Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2018, prevalensi perokok anak berusia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari angka 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Angka ini dua kali lebih tinggi dibandingkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, yaitu 5,4 persen.
Angka ini memiliki efek panjang yakni berpotensi memicu stunting pada anak-anak, hingga meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti jantung koroner dan kanker paru-paru secara umum.
Kondisi gempuran penggunaan rokok tak lepas dari iklan, sponsor, dan promosi rokok sangat mudah diakses oleh masyarakat, termasuk anak melalui berbagai platform. Sebanyak 65,2 persen masyarakat bisa melihat iklan promosi rokok di tempat-tempat penjualan; 56,8 persen melalui televisi, video, dan film; 60,9 persen media luar ruangan; dan 36,2 persen melalui internet atau media sosial. Hal ini pun menjadi salah satu faktor meningkatnya penggunaan rokok oleh anak.
Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tak lelah mendorong upaya perlindungan anak dari bahaya asap rokok. Hal ini mengingat rokok tidak hanya membawa efek negatif bagi kesehatan, tetapi penggunaan rokok oleh anak juga berdampak pada pembangunan sosial ekonomi sehingga menghambat tujuan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045.
Maka di tengah proses penggodokan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan pasca pengesahan UU Kesehatan 2023 ini, Kemen PPPA ikut terlibat mendorong jaminan hak perlindungan dan kesehatan anak dari bahaya rokok. Untuk mengetahui lebih dalam dinamika Kemen PPPA dengan Kementerian Kesehatan dan instansi lain dalam penyusunan RPP Kesehatan, tim Prohealth.id berkesempatan mewawancarai secara eksklusif Rini Handayani selaku Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA. Berikut kutipan langsung wawancara yang berlangsung pada 13 Oktober 2023 lalu melalui Zoom.
Apa langkah dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menekan prevalensi perokok anak?
Ini [penurunan prevalensi perokok anak] sudah disuarakan sampai di level Asia Tenggara. Ini memang mengkawatirkan kita semua, karena perokok anak akan mencoreng hak anak, bahkan mencoreng hak hidup.
Darimana saja sumber pengaruh negatif pada rokok itu?
Pengaruh pada kesehatan itu luar biasa. Karena 3 dari 5 pelajar, terpapar [rokok] dari iklan rokok di TV, lalu di tempat penjualan dan lain. Dari hasil survei memang 70 juta dari jumlah perokok dari total keseluruhan rakyat Indonesia, 383 juta rakyat belanja rokok, 25-9 juta itu perokok anak dari data GATS [Global Adult Tobacco Survey dari WHO tahun 2021].
Apa saja panduan regulasi dan kebijakan untuk menekan prevalensi perokok anak?
Ada di dalam RPJMN melalaui perpres 2020. Target dari RPJM yang harus dilakukan oleh mitra kementeran lembaga, tentu banyak kementerian lembaga mendukung pertumbuhan anak.
Dalam kebijakan ini, apa saja target KemenPPPA?
Anak itu adalah peniru ulung, jadi kita harus menguatkan strategi, menguatkan strategi keluarga mulai dari pembentukan desa ramah perempuan, peduli anak, menguatkan keluarga termasuk pedagang rokok tidak menjual rokok kepada anak. Orang tua juga tidak boleh meminta anaknya untuk membeli rokok. Kalau anak diminta membeli rokok, anak akan mencium baunya dia akan mencoba. Anak akan ingin tahu untuk merokok karena anak ini adalah korban.
Untuk mencapai target RPJMN, Kemen PPA sudah mebuat Forum Anak berperan sebagai pelopor dan pelapor melalui kaum muda berkampanye menjalankan perannya sebagai row model. Dengan masuk melalui anak-anak dianggap berperan baik melalui pendidikan dan lingkungan mereka melalui satuan pendidikan yaitu melalui satuan pendidikan layak anak. Upaya Kemen PPA sesuai dengan UU 35 tahun 2016 pasal 36, dimana pemerintah membuat kabupaten/kota layak anak, melalui IPS rokok ini.
Terkait rokok ketengan guna membangun sinergi dengan kementerian lain, bisakah ada SKB bersama untuk menjauhkan anak dari upaya akses rokok termasuk misalnya intervensi ke sekolah melalui kurikulum?
Ini harus dilakukan tidak bisa KemenPPA sendiri. Kami ada forum komunikasi, kebijakan Kota Layak Anak (KLA) ini yang kami dorong ada gugus tugas KLA, ada Kemendagri, Kemdag, Kemenkes, dan Kemenag. Ada rencana aksi perluasan KTR termasuk rokok elektrik, dengan Kemendag kami menyusun beberapa catatan termasuk dalam Revisi UU kesehatan, menaikkan usia perokok anak, dimana baru boleh merokok di usia 21 tahun, tidak hanya 18 tahun, kita mendorong boleh mengakses rokok usia 21 tahun.
