Instrumen pencegahan korupsi paling efektif bisa berjalan tidak optimal karena banyak faktor. Belum lagi program yang berlangsung tidak tepat sasaran sehingga membuka peluang korupsi uang sampai regulasi. Kondisi ini disebabkan dari mulai manajemen data yang buruk sampai konflik kepentingan yang membuat korupsi uang sampai regulasi rentan terjadi dalam program pengentasan kemiskinan dan pembangunan manusia.
Hal ini disampaikan Koordinator Pelaksana Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Pahala Nainggolan ketika tim Prohealth.id mewawancarai dia melalui PROCAST-Prohealth Podcast. Berikut kutipan hasil wawancara pada Selasa, 19 September 2023 lalu.
Seperti apa peran Inspektorat dalam pemanfaatan SIPD ini untuk menjamin efektivitas anggaran dan agar anggaran tepat sasaran?
Instrumen pencegahan paling efektif sebenarnya inspektorat. Tetapi kenyataannya begini, inspektorat jangankan mencegah, melapor saja tidak berani. Karena itu inspektorat ini harus dikuatkan. Kami tulis surat pada presiden waktu itu guna meminta inspektorat harus dikuatkan. Kemudian anggarannya harus dijamin, jumlah personelnya cukup, keahliannya harus memadai sebagai pengawas, dan tidak di bawah kepala daerah.
Akhirnya direspon oleh Presiden Jokowi dengan Kementerian Dalam Negeri dengan dibuatlah Peraturan Pemerintah yang kira-kira isinya “Kepala Inspektorat diangkat oleh Kepala Daerah atas persetujuan Kepala Daerah setingkat di atasnya.”
Mekanisme pengangkatan inspektorat seperti apa?
Jadi, kalau dia [inspektorat] diangkat untuk wilayah kabupaten maka harus persetujuan gubernur juga. Tetapi yang lebih penting lagi bupati tidak bisa semena-mena memecat inspektorat. Dia harus izin dulu ke gubernur. Kalau ini di tingkat provinsi maka izin ke Kementerian Dalam Negeri.
Mengapa di SIPD ini jadi nyangkut? Karena kami juga mengatakan kecukupan anggaran itu dari Kementerian Dalam Negeri dan di PP-nya disebutkan. Satu persen dari anggaran Pemda, kalau APBD satu triliun, satu persen harus buat anggaran inspektorat. Kalau APBD mencapai satu sampai dua triliun maka 0,7 persen.
Kami mengatakan melalui SIPD itu bisa dikontrol semua. Kami berharap juga semua pemda punya acuan. Jadi, ada panduan tetapi dari SIPD dimonitor. Jumlah auditornya juga ketahuan.
Persoalan pengawasan ini bagaimana skema idealnya untuk pengentasan kemiskinan? Misalnya ketika bansos ternyata dibelanjakan untuk beli rokok, beli pulsa.
Jadi yang diharapkan program nasional ini untuk pengentasan kemiskinan ekstrem itu bisa dijalankan bareng sampai ke daerah. Jangan pusat saja. Kalau pusat saja tidak ada juga efeknya.
SIPD ini instrumen untuk melihat sampai ke daerah. Kami menemukan program stunting jadinya beli Innova. Ini hubungannya apa? Kalau Bu Menteri Keuangan mengatakan program stunting jadinya ngecat pagar. Yang kaya begini ini sudah dong.
Cerita bansos. Bansos ini sebenarnya bersaudara dengan kemiskinan ekstrem. Orang berpikir dengan dikasih bansos maka hilang kemiskinannya. Bansos ini menjaga orang miskin jangan sampai jatuh mati. Tetapi kalau miskin menjadi tidak miskin itu program pengentasan namanya. Seperti memelihara ayam, menanam sayuran.
Akhirnya jadi kaya?
Masyarakat berharapnya dikasih bansos langsung kaya? Waduh. Atau dikasih bansos langsung tidak ekstrem miskinnya? Tidak juga. Ini data beneran. Bansos dibelikan rokok, dibelikan pulsa.
Artinya ada perbedaan persepsi. Banyak yang salah sasaran. Sebenarnya apa yang menyebabkan ini terjadi? Ada kesalahan di mana? Akarnya dari mana?
