Selama ini Jakarta sering mendapat tudingan sebagai wilayah penyumbang polusi di Jabodetabek dan sekitarnya.
Faktanya, justru Tangerang Selatan (Tangsel) merupakan daerah yang paling berpolusi berdasarkan data tingkat polusi Indonesia yang melonjak pada akhir 2023. Asap rokok hingga pembangunan masif menyumbang polusi terbesar di Tangsel.
Junior Data Analyst NAFAS Indonesia Nidaa Fauziyyah menyebut Kecamatan Serpong, Tangsel, berada di posisi tertinggi penyumbang polusi dari asap rokok. Pencapaian ini pasalnya ekuivalen dengan konsumsi rokok 993 batang rokok.
“Terdapat juga dua wilayah di luar Jabodetabek yang masuk dalam 10 besar, yaitu Punggul dan Driyorejo yang ada di Jawa Timur,” bebernya di webinar bertajuk Laporan Tahunan Nafas: Kilas Balik Kualitas Udara 2023. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Pemantau Kualitas Udara NAFAS Indonesia, pada Senin (15/1/2024) lalu.
Nidaa juga menyebut alasan Tangsel mengalami polusi tinggi adalah karena pada bagian barat daya Tangerang Selatan, terdapat dataran tinggi yang menghalangi angin menyebarkan polutan ke wilayah yang lain. Hal ini menyebabkan angin dari Samudera Hindia terblokade oleh dataran tinggi tersebut.
Sementara pada sisi lain, jika ada angin laut dari utara yang mendorong polusi dari DKI Jakarta ke arah Tangerang Selatan, polutan yang akan melewati Tangerang Selatan juga tertutup oleh dataran tinggi yang ada. Nidaa menyayangkan kondisi polusi akibat rokok di Tangsel tersebut, karena membuat warga tak bisa mendapatkan udara bersih.
“Ini kondisi yang mengkhawatirkan. Mulai anak-anak hingga lanjut usia, baik yang sehat atau sakit penyakit bawaan, menghirup udara kotor sama-sama berbahaya.”
Asap rokok punya kandungan berbahaya pada asapnya, yaitu Particulate Matter dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2.5 mikron. Komponen ini adalah PM2.5. Kadar PM2.5 dengan kategori aman menurut WHO adalah kurang dari 25 µg/m3. Sehingga polusi udara khususnya partikel PM2.5 akibat asap rokok akan meningkatkan risiko penyakit serius dan berpotensi membunuh manusia secara perlahan.
“Paparan pada tingkat yang sangat rendah mampu menyebabkan kematian akibat penyakit jantung dan paru-paru. Bahkan, angka kematian akibat polusi udara di dunia setiap tahun lebih banyak daripada gabungan penyakit AIDS, malaria, diabetes, atau tuberculosis,” bebernya.
Nidaa menyayangkan, selama 2023 periode udara tak sehat menimpa kalangan sensitif mendominasi kondisi kualitas udara di berbagai daerah. Ia menyebut udara dengan standar yang sehat hanya bisa terakses selama Januari hingga April 2023 saja. Variasi tingkat polusi di setiap bulannya juga berubah-ubah karena peristiwa hujan, angin, dan kondisi inversi.
“Inversi adalah kondisi saat udara hangat terperangkap di atas udara dingin dan mengakibatkan akumulasi polusi udara di permukaan,” katanya.
DKI Jakarta Terendah Polusi
Berkaca dari konteks tersebut bukanlah prestasi jika DKI Jakarta menduduki posisi terendah polusi di 2023. Sebab Jakarta justru munjukkan dominasi kualitas udara tak sehat. Rerata wilayah Jabodetabek memiliki lebih dari 200 hari udara tidak sehat, baik untuk umum maupun kelompok sensitif. DKI menjadi wilayah yang paling sedikit memiliki periode polusi tinggi, yakni sebanyak 4.938 jam atau setara 206 hari.
Menurut Nidaa, letak DKI Jakarta yang dekat dengan laut membuat angin skala besar lewat lebih mudah bergerak ketimbang wilayah lainnya di sekitar pesisir Jakarta. Kategori angin tersebut adalah angin monsun Asia dari Barat dan monsun Australia dari Timur. Dengan adanya angin monsun ini, persebaran polusi akan lebih mudah terjadi.
Nidaa juga menyinggung peningkatan polusi udara akibat El Nino dan IOD+ membuat udara di Indonesia menjadi kompleks. Mengingat tantangan menjaga kualitas udara menjadi semakin mendesak, untuk itu NAFAS membuat Clean Air Zone. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas udara di lokasi bisnis Jakarta.
Nidaa menyebut saat ini kualitas udara di area Clean Air Zone menjadi lebih baik dengan rerata mencapai 82 persen. Clean Air Zone secara konsisten membantu menghirup udara yang jauh lebih bersih dan sehat ketimbang luar ruangan dan lokasi lain non-Clean Air Zone.
“Kondisi ini membantu mengurangi risiko serangan asma pada anak, penurunan produktivitas karyawan, dan penyakit jantung,” tuturnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post