Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 Dubai, Uni Emirat Arab pada Jumat, 1 Desember 2023. Jokowi menyebutkan Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Selain itu Presiden Jokowi juga mengklaim berbagai keberhasilan Indonesia mulai dari pengurangan emisi sebesar 42 persen, pengurangan angka deforestasi, transisi energi, hingga transisi ekonomi berkelanjutan.
Merespon isi pidato tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar menyatakan, dalam satu dekade terakhir, Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung negosiasi substansial dalam Conference of the Parties (COP) UNFCCC. Sejumlah langkah dan kebijakan monumental pun tercipta. Sebut saja misalnya; Rencana Operasional Forest and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030, panduan untuk aksi iklim praktis di Indonesia, yang merupakan hasil diskusi pada COP26 di Glasgow dua tahun lalu. Pada COP28, kata Siti, prioritas pemerintah adalah untuk menyoroti hasil-hasil utama dari aksi-aksi iklim yang kita lakukan, terutama dalam memastikan target-target iklim FOLU Net Sink 2030 Indonesia tetap berjalan sesuai rencana.
“Sehingga kita dapat mempertahankan kendali dan memainkan peran yang menentukan dalam mencapai tujuan kita, yaitu peningkatan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat,” kata Siti pada Pembukaan Paviliun Indonesia di COP28, Dubai, UEA, Kamis (30/11/2023) lalu.
Siti juga menyampaikan hasil-hasil penting dari aksi-aksi perubahan iklim yang sedang diakukan Indonesia adalah di bawah kepemimpinan kuat dari Presiden Jokowi dengan program Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Target iklim FOLU Net Sink 2030 yang diluncurkan pada COP26, merupakan komitmen dan implementasi iklim dengan dasar hukum yang kuat. Regulasi tersebut ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada bulan Oktober 2021.
“Target FOLU Net Sink 2030 ini lebih dari sekadar janji yang dibuat di atas kertas. Kita secara konsisten telah menunjukkannya melalui tindakan nyata di lapangan,” ujar Siti.
Siti juga menyebut, Indonesia telah berhasil mengurangi deforestasi lebih banyak dibandingkan negara lain dalam beberapa tahun terakhir, dan tetap teguh dalam memastikan sektor FOLU berkontribusi terhadap pengurangan emisi Indonesia sebesar 60 persen.
Ia juga menyebut peristiwa El Nino tahun ini, Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dalam bidang pengendalian perubahan iklim, yaitu dengan hanya 16 persen dari total kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh kebakaran gambut, serta tidak menimbulkan kabut asap lintas batas.
“Pencapaian-pencapaian ini tidak terjadi secara autopilot, namun merupakan hasil dari tindakan nyata terhadap perubahan iklim di lapangan, termasuk keberhasilan dalam menghindari kebakaran besar selama pandemi global COVID-19,” kata Siti.
Kemudian Siti pun berujar bahwa memastikan target iklim FOLU Net Sink 2030 tetap sesuai rencana sama artinya dengan melindungi spesies utama dan habitatnya. Ia juga dengan upaya restorasi gambut berbasis masyarakat dan rehabilitasi mangrove, yang mencakup jutaan hektar lahan.
Lebih lanjut, Siti mengatakan kepemimpinan iklim oleh Presiden Jokowi merupakan bagian integral dari warisan beliau, hal ini disebutnya terlihat jelas dalam pembentukan sistem tata kelola karbon berbasis hukum, yang memprioritaskan pencapaian target Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia.
“Hasil-hasil penting dalam bidang iklim tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan Presiden Jokowi dalam bidang iklim didasarkan pada kepemimpinan yang memberi contoh—bukan sekadar klaim, janji, atau komitmen di atas kertas,” tegas Siti.
Kepemimpinan ini diklaim menguat karena Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Norwegia Jonas Gahr Støre di sela-sela kegiatan World Climate Action Summit (WCAS) COP28. Pertemuan dua kepala negara membahas sejumlah isu diantaranya kerja sama lingkungan hidup antara Indonesia dan Norwegia.