Jadi salah sasaran itu ada dua. Salah sasaran penerima dan salah sasaran penggunaannya. Kalau yang penggunaan, kami beritahu kalau bansos datang itu pendampingnya harus ada. Masyarakat dikasih duit tidak ngerti buat apa? Jadinya kaya begini, beli rokok, beli pulsa, segala macam. Usai didampingi nanti pada titik tertentu itu kemudian pengentasan.
Nah pemda, dinas sosial, dinas pertanian, turun bareng di sini untuk menjaga penggunaan bansos agar jangan salah sasaran. Tetapi soal salah penerimaan ini penyakit. Di seluruh dunia yang namanya bantuan itu selalu ceritanya yang dikasih masih hidup apa tidak? Lalu yang dikasih ini orang miskin atau bukan? Di Indonesia sama.
Penyakitnya yang pertama orangnya fiktif. Orangnya sudah meninggal atau dapat dua kali itu ‘kan cerita fiktif. Berikutnya orang miskin malah tidak dapat. Orang kaya malah dapat. Nah, kami menyelesaikannya satu demi satu. Menyakinkan bahwa orangnya ini ada.
Apa saja langkah yang akhirnya sedang dan akan dilakukan menuntaskan masalah ini?
Kami mengatakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sekarang ini ada 140 juta nama orang yang diranking mungkin dari paling miskin sampai hampir sejahtera. Kementerian Sosial kami dudukkan bareng dengan Kementerian Dalam Negeri. Istilahnya datanya dipadankan.
Daftar ini ada NIK-nya tidak? Itu dulu. Karena kalau ada NIK-nya berarti orangnya masih hidup dan ada di Indonesia.Karena kejadian sebelum ini orang yang dikasih sudah tidak ada. Tidak mungkin ditarik balik ‘kan? Yang menerima ternyata bukan orang miskin.
Bagaimana strategi dengan Kementerian Dalam Negeri sebagai pusat penyelaras data penduduk?
Ada sekitar 3 juta perubahan orang setahun. Mati, cerai, nikah, pindah keluar, pindah masuk, tidak termasuk kelahiran.
Kami mengatakan demikian. Hari ini disensus se-Indonesia. Besok bisa jadi salah. Karena misalnya besok meninggal. Sudah salah datanya ‘kan? Jadi ini pentingnya data dipadankan terus dengan Kementerian Dalam Negeri.
Orang miskin dapat mantu PNS maka dia keluar dari kemiskinan. Jadi harus dikeluarkan dari DTKS. Itu yang kami katakan pemadanan terus dengan Kementerian Dalam Negeri itu harus. Kalau tidak memakai Stranas itu jalan sendiri-sendiri saja, diam-diam saja. Jadi jangan dibayangkan itu gampang. Untung datang Bu Risma.
Yang pertama. Dulu DTKS itu dibangun pada 2015. Hanya 44 persen yang ada NIK-nya. Sekarang sudah 98,5 persen ber-NIK dan setiap ada perubahan akan terhubung. Itu ‘kan dahsyat. Bukan hanya cerita bansos saja.
DTKS 100 juta orang miskin ini dipindahkan ke Kementerian Kesehatan. Sudah begitu dikasih 25 ribu seorang buat iuran BPJS Kesehatan. Habis itu uangnya dikasih ke BPJS Kesehatan. Itulah penerima bantuan iuran (PBI). Kalau ada orang miskin mengatakan saya tidak bisa berobat. Pasti bisa. Bawa saja ke rumah sakit dan tidak boleh ditolak. Karena ada PBI ini, 25 triliun sampai 30 triliun, iurannya saja yang dibayar Pemerintah berbasis DTKS.
Kebayang tidak kalau DTKS NIK orangnya sudah mati? Itu ‘kan zonk banget yang dibayar. Itu pentingnya DTKS. Jadi bukan cerita bansos saja. Nah sekarang sudah 98,5 persen padan NIK. Ini orangnya minimal ada. Ini belum cerita salah sasaran nih. Baru ada atau tidak ada.
Apa saja problem lain soal DTKS ini? Kalau serumit itu, apakah artinya orang yang mapan pun tetap bisa masuk data miskin?
Problem kedua dan ketiga sama. Orang miskin tidak masuk. Orang kaya malah masuk. Oleh Kementerian Sosial ini DTKS harus dipadankan dengan NIK.
Lalu bagaimana meyakinkan ini orang miskin? Nah, itu dari pemda yang memasukkan data. Jadi data orang miskin atau tidak miskin itu datangnya dari 500 sekian pemda. Bukan dari Kementerian Sosial. Kementerian Sosial tidak boleh memasukkan data.
