Jakarta, Prohealth.id — Berdasarkan laporan hasil survei tentang indeks gangguan industri tembakau pada 2023 di Indonesia menunjukkan Indonesia masih mencapai skor tinggi, yakni 84. Ini mengindikasikan tingginya campur tangan industri dalam kebijakan dan menunjukkan bahwa pemerintah masih berpihak kepada industri tembakau dengan mengorbankan kesehatan rakyatnya.
Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) Mouhamad Bigwanto menjelaskan, industri tembakau di Indonesia sangat terlibat dalam pembentukan kebijakan dan mendapatkan berbagai bentuk dukungan dari pemerintah. Hal ini membuat upaya untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia akan sulit tercapai.
“Karena masalah inti, yaitu campur tangan industri rokok dalam kebijakan, belum diatasi. Selain itu, muncul kekhawatiran tentang adanya interaksi yang tidak perlu di antara pejabat pemerintah dengan industri tembakau, serta kurangnya transparansi atas interaksi yang terjadi tersebut,” tegasnya dalam Press Briefing bertajuk Refleksi Hari Demokrasi Internasional dan Peluncuran Laporan Indeks Gangguan Industri Tembakau Tahun 2023 di Indonesia, yang diadakan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) dan Lentera Anak di Jakarta, Jumat (29/09/23) lalu.
Bigwanto menyebut 11 Kementerian termasuk Kementerian Kesehatan sangat ramah terhadap idustri rokok. Ia menjelaskna dalam temuan RUKKI, ada 11 Kementerian teridentifikasi sangat ramah terhadap indutri rokok menerima sumbangan dari indutri atau medukung kebijakan yang mendukung indutri, dukungan kepada industri mendukung rokok elektronik.
Bigwanto juga mengungkapkan sejak tahun 2015, sembilan negara ASEAN telah melakukan pemantauan dan membuat formula penghitungan seragam untuk mengukur indeks gangguan industri tembakau di masing-masing negara. Saat ini perhitungan indeks gangguan industri tembakau dilakukan oleh 90 negara di dunia.
Bigwanto menambahkan, hasil pantauan RUKKI menunjukkan dengan tegas bahwa campur tangan industri tembakau telah menjadikan komitmen pemerintah Indonesia sangat lemah dalam mengendalikan produk tembakau, khususnya, dalam upaya menekan pengaruh industri tembakau dalam pengambilan kebijakan terkait isu kesehatan.
“Hal Ini berdampak pada tidak optimalnya upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui pengendalian produk tembakau, karena kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak kepada industri,” kata dia.
Bigwanto juga mengatakan, Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index) bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat campur tangan industri tembakau dalam kebijakan pengendalian tembakau di suatu negara dan respon pemerintah terhadap campur tangan tersebut.
“Indeks mencakup tujuh area yang menggambarkan campur tangan industri tembakau dan di kembangkan pertama kali oleh Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA),” ucapnya.
Dikatakan Biwanto, di Indonesia pemantauan TII Index tahun 2023 dilakukan oleh RUKKI. “Skor pada TII Index tahun 2023 dihitung berdasarkan data yang diambil selama 2 tahun terakhir (April 2021 hingga Maret 2023),” jelasnya
Hasil pemantauan oleh RUKKI semakin mengukuhkan posisi Indonesia yang selama lima tahun terakhir selalu menempati urutan tertinggi dari sembilan negara Asia Tenggara. Skor 84 pernah diperoleh Indonesia pada 2015, lalu berturut-turut meraih skor 81 pada 2016, 79 pada tahun 2017, skor 75 tahun 2018, skor 82 pada tahun 2019, dan skor 83 tahun 2020.
“Ini mencerminkan betapa mesranya hubungan pemerintah Indonesia dengan industri tembakau,” lanjut Bigwanto.
Karenanya, Bigwanto meminta sejumlah pihak mendorong Pemerintah Indonesia lebih proaktif melindungi kesehatan masyarakat dengan mengambil langkah tegas mengurangi campur tangan industri tembakau, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan.
“Diantaranya dengan melarang donasi dari industri tembakau, melarang perwakilan industri tembakau menjadi pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, dan membatasi akses industri tembakau kepada para pengambil kebijakan,” tukasnya.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, sependapat dengan temuan RUKKI bahwa campur tangan industri tembakau di Indonesia bukan hanya masalah kesehatan, namun juga masalah tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi, dan bebas dari konflik kepentingan dengan industri.
Agus menggarisbawahi, tingginya skor indeks gangguan industri tembakau tahun 2023 di Indonesia menegaskan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat.
