dunia sudah terbalik!” seorang ibu dengan sinis menyindir Mama Echi yang kala itu tengah mendampingi tetangganya yang terbaring sakit di salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Jakarta. Sindiran yang ditujukan kepada transpuan di fasilitas kesehatan membuktikan bahwa kehadiran transpuan masih membuat masyarakat phobia. Sebagian masyarakat ternyata masih kerap merasa geli atau memandang rendah transpuan.
Mama Echi memang kesal mendengar kalimat itu keluar dari seorang ibu yang sama-sama berada di ruang tunggu pasien. Untung saja, rasa kesal sanggup ia tahan dan tidak ingin berdebat dengan ibu tersebut. Toh niatnya jelas saat itu ingin menolong tetangga yang butuh pengobatan di RSUD.
Mama Echi memang sudah lama menjadi pendamping transpuan untuk mengakses layanan kesehatan. Ia merupakan bagian dari Yayasan Srikandi Sejati Petugas CBS Plus pendampingan untuk pencegahan dan penanganan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Selama ini Mama Echi bekerja tanpa pamrih membantu masyarakat dan sesama transpuan agar bisa mendapatkan hak sebagai warga negara yaitu mengakses fasilitas kesehatan masyarakat.
Mama Echi mengakui masih ada beberapa bentuk diskriminasi yang dilakukan masyarakat tatkala transpuan ikut mengakses fasilitas kesehatan. Ia ingat jelas misalnya kala pandemi Covid-19 melanda, Mama Echi mendampingi para transpuan ke faskes, salah satu satpam justru pernah memisahkan para transpuan dari pasien atau pengunjung lain karena dianggap mengganggu pelaksanaan vaksinasi Covid-19.
“Saya marah dengan satpam yang memisahkan kawan-kawan transpuan dampingan saya saat itu. Si satpam belum kenal dengan saya, jadi dia melakukan hal itu karena belum paham yang sedang dia lakukan. Padahal saya sudah aktif dan dikenal semua tenaga kesehatan di daerah Jakarta Barat sudah kenal Mama Echi, untungnya satpam itu akhirnya minta maaf setelah mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan,” katanya kepada Prohealth.id, Rabu (20/9/2023).
Mama Echi bercerita faskes merupakan tempat yang penting bagi transpuan. Utamanya bagi mereka yang kurang mampu mendapatkan layanan kesehatan, maka puskesmas atau RSUD merupakan satu-satunya tempat yang bisa dijangkau.
“Tugas saya memastikan transpuan mendapatkan layanan yang layak dan tidak membuat mereka merasa terdiskriminasi saat berada di fasilitas umum,” ungkapnya.
Saat ini untuk bisa mengakses segala jenis layanan kesehatan, transpuan hanya bisa menggunakan nama asli yang tertera di KTP, terutama untuk kepengurusan BPJS. Namun untuk menjaga transpuan dari stigma dan diskriminasi maka tenaga kesehatan yang melayani transpuan kini mulai melakukan pelayanan yang ramah terhadap traspuan.
“Kalau melayani transpuan biasanya tenaga kesehatan akan menggunakan nama perempuan mereka, tidak memanggil dengan nama sesuai KTP. Ini agar mereka transpuan tidak merasa rendah diri jika berada di tempat umum, saya nanti meminta nakes memanggil nama alias mereka,” jelas Mama Echi.
Mama Echi mengaku tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tempatnya tinggal mulai memperlakukan para transpuan dengan setara, seperti halnya memperlakukan warga dan pasien pada umumnya.
“Tenaga kesehatan sekarang mulai mengerti, rekan kami sesama transpuan sudah tidak pernah mendapatkan diskriminasi di puskesmas, kalau di RSUD justru masih ada,” ujar dia.
Serupa namun tak sama dengan kasus yang dialami oleh Mama Echi, di Indonesia bagian Timur yang masih banyak kekurangan dalam fasilitas layanan kesehatan, kelompok transpuan justru lebih aktif dan berani terlibat dalam program pencegahan HIV/AIDS, bahkan sampai menjadi kader posyandu.
Ditemui secara terpisah, Wahida Kamang, salah satu transpuan senior asal Desa Wuring, Kecamatan Wolomarang, Kabupaten Sikka sedang menggelar kegiatan konsultasi bulanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Wuring. Masyarakat di Desa Wuring berasal dari suku Bajo yang hidup di pesisir pantai Laut Flores.