Asal tahu saja, pada Oktober tahun lalu, Norwegia telah memberikan kontribusinya sebesar USD56 juta terhadap kinerja penurunan deforestasi Indonesia untuk periode 2016/17 melalui BPDLH. Di COP28 ini, PM Støre mengumumkan lanjutan dari kontribusi Norwegia tersebut sebesar USD100 juta untuk kinerja penurunan deforestasi untuk periode 2017/18 dan 2018/19.
Selain itu, Presiden Jokowi dan PM Støre juga membahas terkait kerja sama investasi kedua negara. Harapannya Norwegia dapat merealisasikan komitmen JETP secepatnya dan meningkatkan investasi dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara sebagai kota pintar berbasis hutan.
Kritik Keras untuk Jokowi
WALHI menilai klaim-klaim keberhasilan dalam pidato Presiden Jokowi tersebut dilebih-lebihkan dan kontradiktif dengan kebijakan dan aksi iklim yang sedang dijalankan pemerintah.
Melalui pernyataan resmi yang diterima Prohealth.id, Senin (4/12/2023), ontradiksi itu terlihat dalam berbagai hal. Pertama, target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat tidak akan pernah terwujud dengan model ekonomi ekstraktif tinggi emisi yang selama ini dijalankan sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Fakta menunjukkan bahwa model ekonomi ekstraktif telah menyebabkan krisis iklim, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat. Model ekonomi ekstraktif seperti hilirisasi pertambangan nikel masih akan dilanjutkan negara seperti terllihat dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Model ekonomi ekstraktif ini membuat target NZE pada 2060 atau lebih cepat nampak seperti mimpi di siang bolong.
Selama dua puluh tahun terakhir, emisi sektor energi di Indonesia telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar ke-sembilan di dunia. Ekstraksi pertambangan nikel juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektar dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.
Kontradiksi kedua, keberhasilan penurunan emisi sebesar 42 persen pada tahun 2020-2022 dibandingkan BAU tahun 2015 adalah manipulasi angka melaui teknik cherry picking. Emisi pada tahun 2015 adalah emisi tertinggi pada rentang periode tahun 2000-2020. Laporan IGRK (Inventarisasi Gas Rumah Kaca) KLHK sendiri menyebut emisi pada 2015 mencapai 2.339.650 Gigaton CO2e. Emisi tertinggi bersumber dari kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem gambut. Pada tahun-tahun berikutnya kecuali tahun 2019, emisi berkisar pada angka dibawah 1.5 juta Gigaton CO2e. Harusnya klaim pengurangan emisi didasarkan pada BAU tahun tanpa kebakaran hutan dan lahan terutama di ekosistem gambut. Pada 2020-2022 juga masuk dalam tahun pandemi yang menurunkan cukup signifikan emisi di beberapa sektor. Angka keberhasilan penurunan emisi yang harusnya dicapai pemerintah sesuai dengan dokumen NDC sebesar 31 persen (BAU) dan 43 persen dengan dukungan internasional dalam jumlah emisi tahunan harus menjadi 890.000 gigaton CO2e dan 741.000 gigaton CO2e.
Kontradiksi ketiga, pidato Jokowi mengenai agenda mengurangi kemiskinan dan ketimpangan takkan terwujud pada tahun 2060 jika tetap mempertahankan eksploitasi sumber daya alam sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam rancangan akhir RPJPN 2025-2045 sebesar 6-7 persen malah akan melanggengkan kemiskinan masyarakat Indonesia. Pasalnya, beragam kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia justru memperburuk kehidupan masyarakat, terutama kehidupan kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, masyarakat adat dan lainnya.
Kemiskinan nelayan desa-desa pesisir di Indonesia menggambarkan hal tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada tahun 2022 mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa (data September 2022 adalah 26,16 juta jiwa), kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia. Pada masa yang akan datang, situasi ini akan semakin memburuk akibat krisis iklim.
Penelitian Litbang Kompas (2023) menyebut, pada tahun 2030 jumlah nelayan (dan juga petani) sebanyak 926.492 orang akan meninggalkan pekerjaannya saat ini akibat krisis iklim maupun proyek-proyek iklim. Angka ini merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Indonesia sebagai negara bahari sekaligus kepulauan terbesar di dunia.
