Setiap 43 detik anak meninggal akibat pneumonia dan Indonesia di peringkat enam. Penyakit ini menyerang saluran pernafasan hingga paru-paru. Muncul akibat bakteri, virus, atau jamur, melalui kontak langsung dan menunjukkan gejala batuk, sesak nafas, maupun demam.
Penyebarannya juga mudah seperti halnya COVID-19. Masyarakat perlu mewaspadai penyakit ini karena menyebar melalui droplet, air liur, dan batuk.
“Gejalanya biasanya diawali dengan batuk disertai demam. Gejala lainnya seperti pilek, hidung tersumbat. Ketika sudah mengenai jaringan paru maka menimbulkan gejala sesak nafas. Nafasnya menjadi cepat. Ngos-ngosan kalau bahasa awamnya,” kata dokter Nastiti Kaswandani dari Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam seminar daring pada Kamis, 11 Januari 2024 lalu.
“Gejala pneumonia ini membuat orang tua harus membawa anak-anaknya ke rumah sakit.”
Pneumonia menimbulkan kematian karena berdampak pada fungsi paru-paru. Padahal paru-paru merupakan organ yang membawa atau menerima oksigen dan sampai ke seluruh tubuh.
Bila ada peradangan akibat infeksi maka akan timbul akumulasi cairan di rongga atau di kantung paru-paru. Banyaknya cairan akibat peradangan, akibat infeksi, membuat fungsi untuk rak oksigennya menjadi berkurang.
Dia melanjutkan, bahwa gangguan fungsi penyerapan oksigen ini menjadi penyebab sesak.
“Kalau itu berlanjut maka akan terjadi kekurangan oksigen di semua organ sehingga menyebabkan kematian.”
Peradangan apabila sampai di jaringan paru menimbulkan pneumonia. Kalau sekadar ringan maka tidak sampai membuat sesak nafas. Sayangnya, oasien baru melakukan pemeriksaan soal penyebabnya ketika sudah sampai ke jaringan paru.
Sementara COVID-19 itu tidak selalu membuat sesak nafas. Gejalanya bisa pilek sehingga hanya menimbulkan gejala peradangan pada hidung. Tidak sampai pada paru.
“Jadi ada terminologi untuk lokasi yang terkena infeksi atau peradangan. Ada terminologi untuk menyebutkan penyebab bakteri atau virus,” jelasnya.
Misterius Pneumonia
Infeksi respiratorik akibat berbagai jenis patogen meningkat pasca COVID-19. Situasi ini terjadi setelah negara-negara sudah tidak lagi melakukan pembatasan. Akibatnya tidak ada lagi menjaga jarak sosial, tidak diwajibkan lagi menggunakan masker, dan perilaku hidup bersih sehatnya mengendor.
Tidak lepas dari situasi itu muncul kehebohan penyataan WHO tentang adanya peningkatan kasus di Tiongkok utara dan penyakit misterius pneumonia.
Dokter Nastiti memaparkan mycoplasma bukanlah penyebab kematian akibat pneumonia. Penyebab utama kematian karena pneumonia pada anak itu terkait dengan kuman streptococcus pneumoniae atau pneumokokus, haemophilus influenza B atau Hib, dan virus influenza. Ketiganya yang paling banyak memicu insiden pneumonia berat atau insiden pneumonia yang berakibat dengan kematian.
Mycoplasma sudah lama dan ada dalam literatur-literatur lama sebagai kuman mycoplasma pneumoniae. Kuman ini sering kerap ada pada anak dengan pneumonia. Usianya bukan usia balita tetapi usia sekolah.
“Mycoplasma sudah lama ada sebelum COVID-19. Laporan dari tahun 2014 sampai 2020 mengatakan penyebab pneumonia akibat mycoplasma pada anak sekolah dan anak usia pra sekolah itu cukup tinggi sampai 30 persen,” terangnya.
Kemudian dokter Nastiti Kaswandani mengomentari soal penyakit misterius pneumonia. Sebutan pneumonia misterius ternyata punya alasan khusus. Menurut dr. Nastiti, hal ini karena awalnya untuk mencari penyebab penyakit tersebut tidaklah mudah.