Wahida bercerita, diskriminasi dan kekerasan terhadap transpuan memang tinggi di wilayah Indonesia Timur karena kultur patriarki yang kental. Misalnya saja sebelum bencana tsunami 1992 menimpa Pulau Flores, penerimaan masyarakat terhadap realita kehadiran transpuan di Flores dan sekitarnya memang sangat rendah. Penolakan hingga kekerasan menjadi makanan sehari-hari transpuan yang kerap dipanggil ‘banci kobek’ oleh masyarakat.
“Puncaknya, itu masyarakat mulai menerima transpuan setelah gempabumi dan tsunami besar tahun 1992. Kami para transpuan ini mulai bangun dapur umum untuk korban tsunami,” kata Wahida yang pernah menjadi koordinator dapur umum saat bencana melanda.
“Akhirnya kami pun bilang ke warga, kalian itu hina-hina kami banci kobek, waria gila uang, kami diskriminasi dan dikerasi, sekarang kalian makan dari masakan kami,” ujar Wahida saat dijumpai Prohealth.id.
Sejak kejadian itu, Pemerintah Kabupaten Sikka mulai melibatkan transpuan untuk kegiatan sosial, termasuk sebagai kader posyandu, kader kesehatan seksual dan reproduksi, sekaligus kader kesehatan keluarga.
Sebagai salah satu kader senior untuk pelayanan posyandu di Wuring, ada beberapa kegelisahan yang dia alami. Wahida mengeluhkan minimnya keterlibatan masyarakat secara umum untuk memantau kesehatan anak-anak mereka. Pada Desember 2022 lalu saja, dari 77 anak yang terdata untuk mengikuti konsultasi KIA, hanya 40 anak yang melakukan pemeriksaan kesehatan. Artinya masih sisa 37 anak yang belum datang.
“Nanti kami akan jemput bola, kami sweeping, kami datang ke rumah-rumah mengecek kondisi anak-anak tersebut,” tutur Wahida selaku kader dan petugas Posyandu.
Selain fokus pada isu kesehatan keluarga, Wahida yang juga membuka layanan sebagai tim penyuluh untuk pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS, untuk memfasilitasi pemantauan layanan kesehatan. Ia telah menjadi anggota Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sikka sejak tahun 1998. Dia pun menunjukkan buku catatan kedatangan para transpuan dan pekerja seks di wilayah Kecamatan Wolomarang untuk melakukan konsultasi kondisi kesehatan.
“Saya sudah tergabung di KPA, menjadi penjangkau di lapangan untuk kelompok rentan LSL [lelaki seks lelaki], transpuan, dan PS [pekerja seks], itu kelompok prioritasnya,” ujar Wahida.
Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) jumlah warga yang terpapar HIV/AIDS dari 2003 sampai 2022 mencapai 1.034 orang. Adapun 687 terbanyak adalah pria. KPA menyebut angka ini meningkat 34 kasus dari Mei 2022 yang awalnya hanya 1.000 kasus. Wahida pun memperlihatan buku catatan penyuluhan transpuan dan kelompok rentan lain yang berhasil dijangkau selama 2020-2022 di wilayah Kecamatan Wolomarang. Sekilas memang pendataan sangat sepi akibat pandemi Covid-19. Pencatatan penyuluhan baru ramai pada awal 2022 dan dibuktikan kata Wahida oleh kenaikan jumlah kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sikka.
“Kami selalu turun untuk HIV/AIDS, transpuan sudah dengar bahaya ini tetapi kami banyak terlibat dalam Yayasan Peduli HIV/AIDS Flores karena transpuan masuk kelompok rentan. Ya, memang kelompok transpuan ini kami masuk yang terinfeksi,” tuturnya.
Seperti yang tertuang dalam beleid Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, populasi kunci HIV/AIDS adalah mereka yang rentan terinfeksi HIV, sebagaimana yang dimaksud antara lain; pengguna NAPZA suntik, perempuan pekerja seks, pelanggan perempuan pekerja seks, Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) yang adalah transpuan.
