Jakarta, Prohealth.id – Universitas Indonesia mengukuhkan Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, SpP(K), M.Sc menjadi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dokter penapasan yang terkenal ini, dr. Erlina Burhan menjadi Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI). Acara pengukuhan terselenggara pada Sabtu (17/2/2024) lalu, di Gedung IMERI FKUI.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D menjadi pemimpin yang mengukuhkan status guru besar untuk dr. Erlina.
Dalam pidatonya yang berjudul “Orkestrasi Menuju Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia pada Tahun 2030”, Prof. Erlina menyoroti kasus Tuberkulosis (TB) di Indonesia yang mengalami pola peningkatan dari tahun ke tahun.
TB adalah penyakit menular akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan data WHO Global TB Report, ada 834.000 insiden (kasus baru) di Indonesia pada 2010 yang meningkat menjadi 842.000 di tahun 2019 dan puncaknya mencapai 1.060.000 kasus pada 2022.
Prof. Erlina menyatakan, WHO Global TB Report 2023 juga merilis bahwa pada tahun 2022, angka mortalitas pasien TB tanpa HIV dan TB dengan HIV di Indonesia secara berturut-turut sebanyak 134.000 dan 6.700 kasus.
“Apabila dijumlahkan, total pasien TB yang meninggal selama setahun sebanyak 140.700, yang artinya, terdapat 385 pasien meninggal setiap harinya atau 16 orang meninggal setiap jamnya karena TB,” ujar Prof. Erlina.
Permasalahan TB bertambah karena belum optimalnya temuan kasus, sehingga menjadi sumber penularan di masyarakat, serta rendahnya kepatuhan pasien TB dalam pengobatan yang menyebabkan meningkatnya risiko TB resisten obat. Selain itu, di bidang sosio-ekonomi, pasien TB menghadapi stigma, diskriminasi, hingga kehilangan kesempatan untuk belajar, bekerja, dan bermasyarakat.
Secara global, sekitar 50 persen pasien TB dan keluarganya menghadapi pengeluaran total melebihi pendapatannya hingga lebih dari 20%, yang terdiri dari pengeluaran biaya medis langsung, biaya non medis, dan biaya tidak langsung seperti kerugian pendapatan. Untuk mengakhiri epidemi TB pada 2030 dan menekan kasus TB kurang dari 1 kasus per 1 juta penduduk pada 2050, Indonesia menjalankan upaya eliminasi TB yang selaras dengan program End TB Strategy yang diinisiasi oleh WHO.
Tiga pilar utama dalam program tersebut mencakup pelayanan dan pencegahan TB yang terintegrasi dan berpusat pada pasien; kebijakan dan komitmen politik dalam sektor kesehatan untuk eliminasi TB di Indonesia; serta penelitian dan inovasi dalam menyikapi tantangan terkait TB di Indonesia.
End TB Agenda menargetkan penurunan angka kematian TB sebanyak 90 persen, penurunan kasus TB sebanyak 80 persen, serta peniadaan beban biaya yang ditanggung oleh pasien TB dan keluarga pada 2030.
Prof. Erlina berpendapat bahwa target ini tidak akan tercapai jika masyarakat masih bersikap business as usual. Untuk itu, ia mendorong agar seluruh pihak mampu mengoptimalkan apa yang ada sambil mendorong segala inovasi pada diagnosis dan skrining TB. Termasuk penerapan kecerdasan buatan, pencegahan, pengobatan dan penerapan paduan pengobatan baru, serta vaksin baru pengganti Bacille Calmette-Guerin (BCG).
Prof. Erlina menyebut bahwa dalam upaya eliminasi, pemerintah dan masyarakat dapat belajar dari keberhasilan penanganan Covid-19 di Indonesia.
“Saya sangat iri dengan (penanganan) Covid. Pada saat pandemi Covid, semua orang berbicara tentang itu. Media massa mengulas tentang itu dan edukasi ada di mana-mana, mulai dari siang-malam, (yang disampaikan) orang medis dan orang awam, sehingga masyarakat tersadarkan. Jika ini kita lakukan untuk TB, saya yakin TB juga bisa dieliminasi,” kata Prof. Erlina.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa penanggulangan TB harus melibatkan semua instrumen yang ada. Khususnya kolaborasi yang melibatkan kesadaran dan motivasi berbagai pihak, seperti presiden dan wakil presiden. Tak lupa kontribusi para menteri, kepala daerah, pelaku usaha, organisasi profesi, masyarakat agama dan budaya, juga institusi pendidikan untuk menciptakan orkestrasi eliminasi TB 2030. Orkestrasi aksi memberantas TB secara nasional penting demi menghasilkan luaran yang optimal.
Penelitian Prof. Erlina terkait eliminasi TB ini merupakan satu dari sekian banyak penelitian yang sudah ia lakukan sebelumnya. Beberapa di antaranya adalah; Characteristics of Drug-sensitive and Drug-resistant Tuberculosis Cases among Adults at Tuberculosis Referral Hospitals in Indonesia (2022), Treatment Strategy for Rifampin-Susceptible Tuberculosis (2023), Evaluation of Safety and Effectiveness of Remdesivir in Treating Covid-19 Patients after Emergency Use Authorization Study (2023), dan Characteristics and Outcomes of Patients with Severe Covid-19 in Indonesia: Lessons from the First Wave (2023).
Prof. Erlina menamatkan pendidikan Dokter Umum, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada 1990. Meraih Master of Science in Community Health, Heidelberg University, Jerman pada 1995. Ia melanjutkan pendidikan Spesialis Paru tahun 2004; pendidikan Konsultan Infeksi Pernapasan tahun 2010; dan Doktor di FKUI tahun 2012.
Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Respiratory Care Indonesia; Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; Ketua Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; dan Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia untuk TB. Prosesi pengukuhan guru besar Prof. Erlina juga dihadiri oleh Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso, dr. Alvin Kosasih, Sp.P,(K), MKM, FISR, FAPSR, FISQua; Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Dr. Janedjri M. Gaffar, M.Si.; Direktur Utama PT Etana Biotechnologies Indonesia, Nathan Tirtana; Dirjen P2PM Kemenkes, dr. Imran Pambudi, MPHM; Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. dr. Rovina Ruslami, Sp.PD, Ph.D; dan Guru Besar Universitas Padjajaran, Prof. dr. Bachti Alisjahbana, Sp.PD-KPTI, Ph.D.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post