Jakarta, Prohealth.id –Sejumlah isu kesehatan ibu dan anak menjadi fokus dalam debat capres 2024. Stunting, layanan kesehatan primer, sumber daya manusia kesehatan, dan kelompok rentan adalah beberapa yang banyak dibahas dalam sesi paparan maupun tanya-jawab.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengapresiasi munculnya isu-isu kesehatan dalam debat capres karena dapat menjadi bahan diskusi publik.
Founder dan Chief Executive Officer CISDI, Diah Satyani Saminarsih menyatakan CISDI menyayangkan penjelasan para calon presiden yang kurang mendalam. Bahkan terjadi kesalahpahaman atau miskonsepsi untuk beberapa isu kesehatan. Ia menilai substansi dalam debat capres masih berkutat di permukaan dan belum menyentuh akar permasalahan yang bersifat struktural.
Dia menyebut ketiga pasangan calon presiden masih berbicara di tataran normatif perihal kesehatan. Bahkan, tidak menyentuh arah strategis pembangunan kesehatan seperti misalnya; politik anggaran, sistem kesehatan, dan tata kelola kesehatan.
Salah satu permasalahan kompleks yang terabaikan adalah stunting. Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, adalah kandidat pertama yang mengungkap persoalan stunting. Prabowo menyebutkan dalam paparan visi-misinya bahwa pemberian makanan bergizi bisa menjadi solusi untuk mengatasi stunting. Stunting kembali dibahas ketika sesi tanya-jawab antara Prabowo dengan calon presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo.
Diah mengatakan permasalahan kesehatan, khususnya stunting, tidak dapat terselesaikan hanya dengan pemberian makanan atau minuman gratis. Salah satu akar masalah stunting adalah faktor sosial-struktural yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan perempuan.
Faktor beban ganda perempuan, ketimpangan relasi kuasa, bias gender, bias sosial, dan infrastruktur yang kurang layak membuat perempuan kesulitan mengambil keputusan terkait kesehatan diri dan anaknya. Faktor lain yang berhubungan contohnya; status sosial-ekonomi rumah tangga yang rendah, rumah dengan jamban tak layak, air minum yang tidak diolah, serta akses yang buruk terhadap layanan kesehatan di berbagai daerah.
Calon presiden Ganjar Pranowo sempat mengungkapkan pentingnya kesehatan ibu dan anak, dari mulai menjamin kesehatan ibu sebelum kehamilan atau sejak remaja. Berdasarkan data dari Save The Children, mengatais kesehatan anak dengan menjamin kesejahteraan sosial yakni peningkatan pengasuhan anak, baik dalam keluarga maupun dalam pengasuhan alternatif. Pola pengasuhan anak saat ini harus responsif terhadap digitalisasi dan masalah kesehatan mental. Masalah perkawinan anak juga harus diturunkan dari 8,06 persen (2022) juga pemberian dispensasi kawin yang justru meningkat, menjadi 64.200 (2020 dari 23.1000 (2019).
Permasalahan gizi di Indonesia juga lebih luas dari stunting. Termasuk di dalamnya adalah kelebihan berat badan atau obesitas, kurus, dan gizi kurang. Masalah gizi erat hubungannya dengan faktor risiko seperti konsumsi makanan atau minuman tinggi gula, garam, lemak (GGL), dan produk tembakau. Oleh karenanya, pengenaan instrumen cukai dibutuhkan untuk memperkuat dampak positif program perubahan gaya hidup.
Beberapa isu lain yang juga terungkap dalam debat semalam adalah sumber daya manusia kesehatan (SDMK). Dalam beberapa kali kesempatan, para paslon berkutat pada pembahasan seputar kekurangan jumlah dokter.
Dalam dinamika debat, paslon 02 Prabowo Subianto menegaskan ingin menambah fakultas kedokteran. Begitupun paslon 01 Anies Baswedan setuju akan pemberian beasiswa bagi dokter, jika tujuannya meningkatkan kompetensi. Sementara paslon 03 Ganjar Pranowo juga berencana mengadakan satu nakes di satu faskes di tiap desa.
Diah mengakui dari sisi kuantitas, jumlah dokter umum di Indonesia masih belum memenuhi rasio yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 1 per 1000 penduduk. Pada 2022, rasio dokter umum di Indonesia hanya sebesar 0,84 per 1000 penduduk. Di luar itu, pemenuhan 9 jenis SDMK di layanan kesehatan primer juga masih tertatih-tatih.
Puskesmas yang memiliki 9 jenis SDMK secara lengkap di Indonesia hanya sekitar 42,67 persen dari total 10.374 puskesmas pada 2022. Diah menyatakan angka ini jauh untuk memenuhi target pemerintah sebesar 83 persen pada 2024. Artinya, diperlukan peningkatan jumlah dan kompetensi SDMK selain dokter.