Kalau untuk aturan di sektor perdagangan tadi, seperti apa?
Jadi di Kemendag, ranahnya regulasi yang dikeluarkan tidak boleh tidak boleh menjual rokok kepada anak. Kami dari PPA dengan menguatkan peran keluarga melalui Desa Layak Perempuan dan Anak, ini akan membuat anak tidak mudah membeli rokok. Kami juga mendorong Perda KTR, kalau di tingkat sinergi sudah dilakukan belum dalam bentuk MOU, tetapi kami men-deliver Perpres 25 dengan tanggung jawab untuk menciptakan model dari tingkat bawah.
Adakah rencana mau MoU?
Kemarin sudah membahas terkait semua berpihak, sebenarnya anak tidak bisa mengakses rokok. Kalau untuk menutup pabrik rokok, ini masih panjang, berapa anggaan kesehatan yang habis untuk pemulihan anak kita itu yang sedang kami diskusikan.
Apa regulasi yang dibuat PPA dalam promosi rokok?
Kami sebagai kementerian yang diberikan mandat ini menerjemahkan UU 35 tahun 2014 pasal 26, dimana pemerintah daerah dalam perlindungan anak melalui KLA, menerjemahkan mandat tersebut sesuai Pasal 26 Ayat 4 huruf E dilakukan mewujudkan KLA maka harus disusun Perpres, ada indikator terkait rokok dan iklan rokok, melalui itulah regulasi yang disusun, meterjemahkan secara
UU Kementerian PPPA No 22, kami membuat materi edukasi terhadap bahaya rokok, untuk anak. Lalu juga bersama dengan mitra, juga teman-teman yang lainnya, inilah edukasi lain harus bisa diterjemahkan, bagaimana kebijakan itu tereksekusi dengan baik.
Kalau terkait regulasi iklan, sponsor, rokok di media sosial yang diakses anak-anak, itu masih ada kekosongan aturan. Bagaimana Kemen PPPA menyikapi hal ini?
Ya, regulasi ini bisa meng-cover, regulasi di media sosial kami bicara dengan Pak Agus [Stafsus Kemen PPPA] soal promosi di media sosial ini ada kekosongan hukum. Maka betul sekali kami juga sudah memerhatikan iklan rokok di media sudah di malam hari. Kalau dari KLA belum ada yang mengatur ketegori itu. Ya saat iklan di media sosial, iklan rokok dengan melihat hebat dan luar biasa, bisa memanja terbing dan lainnya, kami melihat anak di medsos, maka kami berkomunikasi dengan Kominfo untuk bagaimana kami juga melaporkan iklan yang ada di medsos yang melanggar hak anak. Kami berproses dengan Kominfo dengan MoU [Memorandum of Understanding], salah satu rencana aksi untuk melarang iklan rokok, sehingga berdampak terhadap penurunan prevalansi rokok anak
Kapan MoU tersebut dilakukan?
Ibu Menteri PPPA mengingatkan kami semua, jangan hanya kerja sama nanti hasilnya apa. Maka kami membahas bagaimana selanjutnya, kalau IPS rokok di media ini, di jam berapa, ini sedang dibahas. Kami juga selalu dilibatkan dalam UU Kesehatan, untuk menerjemahkan aturan rokok ini. Jadi ya doakan, tentu dengan dorongan para jurnalis bagaimana pelarangan IPS rokok disahkan
Untuk memperkuat kebijakan penanganan rokok pada anak, tentu ada aturan pelaksananya. Nah, apakah PPPA dilibatkan dalam RPP Kesehatan itu apa saja yang dilakukan PPA?
Kami dilibatkan dalam penyusunan RPP, kami mengawal perubahan signifikan dalam RPP untuk mengatasi rokok elektrik dan nikotin jenis baru. Ada beberapa hal yang dilakukan untuk berkontribusi, pelarangan Iklan IPS rokok. Kalau kita lihat rokok ini produk yang tidak normal yang berbahaya karena ini menyebabkan kanker, tentu kami mengawal ini bagaimana bisa iklan zat adiktif. Kami mendorong RPP ini, membatasi usia perokok, jadi usulan kami akan menentukan turunan dari UU kesehatan.
Itu konteks ideal, tetapi kenyataannya dalam penurunan prevalansi akan berbenturan dengan kementerian yang diuntungkan dengan industri rokok. Ini akan berpengaruh dengan penerimaan negara, bahwa dampak lebih besar adalah peningkatan dari kualitas anak, sehingga RPJMN bisa terwujud. Nah, bagaimana Kemen PPPA bisa meyakinkan kementerian lain?
