Jakarta, Prohealth – Mencari nafkah untuk keluarga memang bukan hal mudah, lebih sulit lagi jika lingkungan kerja sangat tak mendukung kesehatan mental pekerja.
Sementara itu gangguan kejiwaan di lingkungan kerja justru biasanya di cap ‘mental tempe’, bahkan karyawan yang mengalami gangguan mental akibat budaya kerja buruk dianggap suka mencari perhatian bahkan ‘lebay’.
Sementara terkadang perilaku pimpinan hingga rekan kerja justru memicu kondisi kejiwaan pekerja menjadi hancur bahkan memicu perilaku bunuh diri akibat tekanan mental yang tak segera diatasi.
Psikolog Klinis dari Ikatan Psikolog Indonesia (IPK) Silvany Dianita Sitorus mengatakan kebanyakan gangguan kejiwaan pekerja diakibatkan budaya kekerasan di lingkungan kerja yang dianggap hal biasa dan justru dianggap benar oleh pimpinan hingga rekan kerja.
“Bentuknya bisa candaan (jokes), komentar, kontak fisik, aksi yang menyerang individu yang biasanya membuat tekanan mental,” ujarnya pada webinar series Promosi Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, Pertolongan Pertama Pada Luka Psikologis (P3LP) untuk Pekerja, Jumat (8/12/2023).
Menurut Silvany kekerasan merupakan tindakan illegal yang mengacu pada diskriminasi, pelanggaran hak individu.
“Kekerasan ataupun pelecehan biasanya dilakukan untuk melukai harga diri seseorang, menciptakan suasana yang intimidatif, merendahkan atau mempermalukan seorang pekerja,” kata dia.
Rekan kerja, dikatakan Silvany sebenarnya bisa mengenali tanda-tanda sesama pekerja yang mengalami kekerasan atau bullying beberapa diantaranya bisa dikenali secara emosional, fisik, kebiasaan dan tanda lainnya. Ia memerinci, secara emosional biasanya pekerja menolak untuk bicara, menarik diri dari lingkungan, reaktif, mudah sedih dan marah. Sementara secara fisik pekerja memiliki luka memar, goresan, pulang dengan barang atau pakaian rusak, setiap pulang kantor merasa sangat kelaparan.
“Kebiasaan pekerja bisa terlihat dengan perubahan pola tidur, agresif, tidak mudah senang. Tanda lainnya, sering sendirian, dikucilkan dari pertemanan, merasa tidak aman dan ketakutan,” paparnya.
Silvany berharap kepada pekerja yang melihat rekannya mengalami tanda-tanda tersebut segera membantu bukan malah ikut-ikutan mengucilkan karena hasutan oknum yang bertanggung jawab.
“Sebagai sesama di jelek-jelekkan justru mengalami tanda-tanda korban bullying seharusnya anda lebih mendengarkan korban,” cetusnya.
Budaya kerja buruk, dikatakan Silvany kerap menjadi kebiasaan berulang yang minim evaluasi, beberapa hal yang dianggap benar namun kerap membuat pekerja tertekan di lingkungan kerja. Ia menyebut, komentar atau bahasa yang menyerang berulang-ulang, candaan menargetkan orang yang sama berulang-ulang, ospek di lingkungan kerja, memberikan target atau deadline yang tak masuk akal, mengucilkan pekerja dengan sengaja untuk menutupi hak profesionalnya seperti promosi jabatan, bonus kerja, atau kesempatan training, menyebarkan aib atau berita tidak benar, atau gaslighting atau tidak mempercayai kesulitan pekerja dengan menganggapnya sebagai alasan yang dibuat-buat/
Silvany menegaskan, bullying merupakan tindakan melawan hukum atau kriminal, namun seringkali sebuah institusi atau kantor tidak memahami dan menyampingkan aturan itu, seringkali bullying dianggap dinamika dalam organisasi kantor tersebut.
“Bullying merupakan tindakan kejahatan dan pelanggaran HAM yang bisa dijerat hukum, jadi seharusnya organisasi di kantor tidak menormalisasi bullying,” tandasnya.
Lingkungan kerja sudah seharusnya mencegah dan menindaklanjuti bullying karena akan berdampak serius bagi perusahaan. Ia mengingatkan bahwa gangguan psikis bagi pekerja bukan hanya berdampak langsung bagi pekerja itu sendiri, tetapi juga mempengaruhi produktifas pekerja, meningkatkan ketidakhadiran pekerja atau turn over, kurangnya motivasi, pekerja juga akan cenderung melakukan kesalahan berulang-ulang hingga mendapat sanksi, banyaknya pekerja yang tidak bisa bertahan lama bekerja.
Cara Mengatasi Stres di Tempat Kerja
Dokter Spesialis dari Persatuan Dokter Okupasi Indonesia (Perdoki) dr. Yosephin Sri Sutanti meyakini Stres sebagai pemicu segala macam penyakit di tubuh manusia, sebab ketika stres organ tubuh yang pertama kali diserang adalah otak.
“Kalau stress sakitnya tuh di kepala, bukan di hati, karena ketika seseorang stres, organ pertama yang rusak adalah hipotalamus yaitu otak, hal ini memengaruhi munculnya banyak penyakit fisik seperti sakit jantung, ginjal, lambung dan lainnya,” jelasnya.