Wahida tak menampik kesulitan untuk melakukan penyuluhan adalah stigma sebagai kelompok masyarakat yang tidak bermoral, menyalahi kodrat, melanggar norma dan nilai sosial membuat kelompok rentan sulit dijangkau. Padahal, kelompok rentan tersebut ketika sudah terinfeksi HIV/AIDS tidak boleh sampai putus obat apalagi jika tidak mendapatkan hak vaksinasi. Kondisi tersebut biasa disebut LFU atau Lost Follow Up yang mengakibatkan ragam penyakit karena penurunan imunitas tubuh, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Jika pendamping atau penyuluh mengalami kondisi ini, pencegahan dengan tracing pun sulit dilakukan. Untung saja, kata Wahida, ada cara yang kini bisa diandalkan adalah dengan memanfaatkan komunitas, salah satunya adalah Perwakas atau Persatuan Waria Kabupaten Sikka. Komunitas ini diakui Wahida cukup aktif untuk saling tracing dan mendukung penyuluhan HIV/AIDS.
Syukurnya, Ia mengaku strategi jemput bola atau sweeping kasus stunting sampai tracing HIV/AIDS sudah tidak terlalu mendapatkan resistensi lagi dari masyarakat di Desa Wuring maupun Kabupaten Sikka dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini terjadi berkat toleransi dan perubahan paradigma masyarakat yang sudah terbiasa dengan kehadiran transpuan.
Temuan Praktik Diskriminasi
Berkaca dari kondisi kerentanan transpuan pada stigma dan masalah kesehatan, Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i mengingatkan bahwa seluruh pihak untuk mengormati dan memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak mendiskriminasi transpuan termasuk menghilangkan kekerasan kepada perempuan.
“Praktik diskriminasi kepada transpuan yang dilakukan segelintir masyarakat merupakan hal yang tidak sepatutnya dilakukan, baik itu kekerasan verbal maupun fisik yang berdampak pada psikis transpuan,” ungkapnya saat dihubungi Prohealth.id, Rabu (20/9/2023).
Menurut Nahe’i, kelompok transpuan berhak atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasinya dalam perundang-undangan maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
”Dasar hukumnya adalah Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW),” kata dia.
Komnas Perempuan mengimbau kepada masyarakat agar berhenti memandang transpuan sebagai manusia yang tidak patut dihargai dan dihormati.
“Transpuan telah menghadapi kesulitan berlapis, mengalami ketidakadilan dari aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ketiadaan KTP membuat mereka mengalami kerentanan berlapis dengan tidak jelasnya posisi mereka sebagai warga negara Indonesia,” ujar Nahe’i.
Dalam konteks jaminan kesehatan, lanjut Nahe’i, untuk mendapatkan BPJS atau asuransi lainnya, transpuan tersingkirkan secara sistematis dari akses adminduk, dibuktikan dengan sulitnya akses KTP bagi mereka.
“Mereka masih kesulitan mendapatkan BPJS karena akses adminduk sulit mereka urus, karenanya kami berharap ke depannya transpuan semakin mudah mendapatkan akses fasilitas kesehatan dari pemerintah. Sejauh ini kami memantau sudah banyak perbaikan,” ungkap dia.
Layanan kesehatan merupakan hak dasar setiap manusia, Nahe’i menegaskan transpuan juga sudah seharusnya mendapatkan jaminan kesehatan.
“Pemanfaatan BPJS misalnya, penting bagi transpuan terutama yang kurang mampu, mereka berhak juga mendapatkan pelayanan yang layak dan perlakuan yang setara,” ucapnya.
Negara, kata Nahe’i juga punya peran penting dengan hadir dengan kebijakan nondiskriminatif. Ia menegaskan negara harus membuat kebijakan yang bisa menjamin dan melindungi transpuan sebagai manusia. Kebijakan juga perlu memberi efek jera bagi oknum yang melakukan penghinaan, meredahkan harkat dan martabat, termasuk persekusi terhadap transpuan sebagai manusia dan juga warga negara Indonesia.
Sementara itu, Founder dan Chief Executive Officer CISDI Diah Satyani Saminarsih mengungkapkan bahwa transpuan memang kelompok marjinal yang menghadapi tantangan kultural dan struktural untuk mengakses layanan kesehatan. Dari sisi kultural, para transpuan masih hidup di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya menerima keberadaan mereka.