Sebelum COVID-19, dari 500-an pemda, 400-an tidak pernah update dari 2015. Cuek saja. Makanya begitu 2020 bansos pertama digulirkan ada orang yang sudah mati dapat. Karena datanya dari 2015.
Begitu kami koordinasikan sama pemda, kami semprit beneran. Kalau orang sudah lulus dari miskin, dapat mantu TNI/Polri, atau usahanya sudah maju, itu jangan sukarela disuruh lapor. Pemdanya melihat dong. Sudah punya usaha gede. Sudah tidak miskin maka tidak bisa terima lagi bansos. Coret dong. Sekarang oleh Bu Risma sebulan sekali di-update. Kalau dulu enam bulan sekali.
Bagaimana caranya jika kita mau mengajukan data orang miskin?
Bahkan kalau mau mengusulkan tetangganya juga bisa. Misalnya punya tetangga yang hidupnya susah, orang tua tinggal sendirian sementara anaknya sudah tidak tahu ada di mana. Bisa diusulkan lalu oleh pemda dicek. Tetapi kalau tetangga lain berpandangan berbeda juga bisa. Jadi usul dan sanggah ada sekarang. Ini online dan ada di tiap Kabupaten. Ada di Cek Bansos.
Saya suka kalau ini partisipatif. Jadi kehadiran pemda itu berasa. Kami juga mengatakan jangan bangga kalau orang miskin di tempatmu banyak karena itu berarti kamu tidak becus sebenarnya. Masa orang miskin tidak kurang-kurang tiap tahun. Sekarang pemda agak berhati-hati. Kalau melaporkan banyak memang akan dapat banyak tetapi ‘kan malu. Kalau melaporkan sedikit yang orang miskin teriak-teriak tidak dapat bagian.
Tugas kami di pusat, Stranas PK, menajamkan supaya jangan salah sasaran lagi.
Bagaimana tahapan Stranas melakukan menajamkan agar jangan bobol data yang tidak akurat lagi?
Kami cek ke BKN, ada tidak yang pegawai negeri, TNI, Polri? Eh ada 20 sekian ribu. Kami mengatakan coret langsung. Tidak ada cerita. Lalu kami cek ke BPJS TK. Kalau membayar iuran melapor ke BPJS TK dan pasti di atas upah minimum.
Kami memberi waktu sebulan untuk pemda benerin. Sekarang pemda benerin sampai akhir September. Kalau tidak ada orangnya jangan dipaksa. Jangan dipaksa supaya anggaran ini tetap didapat tetapi pindah kelas jadi pengentasan. Daripada memaksa mengatakan 1000 orang harus dikeluarin. ‘Kan ada sembilan kriteria miskin. Kalau tidak ada yang masuk jangan dipaksakan. Sebut saja keluar 1000, kita tidak masukkan lagi. Dana yang 1000 ini diganti pengentasan. Seperti pelihara ayam, bebek, kambing.
Jadi, apa yang miskin sudah naik kelas sekarang?
Negara sudah benar kalau melangkahnya begini. Kementerian Sosial tidak bangga membagikan duit dan mengatakan sudah waktunya ini harus pindah. Itu yang kami lakukan.
Kami mau mengatakan begini. Dari 44 persen NIK sekarang sudah 98,5. Ada tidak yang masih salah. Ya ada. Masih ada 1,5 persen lagi. Tetapi lihat progres dong. Dari 44 persen ke 98,5 persen. Kemudian isinya DTKS sudah hampir 100 persen diganti nama orangnya karena partisipasi Pemda.
Berikutnya sekali lagi tugas kita di pusat. Saya ingin cek ke Samsat. ‘Kan Samsat pakai NIK. Jangan-jangan dia punya mobil.’
Selain bansos bagaimana soal subsidi Pak? Seperti apa potensinya menjadi ladang korupsi?
Nah, misal nih, melon, LPG tiga kilo, di Peraturan Menteri ESDM disebutkan cuma buat orang miskin dan UKM. Pemerintah memberikan subsidi 100 tirilun setahun supaya harganya terjangkau masyarakat. Tetapi yang memakai itu orang yang tidak berhak. Sampai dikasih tanda buat orang miskin.