“Keberpihakan pemerintah terhadap industri tembakau telah mencederai komitmen pemerintah dalam menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance, karena good governance menuntut keberpihakan pemerintah pada kepentingan masyarakat luas, bukan pada segelintir pihak tertentu saja seperti industri tembakau,” tegas Agus.
Agus meyakini bahwa campur tangan industri tembakau untuk mempengaruhi kebijakan di Indonesia menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa. Tidak adanya kebijakan yang kuat untuk melindungi anak dari rokok menjadi tantangan berat bagi Indonesia dalam mewujudkan SDM unggul dan berdaya saing.
“Padahal seharusnya target penurunan prevalensi perokok usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada 2024 bisa menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan SDM di dalam RPJMN 2020-2024,” tambah Agus.
“Tapi apalah daya, ia menengarai campur tangan industri tembakau sudah begitu kuat mencengkeram dalam mempengaruhi kebijakan di Indonesia,” cetus Agus.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, menegaskan bahwa campur tangan industri tembakau untuk mempengaruhi kebijakan di Indonesia sangat terlihat dalam upaya penyusunan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau tahun 2023-2027.
“Sejumlah organisasi masyarakat sipil sejak tahun 2022 sudah menolak tegas penyusunan Rancangan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau di Indonesia,” ungkapnya.
Selain rancangan Perpres tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau, dikatakan Lisda, sangat bertentangan dengan regulasi yang sudah ada, juga mencerminkan adanya konflik antara dua kepentingan yang tidak mungkin dipertemukan (unreconciled of interests).
“Dimana kedua kepentingan tersebut adalah kepentingan industri tembakau yang ingin meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau, dengan kepentingan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya menurunkan prevalensi konsumsi produk tembakau,” jelas Lisda.
Lisda menambahkan, peningkatan prevalensi perokok anak adalah bukti lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia, karena intervensi industri tembakau dalam proses penyusunan kebijakan pengendalian tembakau selalu melemahkan regulasi tersebut.
Dari perspektif hukum, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengatakan seharusnya pemerintah melaksanakan kewajiban konstitusional berdasarkan mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yakni pemenuhan Hak atas Kesehatan.
“Menegasikan derajat kesehatan masyarakatnya dengan menomorsatukan kepentingan cuan atas nama investasi dan kepentingan ekonomi adalah pelanggaran konstitusi,” kata katanya.
Julius juga menekankan, gangguan terhadap upaya pengendalian tembakau berkaitan dengan kebijakan, materi kebijakan, pengambilan keputusan dan pengutamaan HAM.
“Saya ingin menegaskan memperkuat seharusnya bukan mengutamakan, diksinya harus sebuah kewajiban, tidak boleh ada tawar menawar, karena ini berkaitan hidup mati seseorang, riset RUKKI relevan memang sesuai dengan yang terjadi di Indonesia,” ungkap dia.
Julius mengingatkan, kepentingan investasi dan ekonomi harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab atas pelindungan kesehatan masyarakat, makanya pemerintah harus berkomitmen untuk membuat kebijakan dan regulasi yang kuat.
“Pemerintah harus segera mengadopsi kode etik yang mengatur interaksi dengan industri tembakau dan kelompok-kelompok yang mewakili kepentingan mereka,” tambah Julius.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menambahkan, regulasi yang kuat dan tegas sangat dibutuhkan, khususnya untuk memberikan perlindungan kepada anak dari dampak rokok dan dari target pemasaran industri rokok. “Jika tidak ada campur tangan industri rokok dalam pembuatan kebijakan, kita optimis target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 tercapai, karena regulasi akan kokoh membentengi anak dari berbagai faktor yang mempengaruhinya untuk menjadi perokok pemula. Salah satunya dari paparan iklan, promosi dan sponsor rokok yang masif,” tukasnya.
“Semua pihak, khususnya pemerintah dan legislatif, berkomitmen untuk menolak segala bentuk campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan di Indonesia,” ungkap Jasra.
Intervensi industri tembakau yang agresif diakui Program Director IISD, Ahmad Fanani, telah meruntuhkan prinsip rasionalitas yang menjadi prinsip dasar demokrasi.
“Daya hancur intervensi industri tembakau bukan hanya di sektor kesehatan masyarakat, tapi lebih dari itu juga merusak demokrasi,” ungkapnya.
Ia mengingatkan, dalam RPJPN 2025-2045 telah menegaskan pentingnya penekanan konsumsi produk tembakau dalam kebijakan pembangunan kesehatan. Idealnya kebijakan itu didasarkan pada pertimbangan kesehatan, bukan pada ekonomi.
“Tapi sekarang logikanya dibalik, justru kesehatan yang mengikuti ekonomi. Karena itu, pemerintah seharusnya tidak memberikan karpet merah kepada industri tembakau,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post