Kebanyakan stres, dikatakan dr. Yosephin didominasi oleh lingkungan kerja yang kurang kondusif. Pasalnya, beban kerja yang tinggi, pendapatan yang tidak sesuai dengan pengeluaran pekerja, kapasitas individu yang belum sesuai, hingga beban kerja yang melebihi kemampuan pekerja, itulah kemudian yang menjadi pemicu pekerja menjadi rentan sakit dan kurang produktif.
Penyakit pekerja juga sebenarnya bisa diukur dari level stres yang dialami. Kata dr. Yosephin itu mulai dari level pertama tingkatan awal stres, dalam kondisi ini hipotalamus menerima sinyal peringatan untuk hormon glukokortikoid dimana hormon ini memicu kortisol dan adrenalin detak jantung makin cepat.
“Pekerja kerap gugup dan cemas dalam melakukan pekerjaan apapun hingga kerap melakukan kesalahan,” jelasnya.
Lalu ada stres level menengah, dalam kondisi ini tubuh terus memproduksi hormon pemicu stres. “Hal ini terjadi karena masalah yang dialami seseorang tak kunjung selesai. Pekerja akan mudah tersinggung dan sulit konsentrasi,” lanjut dr. Yosephin.
Stres pada level berat, sudah masuk pada fase kelelahan akut atau burn out, dr. Yosephin menjelaskan di fase ini pekerja yang terus menerus mengalami tekanan membuat energi seseorang menjadi mudah terkuras.
“Pekerja akan mudah gelisah, gagal hingga depresi, tak jarang juga akhirnya memicu bunuh diri,” jelas dia.
Ia pun menyarankan, pertolongan pertama pada pekerja tak melulu harus sudah masuk stres level berat, di level ringan sudah seharusnya organisasi tak menutup mata pada kesehatan mental pekerjanya.
“Tindakan cepat dari perusahaan akan mencegah pekerja masuk ke stress level menengah hingga berat, rekan kerja juga harus bersedia menjadi pendengar yang baik bagi sesama pekerja, pertolongan pertama pada luka psikologis pekerja harus menjadi prioritas dari perusahaan,” tukasnya.
Sebagai pekerja, sudah seharusnya memahami pentingnya kesehatan jiwa dengan sebisa mungkin memahami cara mencegah stres pada saat bekerja. Caranya dengan belajar olah nafas untuk mengelola emosi lebih baik.
“Misalnya dengan menarik nafas panjang dengan menggembungkan perut dan menguarkan nafas dengan mengecilkan perut, setiap nafas yang keluar masuk hitung dari 5 hingga 10 detik, hal ini efektif untuk mencegah stress,” jelas dia.
Selain itu instrumen, dikatakan dr. Yosephin juga menjadi bentuk relaksasi otak yang cukup efektif untuk mengurangi stres, musik gembira dengan gerakan yang enerjik juga mengurangi ketegangan dalam lingkungan kerja sehingga bekerja lebih nyaman dan gembira.
“Budaya kerja bisa dibuat senyaman mungkin, ketegangan selama bekerja juga bisa dicairkan dengan musik, karena musik bisa memengaruhi emosi seseorang,” papar dia.
Rekan Kerja Bukan Saingan
Psikolog Klinis dan pengajar dari Universitas Sumatera Utara (USU) Liza Lubis menyebut, budaya kerja dengan iklim kompetisi yang tinggi kerap memicu stres bagi pekerja, kerap kali rekan justru menjadi pemicu stress terbesar bagi pekerja.
“Rekan kerja itu bukan saingan, nasib sesama pekerja itu sama, kalau tidak rekan kita juga rentan dipecat. Jadi lebih baik sesama rekan saling mendukung, budaya kerja yang baik tidak akan memicu gesekan sesama pekerja,” ujarnya.
Rekan kerja bisa menjadi penolong pertama bagi sesama rekan kerja yang memiliki luka psikologis bukan yang justru menambah luka. Ia pun berpesan akan membiasakan kalau rekan kerja curhat jangan curhat balik, tetapi cukup didengarkan saja.
“Buka mata kepala dan hati, tujuan kita menolong teman, dan jika teman mengalami gangguan psikologis ekstrim segera hubungi psikolog,” tegasnya.
Mendengarkan, dikatakan Liza, merupakan langkah pertama menolong orang dengan luka psikologis. Ia menilai, rekan kerja bisa mendengarkan karena biasanya mereka ingin sekali didengarkan. Lalu, jangan memaksa jika rekan kerja sedang tidak ingin bicara.
“Terkadang rekan kita hanya ingin ditemani makan bakso pedas atau hanya sekadar ngopi tanpa berbicara, tidak menghakimi rekan yang sedang bicara,” katanya.
Langkah pertama jika rekan kerja kena serangan stres, cara agar bisa membuat tenang, misalnya mengajak duduk dan mengajak untuk olah nafas.
“Bisa mengajak untuk olah nafas hal ini untuk mengambil jarak dari masalah, atau berikan air putih untuk menenangkan fisik sementara, sebelum menghubungi layanan kesehatan jiwa,” jelas dia.
Liza juga menyarankan agar sebagai rekan kerja harus memahami langkah bantuan yang benar untuk sesama rekan yang punya luka psikologis.
“Segera hubungi layanan kesehatan di lingkungan kerja jika ada atau ke Puskesmas, segera kontak Hotline SEJIWA di nomor 119 ext 8,bisa klik https://pdskji.org/home,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post