Kami bicara sama Menteri ESDM. Kami mengatakan ini data orang miskin. Melon ini kasih saja duit ke orang miskin. Terserah mau buat beli melon atau beli apa tetapi pemerintah tidak usah mensubsidi harga melon. Karena nyatanya di pasar yang beli bukan orang miskin. Kasih saja orang miskin butuh berapa dalam sebulan?
Kami tanya Pertamina. Ini buat orang miskin bukan? Oh, kami tidak kontrol sampai ke sana. Sementara jumlah permintaan naik terus.
Maksudnya media juga perlu tahu bahwa ini subsidi sia-sia. Masa kasih subsidi ke orang mampu untuk beli melon 3 kilo. Harusnya dia beli yang 12 kilo. Mending kasih ke siapa yang miskin. Dasarnya apa? DTKS.
DTKS yang solid itu perginya ke bantuan iuran BPJS, energi seperti melon. Satu lagi yang ini kita baru dapat. Tahu ‘kan kalau listrik 450 watt? Disubsidi Pemerintah 450 watt. Subsidinya itu Rp30 triliun.
Dua tahun lalu kami mengatakan pada PLN untuk mengumpulkan NIK 450 watt. Oh, kami tidak bisa. Kami pakai nomor pelanggan bukan pakai NIK. Sekarang kamu harus pakai NIK. Dua tahun akhirnya dapat NIK 32 juta yang nyambung 450 watt pakai NIK. Sekarang data yang kami dapat hampir 80 persen itu tidak ada di DTKS. Artinya 450 watt itu bukan orang miskin. Itu tidak ada di DTKS.
Jadi DTKS basis buat PBI, buat bansos, tetapi buat subsidi juga supaya subsidinya tepat. Subsidi listrik 450 watt buat orang miskin. Yang kami temukan 450 watt itu satu nama, satu NIK, 20 sambungan, sudah pasti kos-kosan. Masa dia menikmati tarif listrik orang miskin?
Kalau kasus seperti itu, subsidi listrik salah peruntukan apa yang dilakukan oleh Stranas PK?
Kami mengatkan sudah deh PLN kenakan tarif normal saja. Tetapi orang miskinnya dikasih duit. Begitu ‘kan? Ketimbang dikenakan dua macam tarif lalu bingung sendiri dia.
Subsidi dialokasikan buat orang miskin beneran. Ini duit buat beli gas, buat listrik, buat iuran kesehatan BPJS. Kalau miskin banget, ini uang bansos. Kalau miskin karena bencana ini yang banyak. Misalnya anaknya meninggal sehingga orangtuanya sendiri. Padahal hidupnya selama ini disokong anaknya. Ini ‘kan jatuh miskin langsung. Cepat dong dimasukkan.
Bagaimana persiapan integrasi sistem pendataan secara digital?
Kami berpikir ada harapan pada digital. NIK itu ibarat mata uang yang bisa dipakai di mana-mana. Membetulkan PBI, membetulkan bansos, membetulkan subsidi.
Untuk subsidi bensin dulu kami sudah mulai mau mengatakan begitu sebenarnya. Sekarang sudah mulai. Kalau mau beli melon setor KTP. Habis itu ketahuan bahwa tidak berhak karena tidak ada di DTKS. Jadi maksudnya DTKS senang benar karena utilisasinya yang penting sekarang. Kalau isu teknisnya sudah selesai sekarang dan berkoordinasi dengan semua.
Paling bagus itu waktu COVID-19, Peduli Lindungi, itu benar-benar data NIK plek pindah situ. Bisa tahu sudah vaksin apa belum. Kami mengatakan NIK itu produk unggulan Kementerian Dalam Negeri dan SIPD karena itu NIK bisa dipakai macam-macam.
Mengapa pada zaman COVID-19 dulu utilisasi NIK menjadi penting? Prakerja diluncurkan. Ini ‘kan buat yang belum bekerja dan yang mendaftar jangan orang yang sedang bekerja. Begitu pendaftarannya seabruk-abruk, kami cross NIK-nya ke BKN, akhirnya tumbang itu 100 ribuan ternyata PNS. Habis itu kami ke BPJS TK. Ternyata dia terdaftar. Berarti orangnya sedang bekerja dong.
Mungkin dulu estimasi 1 sampai 2 triliun itu salah kita kasih. Itu gara-gara ada NIK-nya.
Habis itu bantuan BPUM yang subsidi upah. Orang di bawah 5 juta tadinya, sekarang di bawah 3 juta dikasih tambahan upah. Kami cross ke Samsat. Punya mobil tidak? Kami cross ke BKN. NIK itu saya katakan ampuh.
