Jakarta, Prohealth.id – Disahkannya Undang-Undang Kesehatan sebagai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 pada Agustus 2023 memerlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan yang di dalamnya termasuk bagian Pengamanan Zat Adiktif untuk mengendalikan konsumsi produk tembakau dan turunannya.
Aturan untuk mengendalikan zat adiktif tidak bisa ditawar karena prevalensi perokok anak mencapai 9,1 persen dan terjadi peningkatan perokok pemula di usia yang lebih muda, yaitu pada kelompok usia 10-14 dan 5-9 tahun menurut Riskesdas tahun 2013 dan 2018. Data ini makin kuat dari temuan Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 lalu, yang dikeluarkan oleh WHO. GATS menyebutkan bahwa perokok dewasa Indonesia naik 8,8 juta perokok dalam satu dekade terakhir dan perokok rokok elektronik naik 10 kali lipat. Pengendalian konsumsi rokok baik rokok konvensional maupun rokok elektronik menjadi sangat mendesak dan tanpa tawar menawar.
Oleh karena itu, organisasi-organisasi kesehatan Indonesia mengadakan konferensi pers bersama di Kantor PB Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk merespon dinamika perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang diduga mendapatkan intervensi dari pihak berkepentingan yang bertujuan untuk memperlambat proses dan bahkan melemahkan isi RPP terutama bagian Pengamanan Zat Adiktif.
Menurut DR. Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam penyelesaian RPP Kesehatan ada peran penting masyarakat sipil dan praktisi kesehatan yang tergabung dalam organisasi masyarakat pegiat kesehatan masyarakat dan organisasi profesi kesehatan. Apalagi dalam rangka mendesak RPP Kesehatan tetap mengakomodasi aturan pengendalian zat adiktif. Untuk itu, pentinglah pembacaan deklarasi dukungan Pengamanan Zat Adiktif dalam RPP Kesehatan. Kata dr. Adib, kelompok pakar dan pemerhati kesehatan masyarakat ini harus turut bersuara karena mereka memahami betul permasalahan kesehatan di Indonesia akibat konsumsi produk zat adiktif tembakau dan rokok elektronik yang terus berkembang. Dengan menekankan pada perlindungan masyarakat, maka harus dibuat aturan yang komprehensif dan strategis.
“Selama ini, para praktisi kesehatan adalah pihak di garda terdepan yang berhadapan langsung dengan masalah-masalah kesehatan yang diakibatkan oleh konsumsi rokok. Mereka memahami, penyakit-penyakit katastropik yang terus meningkat diiringi dengan prevalensi perokok yang tak kunjung turun, bahkan terus naik,” kata dr. Adib, Rabu (6/12/2023) secara hybrid dari Kantor Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A; menyatakan saat ini, Indonesia sedang mendapatkan ancaman serius karena tren perokok semakin muda yang berpotensi akan menghadapi penyakit akibat merokok saat usia produktif. Bahkan mulai dari sejak berada di kandungan, janin telah terpapar asap rokok yang membuatnya terancam stunting. Ditambah dengan maraknya iklan-iklan yang menarget anak-anak, mereka mulai merokok semakin dini dan kebiasaan ini kemudian merusak prefrontal cortex atau otak depan yang sangat penting dalam masa pertumbuhan mereka.
“Keadaan ini menjadi sangat genting dan harus segera diatasi dengan adanya aturan yang melindungi anak-anak kita dari ajakan merokok dan lingkungan yang membuatnya terpapar rokok,” jelas dr. Piprim.
Selama ini, pengaturan untuk zat adiktif hanya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau dianggap sangat lemah sehingga target penurunan prevalensi perokok anak sulit tercapai. Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) sendiri memprediksi peningkatan perokok anak akan mencapai 16 persen di tahun 2030 jika penanganan prevalensi perokok anak tidak dilakukan secara serius.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menganggap bahwa ini menjadi ancaman baru bagi masyarakat Indonesia, terutama anak-anak karena perkembangan rokok elektronik. Oleh karenanya, dr. Annisa Dian Harlivasari Sp.P, mewakili PDPI menyatakan maraknya rokok elektronik dan vape dengan berbagai rasa yang menarik anak-anak ini sangat berbahaya. Berbagai penelitian telah membuktikan bahayanya rokok elektronik dan vape, namun Indonesia belum punya aturan pengendaliannya. Zat kimia berbahaya pada rokok elektronik berada pada cairan/liquid yang mengandung nikotin, propilen glikol dan gliserin. Hasil penelitian RS Persahabatan, pada urin perokok elektronik terdapat kadar residu nikotin yang kadarnya sama dengan urin perokok konvensional. Dengan demikian tegas dr. Annisa, rokok elekronik tidak aman. Selain itu, berbagai residu rokok elektronik dalam bentuk logam dan partikel memiliki risiko jangka panjang terhadap kesehatan.