“Dampaknya, mereka kerap mengalami kesulitan mengakses fasilitas publik, termasuk fasilitas kesehatan, lantaran ada rasa takut didiskriminasi,” jelasnya kepada Prohealth.id pada Jumat (22/9/2023).
Dari sisi struktural, dikatakan Diah, pemerintah masih belum menempatkan transpuan secara spesifik sebagai kelompok masyarakat yang rentan. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang disahkan 11 Juli 2023 lalu, disebutkan dalam Pasal 28 ayat (4) bahwa masyarakat rentan antara lain; individu yang tersisihkan secara sosial karena agama/kepercayaan, ras atau suku, orientasi seksual, identitas gender, penyakit, serta status kewarganegaraan.
Diah menyebutkan, dalam konteks akses layanan umum seperti vaksinasi, contohnya, riset Masukan Kebijakan CISDI bersama PUSKAPA (2021) menyebutkan beberapa hambatan yang dialami transpuan antara lain; transpuan cenderung tersisih dari masyarakat sehingga kerap sulit mendapat informasi jadwal vaksinasi; banyak transpuan tercerai dari keluarganya sehingga tidak memiliki NIK atau KTP. Mereka yang tidak diakui peralihan identitasnya tidak memiliki KTP.
Selanjutnya, banyak transpuan yang juga merupakan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dan mengalami hambatan finansial; serta sebagai bagian dari skrining, ODHA harus memiliki CD4 dan tes diagnostik ini membutuhkan biaya dan tidak bisa dilakukan di semua fasilitas kesehatan.
Dia menyebutkan ada temuan CISDI yang juga mengungkapkan bahwa transpuan kerap mengalami persimpangan identitas. Sebagai contoh, transpuan yang tersisih secara sosial juga berada dalam garis kemiskinan sehingga mengalami ketersisihan finansial. Pemerintah memang telah mempermudah akses transpuan mendapatkan KTP. Artinya, KTP menjadi salah satu syarat mendaftarkan diri ke akses kesehatan esensial, seperti BPJS Kesehatan.
“Akan tetapi, hingga hari ini belum ada bukti kuat kebijakan administratif tersebut mampu mengatasi hambatan yang dihadapi transpuan, mulai dari hambatan finansial hingga kultural ketika mengakses layanan kesehatan,” bebernya.
Penguatan Kesehatan Kelompok Rentan
CISDI melihat beberapa kelompok rentan kerap terlewat dalam peraturan yang disusun pemerintah. Sebagai contoh, Permenkes 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi tidak mendefinisikan kelompok rentan dalam target vaksinasi tahap III sehingga ada potensi mereka luput dalam program vaksinasi nasional.
Untuk itu, Diah menilai pemangku kepentingan juga perlu memahami kerentanan dan mengenali hambatan yang dihadapi oleh kelompok rentan. Sebagai contoh, hambatan yang dialami kelompok lansia untuk mengakses layanan kesehatan berbeda dengan hambatan yang dialami masyarakat adat atau transpuan. Ia yakin dengan mengenali hambatan, pemerintah bisa memetakan mitra kolaborasi dan kebijakan yang tepat untuk mengatasi hambatan tersebut.
Sebagai contoh lainnya untuk membangun layanan kesehatan yang setara, diperlukan akses layanan yang inklusif dan tidak diskriminatif. Dalam konteks penjangkauan dan penerimaan kelompok rentan berbasis gender, misalnya, pemerintah harus menggunakan perspektif gender dalam setiap pembuatan kebijakan.
“Tujuannya untuk meminimalisir timbulnya stigma dan diskriminasi terhadap mereka, baik di layanan kesehatan maupun tataran sosial lainnya.,” tandas Diah.
CISDI juga mendorong jaminan transpuan tidak mendapatkan diskriminasi pada layanan faskes dalam RUU Kesehatan. Dalam proses advokasi RUU Kesehatan, Diah menyebut bahwa CISDI membangun beberapa koalisi bersama organisasi lain. Salah satu koalisi tersebut adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Gender dan Kelompok Rentan.
“Bersama koalisi tersebut kami menuliskan daftar inventarisasi masalah (DIM), salah satunya yang direkomendasikan bersama adalah redefinisi atau perluasan definisi kelompok rentan,” tandasnya.