Sebenarnya catatan medis di rumah sakit, Puskesmas, ketika berobat itu ‘kan tercatat karena berbasis NIK. Bila sebelumnya pernah dirontgen di rumah sakit lalu pindah rumah sakit lain maka tidak perlu dirontgen lagi. Kami baru mendorong NIK, catatan medis, dan elektronik.
NIK itu berarti penting sekali sehingga Stranas PK sangat mendorong optimalisasinya?
Iya kami menyebutnya utilisasi. Saya cerita NIK di Ditjen AHU. Di kasus Basarnas kami dengan cepat mengetahui sejumlah perusahaan yang menang itu pengendalinya cuma satu. Ini yang kita sebut beneficial owner. Itu tahu dari mana? Karena data NIK itu ada di AHU.
Sekarang saya lihat pengadaan nih. Kok ada perusahaan sudah lima tahun bidding terus tidak pernah menang tetapi tidak mati-mati. Ini pasti pendamping. Siapa juga pengurusnya? Kalau dicek itu dia lagi. Kalau di Stranas, kami menugaskan LKPP pasang instrumen namanya e-audit.
Terkait dengan langkah Stranas PK dalam pencegahan upaya pelanggaran penyusunan regulasi. Bagaimana upaya untuk meminimalisir suap dan jual beli pasal yang dalam beberapa kesempatan terjadi dan pernah diungkapkan oleh Pak Mahfud MD sendiri sebagai Menko Polhukam?
Kalau ini terkait KPK. Kami pada 2016 mengirim tim ke Korea. Kalau di Korea sebelum regulasi keluar itu harus mampir ke KPK Korea dulu untuk direview. Ada tidak peluang orang korupsi di sini, menguntungkan orang. Nah, itu namanya corruption risk assessment, CRA.
Tahun lalu kami mengirim lagi tim ke sana untuk mendalami dan sekarang jadi modul pelatihan buat seluruh biro hukum. Baru tujuh kami mulai. Waktu biro hukum baik membuat Perpres, Peraturan Menteri, atau apapun harus awas untuk empat unsur yang ada di corruption risk assessment. Salah satunya unsur kepatuhan.
Kadang-kadang itu dibuat tidak sengaja. Ini kadang-kadang. Tidak sengaja bikin pasal yang ujungnya jadi korupsi. Misalnya begini. Kepatuhan itu dibagi tiga. Satu, ongkos buat yang mau patuh itu mahal atau tidak? Misalnya buat surat perizinan harus menyampaikan copy macam-macam, di-upload, dilegalisir notaris. Ini ‘kan berat. Aslinya sudah ada masih minta legalisir? Akhirnya minta tolong, menyuap, gara-gara regulasi yang dibuat untuk yang mau patuh berat banget syaratnya.
Kedua, sanksi. Ini beneran. Undang-Undang Lalu Lintas coba lihat sanksinya. Melewati marka 250 ribu. Ini berat. Akhirnya orang kalau sudah kena tilang kasih 50 ribu karena sanksinya terlalu berat.
Ketiga, sanksinya terlalu ringan. Orang menjadi tidak peduli karena tidak ada sanksi. Dilarang tetapi tidak ada sanksi. Begitu tertangkap karena kena larangan lalu minta tolong.
Karena itu unsur-unsur kepatuhan ini di draf regulasi harus sudah dipikirkan. Orang kalau mau patuh, berat tidak syaratnya? Jangan berat-berat. Kalau berat nanti minta suap.
Sanksinya masuk di akal tidak? Jangan terlalu berat, kalau terlalu berat, orang akhirnya menyuap. Jangan juga bikin aturan yang tidak ada sanksi. Itu aspek kepatuhan. Tetapi saya ingat yang terakhir. Aspek yang namanya konflik kepentingan.
Ini termasuk penghilangan pasal zat adiktif di Undang-Undang Kesehatan?
Betul. Begitu ini maju ‘kan stake holder itu banyak. Harus bisa memetakan. Kalau ini keluar yang diuntungkan siapa?
Harusnya pembuat, waktu draf ini, tiap pasal itu diukur. Ini kayanya ada unsur konflik kepentingan nih. Artinya, ini dicegah di depan supaya tidak boleh ada regulasi yang secara sengaja menguntungkan kelompok tertentu.