Ini tantangan, ini beberapa hal. Kemenkes sudah punya riset, berapa sih uang yang diterima negara dan pengeluaran negara untuk mengobati rakyatnya akibat rokok, ini sudah clear. Kalau dari sisi penerimaan negara berapa sih hitungannya? Di lintas kementerian, ini tidak bisa seperti mebalikkan telapak tangan karena terus kita adovkasi.
Ada derajat kesehatan untuk anak, PP 109 tentang zat adiktif, memang banyaknya iklan, tapi yang tidak bisa kami take down. Sama seperti isu kekerasan, kalau narkoba kalau kecaduan ada lembaganya, tetapi kalau kecanduan rokok tidak ada lembaganya. Bagaimana merubah pola pikir, ini loh penghasilan bertambah karena iklan rokok. Maka melalui RPP ini bisa kami terjemahkan.
Dalam dinamika RPP akan ada pro-kontra tentang iklan dan rokok ketengan. Dalam mandat dari UU 35/2023 bahwa satu tahun setelah di sahkan harus diterapkan. Apakah ini masih realistis di tengah perbedaan padangan antar kementerian, padahal ini mandat UU?
Itu menjadi tantangan, namun saya optimis. Kalau lihat data dan fakta bagaimana dampak dengan kementerian lain. Ini ada batasan setelah satu tahun baru bisa dilaksanakan. Masih ada terkait dengan iklan, penghasilan negara berkurang. Sebenarnya bisa kita lakukan dengan pembatasan, bagaiman IPS itu yang dilihat dan ditiru anak, sementara ini tidak mudah diakses anak, tapi di medsos akan mudah diakses ana. Maka nanti Kominfo bisa ikut membatasi.
Jadi sikap tegas Kementerian PPPA memperjuangkan hak anak, di sisi lain direcoki yang pro terhadap ekonomi?
Betul, selama ini pada saat diskuki teman-teman dari kementerian/lembaga memang ada pembicaraan yang hangat. Namun didorong mitra pembangunan, [ini] mengapa saya optimis, karena Indonesia punya wadah partisipasi anak dan UU menjamin suara anak. Dalam suara anak Indonesia dikumpulkan, tidak ada yang menyatakan iklan rokok mereka terus menyuarakan selama 5 tahun, menggali suara anak mereka sepakat meminta pemerintah melindungi mereka dari rokok dan asap rokok.
Kemarin saat Hari Anak Nasional (HAN) dibacakan di depan bapak Wapres, bapak Wapres meminta Kota/kabupaten untuk mengakomodir dan menindaklanjuti suara anak. Jadi Presiden harus melindungi anak dari rokok dan asap rokok. Kami menindaklanjuti ke bupati walikota, tentu arahan dari Wapres diteruskan, bagaimana menerjemahkan suara anak. Kita mulai mengedukasi anak Indonesia, forum anak ASEAN juga mengatakan suara yang sama untuk melindungi anak dari rokok. Ini secercah harapan bisa diakomodir dibicarakan di tingkat nasional. Ini membuat hal positif di PPPA mendorong dan mengingatkan di level kementerian/lembaga yang memang terkait.
Apa masukan Kemen PPPA ke Kemenkes terkait RPP Kesehatan?
Ada beberapa yang kami masukan. Kami sudah mempersiapkan batas penjualan dari 18 ke 21 tahun, walau usia 21 tahun bukan usia anak. Perkembangan otak anak, batasan usia ini bisa didorong untuk dimasukkan. Lalu memperjuangkan larangan rokok ketengan, CSR perusahaan rokok tidak bisa digunakan anak. Lalu penetapan kebijakan KTR, produk tembakau, mengingatkan pelarangan IPS penjualan rokok.
Ada juga yang sifatnya memperkuat peran. Dalam hal ini memperkuat PPPA dengan Kemendagri menetapkan kabupaten/kota memenuhui indikator 17, perpres sudah ada, harus terus kami dorong, melalui KLA, PP akan dimasukan terkait perlindungan anak dan IPS rokok.
Lantas bagaimana sikap Kemen PPPA tentang CSR rokok yang mengeluarkan beasiswa di kampus? Apakah Kemen PPA mendorong regulasi di lembaga pendidikan?
PPPA akan fokus tetap mengacu UU Perlindungan Anak, yang mana masih mengacu usia anak adalah dibawah 18 tahun. Lalu bahwa anak lebih dari 21 tahun, sesuai UU Perkawinan Anak, tidak boleh menikah di bawah usia 18 tahun, tetapi UU Perkawinan perubahan yang baru UU Perkawinan saat ini boleh menikah diatas usia 19 tahun.
Pewawancara: Irsyan Hasyim & D.P. Sari
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post