Namun, untuk melihat masalah kekurangan SDMK harus dari segi permasalahan produksi dan distribusi. Penambahan jumlah fakultas maupun beasiswa menyasar masalah produksi, sedangkan untuk memeratakan SDMK juga memerlukan penyelesaian dari segi distribusi.
Diah mengingatkan, distribusi SDMK yang tidak merata erat kaitannya dengan ketiadaan kebijakan yang menjamin hak SDMK untuk berada di lingkungan kerja layak (decent work). Seperti kebijakan yang mengatur keamanan, struktur upah yang adil, jenjang karir, keamanan bekerja, hingga kelengkapan sarana prasarana.
Beban kerja berlebih SDMK juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan lingkungan kerja layak, serta penurunan kualitas layanan. Pentingnya segera melakukan distribusi beban kerja (task-shifting) agar SDMK baik tenaga kesehatan maupun tenaga medis tidak perlu menanggung beban berlebih. Tak lupa pemanfaatan teknologi informasi untuk mengurangi beban administrasi juga perlu didorong.
Program-program tersebut hanya dapat terealisasi apabila ada komitmen anggaran kesehatan yang kuat. Perspektif terhadap anggaran kesehatan harus menjadi investasi jangka panjang ketimbang pengeluaran.
Diah juga menyayangkan, isu pembiayaan kesehatan tidak terbahas secara mendalam dalam sesi debat kemarin. Padahal, sumber biaya untuk merealisasikan layanan kesehatan berkualitas dan implementasi setiap program yang dijanjikan tidaklah kecil.
“Di periode kepemimpinan selanjutnya, perlu ada komitmen politik yang kuat untuk memastikan anggaran kesehatan terpenuhi jumlahnya di tingkat nasional maupun subnasional serta efektif-efisien pembelanjaannya,” kata Diah.
CISDI mendorong agar investasi ini menjadi prioritas, guna mencapai transformasi layanan kesehatan primer dan ketahanan sistem kesehatan untuk menghadapi pandemi.
“Kerangka pikir investasi jangka panjang untuk sektor kesehatan penting dijadikan pedoman, agar kebijakan tidak hanya menuntaskan persoalan hari ini tapi juga bersifat jangka panjang, adaptif serta relevan untuk pembangunan kesehatan di masa depan,” Diah menambahkan.
Untuk memastikan investasi berbasis kebutuhan, perlu ada mekanisme partisipasi bermakna masyarakat sipil terutama kelompok rentan. Partisipasi penting dalam proses penyusunan, implementasi, hingga evaluasi kebijakan. Dengan demikian, arah strategi pembangunan dapat memihak pada kelompok rentan.
CISDI sudah memetakan setidaknya 7 (tujuh) isu kebijakan kesehatan penting yang diulas oleh pasangan capres-cawapres pada dokumen visi misi mereka. Ketujuh isu antara lain kesehatan ibu dan anak (KIA), kesehatan seksual-reproduksi (Kespro), dan gizi; penyakit tidak menular (PTM); penyakit menular; investasi sistem kesehatan; sistem kesehatan; sumber daya manusia kesehatan (SDMK); dan tata kelola kesehatan. Analisis ini sekiranya dapat menjadi pertimbangan baik bagi paslon dan juga masyarakat menjelang pemilu.
Hak Anak dan Remaja Sebagai Aktor Pembangunan
Sebelumnya, isu tentang anak sering terabaikan dalam konstelasi politik. Padahal jumlah pemilih anak yaitu 17 tahun atau dengan kategori tertentu, ada sekitar 6.000-an. Selain itu pemilih pemula dengan kategori orang muda mencapai 31,23 persen, jika usianya sampai 30 tahun dari keseluruhan pemilih tahun 2024 ini.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (5/2/2023), pelibatan pemilih usia anak seharusnya bukan hanya dalam kampanye massa saja, tetapi bagaimana kepentingannya diperhatikan. Apalagi bahwa menuju dan saat Indonesia Emas 2045, anak-anak sekarang ini yang akan menjadi aktor utama dalam pembangunan.
Tata Sudrajat selaku Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia menyatakan pengabaian isu-isu anak dapat mengakibatkan bonus demografi tidak termanfaatkan dengan baik. Bahkan, ada risiko biaya sosial akan tinggi jika problem anak tidak diperhatikan. Jumlah penduduk anak lebih dari 17 tahun saat ini sangat besar, yaitu sekitar 80 juta jiwa atau 29 persen dari penduduk Indonesia.