Ini ‘kan bertujuan mengatur bukan menguntungkan. Sayangnya di kita instrumennya tidak ada. Jadi semua diharmonisasi segala macam sampai orang pikir kok bisa keluar regulasi ini? Ini regulasi yang paling gampang. Ini pengalaman KPK sendiri.
Ada peraturan pemerintah di lampirannya disebutkan begini, abu batubara, kalau teknisnya fly ash dan bottom ash. Kalau batubara dibakar, abunya terbang ke atas sama yang di bawah. Tiba-tiba di PP ini sejak 2015 di lampirannya disebut FABA, fly ash dan bottom ash, itu disebut B3.
Kalau B3 melanggar pengelolaannya dipidana. Akhirnya gara-gara PP ini dan lampirannya yang menyebut abu batubara itu sebagai B3 membuat PLN keluar Rp4 triliun setahun untuk mengelola itu. Karena ini B3 ‘kan?
Yang lebih parah lagi oknum suka main. Dia datang ke tumpukannya, dia ciduk air, kayanya air ini sudah lebih standarnya. Takut dipidana ‘kan? Jadi ini PP dan lampirannya membuka peluang. Satu, empat triliun keluar. Kedua, oknum memeras.
KPK bersurat. Bukan KPK saja, PLN bersurat ke KLHK tolong cabut dong ini. Akhirnya ini dicabut dari lampirannya bukan lagi B3. Seperti ini merupakan contoh bagaimana kalau mau bikin duit yang paling aman dan paling elegan lewat pengaturan.
Apakah modus yang bisa ditemukan contohnya seperti riwayat penghilangan pasal?
Itu sudah sering banget. Dari yang paling halus sampai yang paling kasar.
Menurut kami, instrumen ini harusnya wajib. Jadi setiap regulasi apa pun itu, mau Peraturan Menteri, mau Perpres, mau Undang-Undang, ada alat ukur standar. Itu yang kita sebut corruption risk assessment. Belajar dari Korea, jadi mengukurnya ada tidak yang diuntungkan kalau ada komponen konflik kepentingan. Terlalu berat tidak orang menjalani kepatuhannya?
Sekarang kita lagi latih biro hukum di tujuh Kementerian. Targetnya nanti sampai 85 di Pusat dan kalau di daerah 500. Biro hukum Pemda awas juga kalau membuat peraturan, jangan terlalu berat sanksinya.
Ini ada satu hal yang sudah disebutkan tadi di awal. Terkait launching SIPD jadinya Oktober ya?
Insya Allah. Tetapi kalau Pemda sih sudah ada. Sudah diberitahu harus pakai SIPD. Buktinya perencanaan sudah kelar. Empat step perencanaan sudah. Nanti Oktober ditunggu. Sambil kita lihat Pemda yang perencanaannya aneh-aneh dan yang bagus juga banyak.
Apa pesan dan harapan untuk pencegahan korupsi dan program pengentasan kemiskinan dan stunting di Indonesia?
Saya selalu mengatakan begini, pencegahan korupsi itu bukan tugas KPK saja. Semua itu punya peran mencegah. Masalahnya birokrasi ini kadang-kadang tidak memberi arena buat masyarakat berpartisipasi. Kaya SIPD ini memberi arena dengan semua bisa mengakses.
Bansos dengan dibuka Cek Bansos semua bisa mengakses. Nah, tugas birokrasi sebenarnya kalau mau mengatakan bahwa ini korupsi, kita lawan bersama, lalu bersamanya bagaimana? Ya itu lewat digital, ada arenanya, orang bisa masuk ke situ.
Regulasi ini harus kita awasi. Karena korupsi yang paling halus ‘kan disebut bahasanya state capture. Tetapi bagaimana saya mengawasinya? Makanya digital ini ada instrumennya silakan dibaca. Jadi harapannya mengundang partisipasi lebih terutama generasi yang muda ini.
Harapan pencegahan sebenarnya cuma dua. Satu, digital. Kedua, orang muda.
Orang seperti saya sudah susah. Agama saja sudah tidak mempan apalagi penyuluhan anti korupsi. Mending yang gen Z atau generasi 70 juta orang ini jangan ikut-ikut seperti generasi saya. Generasi saya ‘kan dari stapler bawa pulang zaman-zaman dulu.
Berarti mencegah korupsi harus dimulai dari diri sendiri?
Iyalah. Jangan ngomel saja. ***
Pewawancara: D.P. Sari & Ignatius Dwiana
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post