“Temuan pada pasien-pasien kami adalah bukti yang tak terbantah bahwa produk adiktif ini harus dikendalian segera atau kita akan menerima double burden desease; pengendalian rokok biasa longgar, ditambah tidak adanya pengendalian rokok elektronik dan vape,” ujarnya.
Menagih Komitmen Presiden
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr. Radityo Prakoso, SpJP(K) menyatakan para praktisi kesehatan sangat mengharapkan kali ini Presiden Joko Widodo dan dalam hal ini Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar bersikap tegas. Pentingnya aturan pengamanan zat adiktif yang komprehensif di dalam RPP Kesehatan sangat penting.
“Kami yang paham bagaimana di lapangan kami harus menghadapi pasien yang sudah sakit parah akibat merokok. Begitu banyak pasien datang dengan penyakit komplikasi kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner (PJK) yang disebabkan faktor risiko utama merokok. Ini bukan hanya statistik namun kenyataan di negara kita!” tegas dr. Radityo.
Senada dengan dr. Radityo, Prof. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid, M.PdKed, FACP, FINASIM selaku Direktur Eksekutif Ilmiah Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) menambahkan, rokok adalah produk adiktif yang sangat berbahaya meski terlihat sepele namun dampak kesehatannya sangat besar. Ia mengingatkan, pasien yang telah divonis kanker pun masih ada yang minta merokok karena dia sudah sangat teradiksi. Sifat adiktif nikotin dalam rokok membuat orang yang kecanduan benar-benar mengorbankan diri dan keluarganya, dan tentu akan berakibat lebih luas lagi secara makro pada negara.
“Beban biaya penyakit kanker misalnya itu sangat mahal, dan beban biaya kesehatan kita terus naik. Presiden Joko Widodo harus mawas pada warisan yang akan ditinggalkannya, apakah mau masalah kesehatan yang menumpuk di masa depan akibat ketidak tegasannya atau masa depan Indonesia yang lebih baik karena di periode jabatannya dia telah melahirkan aturan yang bagus untuk pengendalian konsumsi produk zat adiktif ini?” ujarnya.
Konsumsi rokok secara signifikan mempengaruhi sosial masyarakat Indonesia, dengan rumah tangga menghabiskan 11 persen anggaran bulanan untuk rokok, melampaui belanja makanan pokok. Biaya kesehatan akibat merokok berkisar Rp17,9 hingga Rp27,7 triliun per tahun berdasarkan temuan CISDI tahun 2020. Biaya inilah yang berkontribusi pada defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan). Penolakan terhadap regulasi yang ketat untuk pengamanan zat adiktif yang didorong oleh berbagai pihak terutama industri tembakau dan pendukunganya akan melemahkan ketentuan pengendalian konsumsi dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP mengingatkan, masalah rokok bukan hanya masalah kesehatan, namun masalah kesehatan menyebabkan banyak sekali masalah multisektor.
“Jangan sepelekan dampak konsumsi rokok ini, kami saksi langsung bagaimana para penderita penyakit-penyakit mematikan akibat konsumsi rokok mempengaruhi kehidupan masyarakat kita. Presiden Joko Widodo masih punya kesempatan untuk mengambil keputusan tepat, jangan biarkan Indonesia terus kecanduan produk zat adiktif ini untuk hindari kerugian multisektor mulai dari kesehatan, sosial, pembangunan ekonomi, sampai lingkungan akan terdampak,” katanya.
Untuk itu, dr. Sally mendesak agar pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo segera mengesahkan RPP Kesehatan dengan aturan Pengamanan Zat Adiktif yang tegas dan menyeluruh, lindungi rakyat Indonesia dari produk zat adiktif.
Desakan ini pun lahir sebagai bentuk deklarasi bersama dari empat belas organisasi profesi kesehatan untuk komitmen Pengamanan Zat Adiktif dalam RPP Kesehatan. Di dalamnya, tertuang dukungan empat belas organisasi terhadap pengaturan pengamanan zat adiktif demi perlindungan rakyat dari bahaya konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik.
Empat belas organisasi tersebut adalah; Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Onkologi Indonesia (POI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Wicara Esofagus, Ikatan Terapi Wicara, Yayasan Kanker Indonesia YKI, Yayasan Stroke Indonesia (YASTROKI), Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience (IMAN), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), dan Yayasan Jantung Indonesia (YJI), serta termasuk organisasi profesi kesehatan induk Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post