Dua klaim presiden Jokowi yang disampaikan tentang transisi energi yakni mempercepat penggunaan energi terbarukan dan menurunkan penggunaan batubara adalah klaim yang tidak menginjak realita mengingat bauran energi terbarukan di Indonesia masih tidak beranjak dari angka 12 persen, yang mana masih jauh dari target pemerintah sendiri untuk mencapai bauran 23 persen pada 2025, apalagi jika untuk selaras dengan target iklim 1,5 derajat Celcius sesuai Perjanjian Paris sebagaimana sudah diskenariokan Badan Energi Internasional (IEA) misalnya, bahwa bauran energi terbarukan Indonesia harusnya mencapai 60 persen pada 2030.
Klaim penurunan penggunaan batubara di Indonesia juga bertolak belakang dengan kenyataan bahwa Kementerian ESDM sendiri menyebut kontrak panjang penggunaan batu bara dengan PLTU baru akan mencapai puncaknya hingga tahun 2035.
Permen ESDM No 9/2023 justru mentargetkan produksi batu bara akan terus digenjot tiap tahunnya (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton) sementara untuk kebutuhan batu bara domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) juga ditargetkan akan terus mengalami kenaikan. Misalnya pada 2021 sebanyak 168 juta ton; tahun 2022 sebanyak 177 juta ton; tahun 2023 sebanyak 184 juta ton dan tahun 2024 sebanyak 187 juta ton. Pun begitu dengan angan-angan pengurangan PLTU Batubara. Meskipun Perpres No. 112 Tahun 2022 melarang pengembangan PLTU baru, namun PLTU-PLTU Captive terus tumbuh bak jamur di musim hujan.
Laporan CREA dan GEM (2023) menyebut dalam sepuluh tahun terakhir kapasitas PLTU Captive meningkat hampir dua kali lipat dari 1,4 gigawatt (GW) pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, dan masih akan bertambah hingga 14,4 GW mengingat beberapa proyek masih sedang dalam tahap konstruksi dan pengusulan.
Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa sebagai upaya mengatasi krisis iklim pemerintah Indonesia telah menyiapkan platform pembiayaan, bursa karbon, mekanisme transisi, dan dana lingkungan hidup dari result based payment justru menunjukkan lemahnya diplomasi iklim Indonesia.
Platform pembiayaan dan mekanisme transisi energi di Indonesia dipenuhi dengan beban utang baru. 99 persen dari komitmen transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang sebesar 20 miliar dolar AS atau setara 300 triliun rupiah hadir dalam bentuk utang. Menerima skema pendanaan transisi yang dipenuhi skema utang akan berakhir menjadi beban berlapis bagi pemerintah, pertama-tama mereka harus menerima investasi dengan beban besar untuk membangun infrastruktur energi fosil, lalu disodori skema transisi energi yang penuh utang baru.
Perdagangan karbon bagi WALHI, juga merupakan jalan sesat untuk mengatasi perubahan iklim. Sebab perdagangan karbon hanyalah sebuah modus untuk tetap mempertahankan ekstraktivisme, finansialisasi alam, sembari melakukan praktik greenwashing. Miliaran dolar dari hak-hak yang dapat dialihkan ini akan diberikan secara cuma-cuma kepada perusahaan penghasil gas rumah kaca terbesar yang bergerak pada beragam sektor: tenaga listrik, besi dan baja, semen, sawit, pulp dan kertas, dan sektor-sektor lainnya. Sebagaimana diketahui, negara-negara industri inilah yang paling banyak mengeksploitasi sistem yang berakibat pada krisis iklim.
Maka, slogan emisi nol bersih/net zero emission, deforestasi nol bersih/FOLU net sink, yang diimplementasikan dengan cara penyeimbangan karbon/karbon offset hanyalah legitimasi perusahaan dan negara industri untuk terus melanjutkan proyek yang destruktif dan mengabaikan akar persoalan dari krisis iklim.