Lebih lanjut, Diah menjelaskan, pada draf RUU Kesehatan yang diterima ketika itu disampaikan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan akses layanan kesehatan primer dan layanan kesehatan rujukan di seluruh Indonesia untuk ‘masyarakat miskin’, dan ‘masyarakat rentan’. Definisi masyarakat rentan dalam ketentuan tersebut sangat sempit karena hanya mencakup ibu hamil dan menyusui, bayi, balita, dan lanjut usia.
“Rekomendasi yang diajukan CISDI bersama koalisi, yakni memperluas definisi sehingga dapat mencakup berbagai macam kelompok, mulai dari individu dengan status sosial-ekonomi rendah, disabilitas, minoritas gender hingga individu yang tinggal di pengungsian. Keterangan lengkapnya bisa dilihat dalam DIM bersama kami,” ungkap Diah.
Diah mengaku bahwa rekomendasi tersbeut pun diterima dan dimasukkan ke dalam UU Kesehatan, sehingga definisi masyarakat rentan akhirnya diperluas menjadi sepuluh kategori.
“Ini mulai dari individu yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan yang memadai, hingga individu yang tinggal di hunian sempit atau institusi sosial dengan ruang privat yang terbatas,” lanjut Diah.
Artinya, transpuan pun berhak mendapatkan pelayanan yang setara. Kelompok transpuan pun selayaknya anggota masyarakat lainnya harus bisa mengakses fasilitas kesehatan, termasuk mendapatkan perawatan medis dan pengobatan, tanpa harus melalui prosedur yang berbelit.
“Untuk mewujudkan hal ini, tenaga kesehatan harus mampu memperlakukan pasien transpuan tanpa menghakiminya,” jelasnya.
CISDI sendiri, kata Diah, terus mengupayakan pemenuhan akses kesehatan tanpa diskriminasi, baik terhadap transpuan maupun kelompok masyarakat rentan lain. Salah satunya melalui Program Pencerah Nusantara Puskesmas Responsif-Inklusif Masyarakat Aktif Bermakna (PN-PRIMA) pada September 2021-September 2022, telah memberikan sosialisasi kepada tenaga kesehatan dan kader kesehatan di 21 puskesmas di Kota Depok, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bandung mengenai etika memberikan layanan kepada kelompok rentan.
“Dalam proses pelatihan tersebut kami menjelaskan tentang etika berkomunikasi, yaitu apa yang ‘boleh dilakukan’ dan ‘tidak boleh dilakukan’ oleh tenaga kesehatan dan kader kesehatan ketika berinteraksi dengan kelompok rentan, termasuk transpuan,” bebernya
Diah mencontohkan, tenaga kesehatan perlu menanyakan sapaan yang ingin digunakan oleh pasien transpuan. Ini bisa dimulai dengan menggunakan kata “kakak” sebagai sapaan yang netral. Di sisi lain, tenaga kesehatan tidak boleh menatap dan bersikap kepada transpuan yang dapat memberi kesan intimidasi, seperti menatap dari ujung kepala hingga kaki.
Secara terpisah, Wakil Menteri Kesehatan Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.OD-KEMD, Ph.D menyatakan pasca penetapan UU Kesehatan, komitmen kesehatan masyarakat Indonesia diutamakan melalui cara preventif ketimbang kuratif guna mewujudkan transformasi dalam sistem kesehatan nasional.
Ia menegaskan, UU Kesehatan yang diresmikan tetap berpedoman sesuai UUD 1945 Pasal 34 ayat 3 yang berbunyi ‘Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak’.
“Untuk itu revilitasi posyansu sampai penguatan jejaring pelayanan kesehatan primer dengan mengutamakan pendekatan promotif dan preventif,” tuturnya dalam Forum Nasional XIII Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Tahun 2023.
Ia juga menyebut layanan kesehatan akan berfokus pada pasien berdasarkan siklus kehidupan manusia. Untuk itu, penguatan layanan kesehatan primer di seluruh Indonesia termasuk daerah terpencil, perbatasan, kepulauan, dan masyarakat rentan. Prof. Dante juga menjamin komitmen pemerintah membangun sistem laboratorium kesehatan masyarakat yang berjenjang.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post