Generasi Muda Gemari Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Menurut Survei, Cukai Perlu Diterapkan Guna Melindungi Kesehatan
Jakarta, Prohealth.id – Minuman manis menjadi fenomena yang semakin kuat. Dianggap sebagai suatu nilai lebih dan kemewahan dari pada air putih atau sekadar teh tawar hangat.
Minuman jenis ini digandrungi masyarakat Indonesia khususnya anak-anak, remaja, dan generasi muda.
Terjadinya penguatan ini tak lepas dari intervensi korporasi melalui iklan, promosi, dan sponsorship di semua lini media. Gempuran iklan dan promosi ini makin meneguhkan minuman manis sehingga menjadi ikon dalam konsumsi dan pergaulan sosial.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melakukan survei “Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di 10 Kota” untuk menyoroti fenomena tersebut.
Survei dilakukan pada awal hingga pertengahan Juni 2023 di 10 kota di Indonesia. Yakni Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makassar dan Kupang. Demikian dikutip dari situs YLKI yang dimuat pada Jumat, 29 Desember 2023.
Survei dilakukan dengan cara wawancara, pemilihan responden secara acak berjenjang, dari mulai tingkat kelurahan, RT/RW, kemudian memilih rumah tangga, dan memilih individu. Responden adalah orang yang pernah mengonsumsi minuman manis dalam kemasan dalam sebulan terakhir. Total responden 800 dengan masing masing RT dijaring 10 responden.
Sejumlah temuan penting YLKI dari survei tersebut yaitu anak dan remaja Indonesia gemar mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Sebanyak 1 dari 4 anak usia kurang dari 17 tahun mengkonsumsi MBDK setiap hari mencapai 25,9 persen. Bahkan 1 dari 3 anak atau 31,6 persen mengonsumsi MBDK 2 hingga 6 kali dalam seminggu.
MBDK mudah diperoleh sehingga menjadi salah satu pendorong utama anak dan remaja mengkonsumsi MBDK. Bisa dibeli dalam jarak 2 sampai 10 menit. Responden membeli MBDK via warung 38 persen, minimarket 28 persen, supermarket 17 persen, dan akses lainnya seperti rumah sakit dan sekolah 18 persen.
Selain itu aspek motivasi menjadi faktor penentu bagi anak dan remaja dalam mengkonsumsi MBDK. Hasil survei menunjukkan bahwa rasa penasaran menjadi faktor yang paling tinggi sebesar 32,4 persen. Disusul faktor enak rasanya sebesar 27,1 persen dan aspek harga sebesar 14,4 persen. Sedangkan aspek lainnya meliputi influencer 6,4 persen, pengaruh anggota rumah tangga 5,8 persen, iklan di media massa 3,8 persen, aspek teman 3,6 persen, media sosial 3,4 persen, dan pengaruh tetangga sebesar 3,3 persen.
Mereka mempunyai persepsi soal kesehatan dan memahami risiko akibat mengonsumsi MBDK dalam jangka panjang.
Sebanyak 78 persen mengerti konsumsi MBDK akan berdampak terhadap peningkatan obesitas. Bahkan 81 persen memahami mengkonsumsi MBDK mempunyai dampak jangka panjang terhadap kesehatan secara keseluruhan.
Responden juga memberikan tanggapan terhadap wacana pemerintah yang akan mengenakan cukai MBDK. Sebanyak 58 persen responden mendukung wacana pengenaan cukai pada MBDK. Sekitar 18 persen responden menjawab mereka akan mengurangi konsumsi MBDK jika terjadi kenaikan harga sebesar 25 persen.
Terkait dengan temuan itu maka YLKI dalam rekomendasinya meminta pemerintah segera menindaklanjuti penerapan cukai MBDK di tahun 2024. Upaya ini untuk mengontrol pola konsumsi dan mencegah prevalensi diabetes pada anak dan remaja.
YLKI juga menyebutkan 108 negara di dunia sudah memberlakukan cukai MBDK dengan mengutip laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang implementasi cukai MBDK.
Dukungan publik atas wacana penerapan cukai MBDK signifikan. Dari sisi perilaku, 1 dari 5 konsumen yang disurvei mengatakan bahwa dirinya akan mengurangi konsumsi MBDK. Bahkan meninggalkan konsumsi MBDK. Dengan kata lain, pengenaan cukai dinilai sebagai instrumen pengendali konsumsi MBDK yang efektif. Pengenaan cukai pada MBDK sangat urgen untuk melindungi konsumen Indonesia. Penerapan cukai MBDK supaya efektif diberlakukan tanpa pengecualian dan komprehensif.
Pemerintah diminta tidak ambigu mengenakan cukai MBDK sebagai bentuk kebijakan untuk melindungi masyarakat dari tingginya prevalensi penyakit tidak menular. Khususnya diabetes melitus.
Pengenaan cukai pada MBDK juga tidak akan menggerus produksi MBDK. Berdasarkan hasil studi di negara lain yang sudah menerapkan cukai MBDK seperti Meksiko dan Peru melaporkan bahwa cukai MBDK tidak menimbulkan pengangguran.
Pemerintah juga harus membuat peraturan dan kebijakan yang mengatur pembatasan MBDK kepada anak-anak dan remaja guna mengurangi dampak pemasaran agresif, termasuk informasi label yang tidak menyesatkan.
Pelaku industri MBDK diminta melakukan pemasaran yang bertanggung jawab. Khususnya pada anak-anak dan remaja.
Penulis: Ignatius Dwiana
Editor : Irsyan Hasyim
Discussion about this post