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu yang dibahas dalam COP28 di Dubai. Uni Emirat Arab selaku sahibulbait COP28 telah merilis rancangan awal deklarasi tentang pertanian, resiliensi sistem pangan, dan aksi iklim yang berkelanjutan. Rancangan deklarasi ini menekankan pentingnya mengintegrasikan transformasi sistem pangan dan pertanian dalam aksi iklim. Salah satunya dengan fokus pada sistem pertanian dan pangan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan degradasi lingkungan. Sayangnya, Presiden Jokowi malah mempromosikan pengembangan biofuel yang merupakan solusi palsu dan tak menunjukkan keseriusan komitmen iklim. Pengembangan biofuel akan memicu ekspansi perkebunan monokultur yang memperparah kerusakan hutan dan gambut.
Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyatakan Presiden Jokowi seperti terus menutup mata atas kegagalan proyek lumbung pangan atau food estate. Dalam pidatonya di forum Transforming Food Systems in the Face of Climate Change COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, Presiden Jokowi malah meminta dukungan dana dan teknologi untuk pengembangan food estate, dengan dalih bahwa sektor pertanian dan perkebunan bisa memproduksi biofuel seperti biodiesel. Jokowi mengklaim food estate bisa menyuplai kebutuhan pangan dan energi global. Padahal, hasil proyek lumbung pangan Jokowi jauh panggang dari api.
Berselang sekitar 12 jam dari pidato Jokowi di Dubai, aktivis Greenpeace, LBH Kalimantan Tengah, Save Our Borneo, dan Walhi Kalimantan Tengah ‘napak tilas’ ke area proyek food estate garapan Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Menggelar aksi kreatif parodi ‘makan siang Presiden Jokowi dan tiga calon presiden di Pilpres 2024’, para aktivis kembali mengirimkan pesan bahwa proyek food estate bukanlah solusi ketahanan pangan, tetapi justru memperparah krisis pangan dan krisis iklim.
Kondisi food estate Gunung Mas hari ini tak jauh berbeda, meski sudah berselang satu tahun sejak Greenpeace Indonesia memotret kegagalan proyek ini pada November 2022. Tidak ada kebun singkong yang dijanjikan.
“Padahal sudah sekitar 760 hektare hutan alam dibabat untuk proyek strategis nasional ini, hutan yang sebenarnya menyediakan sumber kehidupan untuk flora fauna di dalamnya, untuk masyarakat adat dan masyarakat setempat, dan menjadi benteng pertahanan kita untuk menahan laju krisis iklim,” tuturnya.
Pemerintah harus menghentikan food estate karena sistem pangan monokultur skala besar seperti ini merupakan solusi palsu untuk cita-cita ketahanan pangan. Pemerintah harus melakukan evaluasi pelaksanaan proyek food estate secara menyeluruh karena ada potensi kerugian negara dari penggunaan APBN dalam menjalankan proyek ini.
“Yang paling penting, dalam waktu cepat pemerintah juga harus memulihkan hutan dan lahan gambut yang rusak di area tersebut,” kata Bayu Herinata, Direktur Walhi Kalimantan Tengah.
Solusi untuk ketahanan pangan sejatinya terletak pada kearifan lokal masyarakat adat lewat pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, seperti yang sudah dipraktikkan masyarakat adat Dayak di Kalimantan selama ribuan tahun.
Muhamad Habibi, Direktur Eksekutif Save Our Borneo menambahkan, proyek food estate, baik food estate singkong di Gunung Mas maupun food estate padi di Kapuas dan Pulang Pisau, dirancang dan dilaksanakan tanpa melibatkan masyarakat. Di Gunung Mas, Kementerian Pertahanan mengerahkan tentara dan pekerja dari luar daerah. Sedangkan food estate padi yang digarap Kementan menerapkan model yang meminggirkan konsep pertanian masyarakat di lapangan.
“Dalam konteks ketahanan pangan, sistem pertanian monokultur ini justru menimbulkan kerentanan karena pelaksanaannya terpusat di satu tempat, tidak tersebar ke tengah-tengah masyarakat,” kata Habibi.
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria FK Lawi
Discussion about this post