Tiba-tiba anak mengalami demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kaku pada leher, dan nyeri pada tungkai. Itu adalah sejumlah gejala penyakit pada umumnya. Siapa menyangka, gejala tersebut adalah tanda anak menderita polio.
Meski pandemi COVID-19 telah berlalu, namun mutasi virus polio kini mengancam kesehatan anak-anak Indonesia. Akhir 2023, Kementerian Kesehatan menemukan tiga kasus lumpuh layuh akut atau acute flaccid paralysis (AFP) akibat virus polio tipe dua. Satu laporan kasus dari Jawa Tengah dan dua kasus berlokasi di Jawa Timur. Oleh karenanya para epidemiolog melakukan penyelidikan sebagai respons penemuan kasus polio tersebut.
Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Airlangga Prof. Dr. dr. Ismoedijanto, DTM&H, Sp.A(K) mengungkap alasan penyakit ini muncul kembali. Ternyata, masih banyak orang tua yang tidak menuntaskan imunisasi polio pada anak-anaknya. Seharusnya pemerintah melakukan imunisasi polio pada bayi sebanyak empat kali secara oral (OPV).
“Banyak orang yang mengira empat kali imunisasi ini sudah cukup. Nyatanya anak masih perlu mendapatkan dua kali vaksinasi lagi yang diberikan melalui suntikan (IPV),” kata Prof. Ismoedijanto dalam media briefing mengenai KLB Polio yang diselenggarakan Ikatan Dokter Anak Indonesia, Sabtu (6/1/2023) lalu.
Prof. Ismoedijanto juga menyatakan kalau masih banyak masyarakat yang keliru dengan pemberian imunisasi polio pada anak. Banyak orangtua yang melengkapi tahap imunisasi hanya empat kali secara oral saja.
“Harusnya empat kali plus dua suntikan IPV. Kami sudah mengecek data, suntikan pertamanya hanya sekitar 65-70 persen. Namun suntikan IPV keduanya hanya 60 persen,” jelas Konsultan Infeksi Tropik Anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.
Jika anak tidak mendapatkan imunisasi polio sampai tuntas, maka kekebalan imun anak tidak bertahan lama hingga ia tumbuh dewasa. Artinya, jika pada dua tahun tidak mengulang imunisasi atau booster, maka anak tidak kebal lagi. Sekalipun si anak sudah melakukan imunisasi lengkap.
Ia mengingatkan faktor virus polio yang ada saat ini adalah hasil mutasi dari varian lama. Maka anak perlu mengulang imunisasi polio sebagai booster, terutama jika anak sudah berusia dua tahun.
Mutasi Virus Polio
Prof. Ismoedijanto mengakui mutasi virus polio saat ini makin liar. Oleh sebab itu ia mengimbau masyarakat agar menjaga nutrisi serta kebersihan lingkungan.
“Virus polio adalah virus lawas, mutasinya kali ini menjadi makin liar. Tugas kita bagaimana mengunci vaksin tadi agar tidak makin berkembang,” katanya.
Prof. Ismoedijanto menegaskan agar orangtua melengkapi imunisasi rutin pada balitanya. Ia mengingatkan agar pemberian imunisasi jangan menunggu sampai anak menunjukkan gejala polio.
“Orangtua merasa sudah memberi imunisasi untuk anak, tetapi perlu imunisasi rutin dan tambahan seperti mopping up, ORI dan SubPIN,” jelasnya.
Prof. Ismoedijanto juga mengatakan pentingnya untuk memutus rantai penularan polio mirip dengan penularan virus COVID-19 dengan cara deteksi komunitas.
“Periksa, adakah penemuan pada manusia, kecuali adanya riwayat perjalanan dari wilayah terinfeksi 35 hari sebelum onset paralisis atau adanya paparan dari lab atau fasilitas produksi vaksin,” jelasnya.
Berdasarkan data suspek positif, epidemiolog mengambil dua hasil positif dari sampel lingkungan yang terpisah. Ada 2 site yang berbeda, atau dari site yang sama dalam jarak minimal 2 bulan. Lalu ada penemuan dari sampel orang atau lingkungan. Peneliti pun menemukan adanya hubungan antara genetik dengan virus yang mengalami mutasi di suatu wilayah.
Prof. Ismoedijanto menjelaskan, mutasi virus polio selama pandemi memang seperti kabar buruk. Terutama karena sebab cakupan imunisasi sedang tidak mencapai target.
“Meski diramalkan KLB polio akan muncul di London, New York, Malawi, Mozambique, dan Pakistan tetapi ada kegagalan dalam memperpanjang waktu lebih dari 20 tahun dan ada perubahan kebijakan WHO,” jelasnya.
Prof. Ismoedijanto juga menyebut kabar baik selesainya proses pembuatan vaksin novel Oral Polio Vaccine (OPV) Tipe 2 untuk polio. Ia menyatakan vaksin ini sudah terbukti aman pada uji coba klinis 1 dan 3. Selain itu, vaksin ini telah mendapat izin dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ia menjamin vaksin ini sanggup meredam KLB virus polio (cVDPV2) di 21 negara.
“KLB polio pasca imunisasi sIPV ada penurunan kasus di Afghanistan, Pakistan, Malaysia dan Philipina,” ucap dia.
Prof. Ismoedijanto menegaskan pentingnya pemeriksaan labelling dan warna botol vaksin jika berbeda. Untuk menanggulang KLB cVDPV2 akan menggunakan botol vaksin 50 dosis nOPV. Imunisasi rutin tidak menggunakan nOPV2 karena ini harus digunakan tersendiri.
“Ia tidak bersama vaksin lain, dan harus berjarak minimal 4 minggu dari imunisasi lain. Semua petugas kesehatan yang bertugas atas penggunaan nOPV2 harus paham,” paparnya.
Tak hanya polio, Prof. Ismoedijanto masyakat Indonesia perlu mewaspadai penyakit tropis yang berpindah dari hutan ke pemukiman warga. Contohnya; malaria, DBD, ebola, nipah, TB, tifoid, cacingan, bahkan stunting.
“Ya terutama di luar pulau Jawa. Penyakit kronis di daerah tropis masih banyak, virus yang beredar di hutan berpotensi menyerang ke pemukiman,” pungkasnya.
Discussion about this post