“Mungkin masih ingat waktu awal COVID-19. PCR belum bisa dilakukan di semua tempat sehingga setiap spesimen dikirim ke litbang itu membutuhkan waktu sekitar 7 hari. Bahkan yang dari daerah sampai 10 hari. Pemeriksaan PCR juga mahal, spesimennya sulit, dan bahan pemeriksaannya juga susah.”
“Jadi ini yang menyebabkan ketika tidak ketemu penyebabnya maka disebutnya misterius pneumonia. Semata-mata karena keterbatasan akan diagnostik,” sambungnya.
Pneumonia akibat mycoplasma adalah pneumonia atipikal. Bersifat tidak khas seperti pneumonia yang memicu kematian. Anak-anak dengan pneumonia akibat mycoplasma biasanya masih bisa berjalan maka mendapatkan sebutan walking pneumonia.
“Kalau kami lihat di Tiongkok Utara itu anak-anaknya dirawat. Mungkin karena ada peningkatan kasus. Tetapi mereka beraktivitas menggambar, menulis, mengerjakan dan PR. Artinya kondisi klinisnya baik.”
Tak semua masalah pneumonia harus melakukan perawatan intensif di rumah sakit. Perawatan hanya untuk mereka membutuhkan oksigen, membutuhkan suntikan antibiotik dan dukungan nutrisi.
Bagaimana Mengurangi Resiko Pneumonia?
Faktor-faktor resiko yang mengakibatkan pneumonia sangat mudah terjadi pada anak balita. Sehingga menurut dr. Nastiti penting bagi orang tua segera mengetahuinya.
Dia menyebutkan semakin muda usia maka semakin tinggi atau semakin besar kemungkinannya untuk terkena pneumonia apabila tertular. Seperti bayi prematur atau yang bayi yang berat badan lahir rendah itu tinggi kemungkinannya untuk terkena pneumonia. Demikian juga dengan anak dengan gizi atau nutrisi yang buruk dan imunisasi yang tidak lengkap.
Ketika ibu tidak memberikan asi eksklusif maka meningkatkan resiko pneumonia pada anak. Ini berbeda jika membandingkan dengan anak yang mendapat asi eksklusif selama 6 bulan. “Jadi menyusui secara eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan akan menurunkan sampai 20 persen untuk kemungkinan pneumonia,” ucap dokter Nastiti.
Di samping itu vitamin A. Vitamin ini bermanfaat untuk melindungi saluran nafas karena bisa memperkuat pertahanan saluran nafas. Ini tersedia di Posyandu.
Faktor lingkungan seperti cuaca yang kurang baik dan polusi bisa meningkatkan resiko pneumonia. “Mungkin di daerah masih banyak rumah menggunakan kayu bakar atau briket arang untuk memasak. Harusnya kalau menggunakan itu maka memasaknya di luar sehingga tidak menimbulkan polusi di dalam rumah.”
Imunisasi sendiri bisa menurunkan sampai dengan 50 persen pneumonia. Vaksin PCV ini sudah menjadi program nasional imunisasi. Telah tersedia di posyandu dan di puskesmas sejak September 2022.
“Karena vaksinnya sudah disediakan oleh pemerintah. Tinggal bagaimana upaya untuk meningkatkan cakupan. Karena ternyata masih banyak orang tua yang tidak bersedia melakukan vaksinasi untuk anaknya.”
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada 2003 juga mengeluarkan rekomendasi imunisasi terkait pelbagai vaksin untuk melindungi anak dari sejumlah penyakit.
Saat ini vaksin yang belum bisa tersedia secara nasional, gratis, adalah vaksin influenza. Vaksin ini baru tersedia di sektor-sektor privat.
“Mungkin nanti kalau APBN sudah lebih tinggi, mungkin bisa disediakan vaksinasi influenza seperti yang disediakan oleh negara-negara lain. Vaksin influenza sudah disediakan di Filipina untuk mereka yang beresiko tinggi termasuk balita. Nah kita mengharap suatu saat nanti Indonesia juga menyediakan,” pungkas dokter Nastiti Kaswandani.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post