Jakarta, Prohealth.id – Berdasarkan Profil Statistik Kesehatan 2021, sebesar 24,68 persen anak-anak tergolong rentan mempunyai keluhan kesehatan dan mengakibatkan terganggunya kegiatan sehari-hari. sebanyak 73,3 persen pria usia produktif yakni 25-40 tahun adalah perokok aktif, hanya 2 dari 10 pria muda di republik ini yang bukan pecandu rokok.
Program Director IISD Ahmad Fanani, menilai kondisi banyak disebabkan oleh masifnya iklan rokok. Sementara, iklan rokok bertentangan dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat agar terwujud derajat kesehatan setinggi-tingginya.
“Iklan rokok nyata-nyata merusak kesadaran, menciutkan kemauan, dan melemahkan kemampuan hidup sehat, hambatan bagi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dengan demikian, iklan rokok sejatinya merupakan ancaman bagi terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan,” tegasnya melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id, Kamis (12/10/2023).
Di tengah hasrat mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, Indonesia harus menelan kenyataan pahit sebagian pemuda cenderung memiliki perilaku berisiko yang berakibat pada terjadinya cedera, penyakit, dan kurangnya produktivitas.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 mentargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen, namun berbagai data mengindikasikan target tersebut tampak jauh dari tercapai. Survei nasional Indonesia Institute for Social Development (IISD) yang dilakukan pada akhir 2022 mendapati 10,67 persen mengaku sebagai perokok aktif.
Berbagai evidensi menunjukkan iklan adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi anak muda merokok. Dalam studi IISD pada tahun 2022, 71 persen perokok pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif/inspiratif, merangsang mereka untuk merokok.
“Kegagalan pencapaian target prevalensi perokok anak terang lantaran pemerintah tidak merealisasikan rekomendasi RPJMN sebagaimana termaktub dalam Arah Kebijakan 3.4 yang mengamanahkan pelarangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok,” tegas Fanani.
Ia melanjutkan bahwa proses legislasi Rancangan Peraturan Pemerintah pelaksana UU Kesehatan yang tengah disusun Kemenkes merupakan momentum emas bagi pemerintah untuk menebus kegagalan tersebut dengan menetapkan larangan Iklan, Promosi, dan Sponsor rokok.
Praktek Baik Berbagai Negara
Fanani menjelaskan, pengadopsian pelarangan total iklan rokok adalah langkah yang signifikan dalam upaya global untuk mengurangi prevalensi merokok dan dampak negatifnya terhadap kesehatan masyarakat.
Beberapa negara telah mengimplementasikan pelarangan total iklan rokok sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi konsumsi tembakau dan dampak buruknya terhadap kesehatan masyarakat.
Sebagai contoh, Prancis memiliki kebijakan pelarangan total iklan rokok sejak tahun 1991. Mereka melarang iklan rokok di media cetak, televisi, radio, dan internet. Prancis juga telah melarang merk dan logo rokok di toko-toko.
Di kawasan Asia Tenggara, Thailand mulai menerapkan pelarangan total iklan rokok pada tahun 1992. Mereka melarang iklan rokok di media, stasiun radio, televisi, dan iklan di tempat umum.
Sementara Indonesia, dengan lemahnya regulasi pada pelarangan iklan dan promosi serta sponsor rokok, menunjukkan prevalensi perokok aktif paling tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara dan G20.
Fanani mengingatkan, saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara di antara anggota Asia Tenggara dan G20 yang belum melarang total iklan dan promosi serta sponsor rokok, menempati angka prevalensi perokok aktif tertinggi sebesar 28,9 persen.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post