Jakarta, Prohealth.id – Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bisa berkontribusi dalam pencegahan penularan HIV. Pernyataan ini disampaikan Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani.
“Salah satu tujuan yang kami anggap bisa berkontribusi pada upaya pencegahan penularan HIV adalah UU TPKS itu ‘kan bunyinya tidak hanya untuk kelompok perempuan. Tetapi semua orang yang mendapatkan tindak pidana kekerasan seksual itu bisa mendapatkan perlindungan dan penanganan sesuai dengan kebutuhan korban,” ucapnya di Jakarta pada Kamis, 23 November 2023 lalu.
Dia melanjutkan bahwa hal ini penting karena kekerasan seksual berkontribusi dan menjadi pintu masuk pada penularan HIV. Dengan UU TPKS yang hukumnya jelas maka penanganannya bisa secara langsung diintegrasikan dengan kebutuhan lainnya. Misalnya pemeriksaan kesehatan, khususnya HIV, nantinya otomatis hadir pada kasus kekerasan seksual.
UU TPKS menjadi pedoman dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual pasca disahkan pada 9 Mei 2022 mulai dari proses pelaporan, penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan. Untuk memastikan UU TPKS ini implementatif dan sesuai kebutuhan pemenuhan hak korban maka dibutuhkan penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS segera.
Sedangkan Forum Pengada Layanan (FPL) terkait hal tersebut sangat mengapresiasi kerja keras pemerintah yang telah melakukan pembahasan penyusunan peraturan pelaksana UU TPKS sejak awal 2023. Pemerintah telah memutuskan hanya tujuh peraturan pelaksana UU TPKS yang akan disusun dari sepuluh peraturan yang disebutkan dalam UU TPKS. Tujuh peraturan pelaksana itu antara lain tiga Peraturan Pemerintah dan empat Peraturan Presiden.
Jaringan lembaga layanan untuk perempuan korban kekerasan yang beranggotakan 74 lembaga di 32 Provinsi di Indonesia ini merupakan salah satu bagian dari masyarakat sipil yang turut serta dalam melakukan advokasi lahirnya UU TPKS.
Namun FPL di siaran persnya mencemaskan peraturan pelaksana tersebut tidak mampu menjawab masalah penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan. Oleh karena itu FPL melakukan beraudiensi kepada pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA) untuk membuka ruang dialog dan melibatkan lembaga layanan berbasis masyarakat dalam proses pembahasan peraturan pelaksana UU TPKS sesuai dengan Pasal 85 Ayat (1) tentang keterlibatan masyarakat dalam Pencegahan, Pendampingan, Pemulihan, dan Pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ruang dialog ini memberikan kesempatan FPL untuk menyampaikan pandangan terkait implementasi UU TPKS. FPL telah menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan bahan lobi yang disusun melalui serangkaian diskusi, refleksi, dan kajian berdasar pengalaman pendampingan kasus. Dokumen-dokumen tersebut telah disampaikan pada saat audiensi ke sejumlah kementerian dan lembaga. Tetapi belum satupun peraturan pelaksana yang diterbitkan oleh pemerintah sampai pada 22 November 2023. Sementara di lapangan UU TPKS telah digunakan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Beberapa permasalahan mengemuka dalam penerapan UU TPKS ketika peraturan pelaksana belum disusun. Korban mengalami reviktimisasi, stigma, dan bahkan laporannya ditolak dalam satu kasus yang didampingi LBH Apik Jakarta.
Ini tidak sesuai dengan semangat awal penyusunan UU TPKS yaitu menjamin akses keadilan bagi korban. Sementara substansi UU TPKS masih belum dipahami Aparat Penegak Hukum (APH) dan belum ada perspektif keberpihakan pada korban. Selain itu dari 10 peraturan pelaksana dalam UU TPKS menjadi 7 peraturan menimbulkan kekhawatiran akan penyederhanaan proses implementasi UU TPKS.
FPL saat ini sedang melakukan advokasi dua peraturan pelaksana UU TPKS. Yaitu Rancangan Peraturan Presiden tentang Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (Ran PerPres UPTD PPA) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4P).
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post