Periode pembangunan lima tahun ke depan sangat strategis sebagai tahap awal pembangunan jangka panjang kedua tahun 2025 – 2045. Pembangunan perlindungan dan kesejahteraan anak pada periode pembangunan menengah pertama tahun 2025 – 2029 akan sangat berat karena ada tantangan ganda.
Pertama, beberapa permasalahan yang belum tuntas seperti stunting, kematian anak, kekerasan pada anak, perkawinan anak, pekerja anak, dan juga dampak dari COVID-19 seperti munculnya kembali polio dan campak. Kedua, disrupsi global seperti krisis iklim dan kemajuan teknologi informasi mulai berdampak pada anak seperti kesehatan anak, kesehatan mental anak, dan kekerasan dalam ranah daring.
Menurut Bank Dunia dan ADB (2021), Indonesia sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologis. Pada tahun 2019, ada 90 persen dari 3.622 bencana terkait hidrometeorologis yang berhubungan dengan perubahan iklim seperti topan, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan lahan.
Menurut UNICEF, Indonesia berada dalam kategori risiko tinggi yakni urutan 46 dampak perubahan iklim. Penelitian Save the Children di Bandung (2023), menunjukkan masih rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak dan apa yang bisa mereka lakukan dalam menanggapi dampak perubahan iklim pada sektor-sektor kehidupan mereka. Di perdesaan, kapasitas anak muda (di bawah 25 tahun) mengenai hal tersebut justru lebih rendah daripada orang dewasa.
Dalam hal kekerasan dalam ranah daring, menurut ChildFund (2022), ada 5 dari 10 anak dan remaja telah menjadi pelaku perundungan secara daring dalam 3 bulan terakhir saat penelitian dilakukan. Sementara yang menjadi korban 6 dari 10 anak.
Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban perundungan secara daring. Data ini berkaitan dengan kesehatan mental, dimana ada tahun 2023, ada 34,9 persen setara dengan 15.5 juta remaja memiliki satu masalah kesehatan mental dan 5.5 persen atau setara 2.45 juta remaja, memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir (I-NAMHS, 2022).
Tata menyatakan, kedua tantangan tersebut mengancam kesejahteraan anak dan berpotensi menimbulkan masalah perlindungan anak.
“Oleh karena itu kami mendorong kepada Presiden dan Wakil Presiden yang nantinya terpilih agar memproritaskan dan memperkuat program kesejahteraan dan perlindungan anak agar well-being dan resilensi anak terbangun dalam menghadapi berbagai tantangan.” tegasnya.
Tata juga menambahkan bahwa seluruh upaya dalam memastikan kesejahteraan sosial dan pembangunan sumber daya manusia di Indonesia harus mengedepankan prinsip pemenuhan hak yaitu kepentingan terbaik bagi anak, tumbuh kembang anak, non diskriminasi, dan menghargai pendapat anak.
Sesuai dengan tema debat kelima ini, hal-hal yang perlu menjadi perhatian dan prioritas dalam 2024 – 2029 pemerintah masa depan.
Dari sisi pendidikan, adalah peningkatan Wajib Belajar Pendidikan Nasional menjadi 13 tahun sampai SMA termasuk PAUD 1 tahun, agar partisipasi pendidikan terutama SMP dan SMA naik secara nyata.
Dari sisi teknologi informasi adlaah peningkatan literasi internet sehat, penguatan regulasi untuk perlindungan, dan penambahan unit cyber di berbagai Polda yang merespon kejahatan anak di ranah daring.
Dari sisi kesehatan adalah penanganan kematian anak akibat penyakit yang dapat diatasi. Lalu peningkatan layanan kesehatan mental, dan mitigasi terhadap masalah kesehatan baru yang mengancam. Akses anak ke BPJS juga masih merupakan tantangan.
Dari sisi ketenagakerjaan adalah memperluas upaya penangan pekerja anak di sektor pertanian dan perkebunan dengan pendekatan pentahelix dan kesempatan bekerja untuk orangmuda dengan disabilitas. Jumlah pekerja anak masih 1,05 juta (2021), sedangkan anak yang bekerja masih 3,36 Juta (2020)
Dari sisi SDM adalah unit pelayanan pencegahan dan penangan anak sudah berjalan di hampir setengah jumlah kabupaten/kota tetapi,perlu penguatan SDM tenaga perlindungan anak baik melalui pengadaan tenaga baru, peningkatan kompetensi dan sertifikasi SDM, dan akreditas lembaga perlindungan anak.
Dari sisi nklusi, tidak boleh ada seorang pun anak yang tertinggal. Setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk yang disabilitas, dan berada di kelompok marjinal dan minoritas, harus mendapatkan kesetaraan akses terhadap seluruh layanan dasar.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post