Jakarta, Prohealth.id – Menurut Yayasan Cahaya Guru, program makan siang gratis tidak menjawab problem utama pendidikan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pembiayaan program makan siang gratis bakal bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah atau (BOS). Airlangga menyampaikan pernyataan saat melakukan simulasi makan siang gratis di SMP Negeri Curug, Kabupaten Tangerang, Kamis (29/2/2023) lalu.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Prohealth.id, Yayasan Cahaya Guru menyatakan sampai saat ini masih banyak terjadi kasus-kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi di sekolah. Oleh karenanya, penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk proyek makan siang gratis tidak tepat. Dana BOS seharusnya untuk peningkatan kualitas belajar mengajar di sekolah seperti gaji guru dan karyawan, kebutuhan belajar mengajar seperti buku dan alat tulis, biaya listrik, air, perawatan gedung sekolah serta pengembangan pendidikan karakter termasuk program pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah.
Jumlah kekerasan di satuan pendidikan semakin hari semakin mengkhawatirkan. Dari data yang dikumpulkan YCG selama 2023 terjadi 139 kasus-kasus kekerasan dan 19 orang korban meninggal dunia. Sampai saat ini juga masih terjadi kasus-kasus kekerasan dan perundungan seperti yang terjadi di salah satu sekolah swasta di Tangerang Selatan. Ada pula sebuah kasus di Pondok Pesantren di Kediri, Jawa Timur. Kasus ini mengundang keprihatinan banyak pihak karena korban meninggal dunia sementara Pondok Pesantren tersebut diduga belum memiliki izin dari Kementerian Agama.
Muhammad Mukhlisin, Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru menyatakan YCG tidak setuju jika wacana makan siang gratis menggunakan alokasi dana pendidikan. Pemerintah masih punya pekerjaan utama di dunia pendidikan, yaitu pencegahan dan penanganan kekerasan.
“Kita tidak bisa membiarkan anak-anak menjadi korban perundungan dan kekerasan dari waktu ke waktu. Perlu upaya serius dan pelibatan berbagai pihak. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka slogan Indonesia Emas 2045 hanya pepesan kosong” tegasnya.
Mukhlisin menegaskan bahwa kekerasan di satuan pendidikan merupakan salah satu problem pendidikan yang harus segera tuntas. Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus memberikan jalan keluar mengatasi kekerasan ini dengan melibatkan berbagai kalangan.
“Tidak cukup hanya menerbitkan kebijakan, namun juga perlu mendorong peran keluarga, dan masyarakat untuk mencegah kekerasan dan menumbuhkan pendidikan kemanusiaan,” kata Mukhlisin.
YCG menegaskan bahwa anggaran pendidikan seharusnya digunakan untuk mengatasi permasalahan kekerasan di satuan pendidikan. Penggunaan anggaran pendidikan untuk menutupi janji kampanye salah satu paslon presiden jelas merupakan penyimpangan dari agenda penuntasan permasalahan terbesar di dunia pendidikan.
Secara terpisah Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI memberikan beberapa catatan terkait program makan siang gratis. Pertama, JPPI mempertanyakan lagi tujuan program karena masih belum jelas. Apalagi beragam kabar masih simpang-siur beredar dalam masyarakat.
“Ada yang bilang untuk pencegahan stunting, pemenuhan gizi, tambahan makan siang, dan lain sebagainya,” katanya.
Ia menegaskan bahwa jika program untuk pencegahan stunting, maka program ini tidak ada manfaatnya. Kedua, jika untuk program pencegahan stunting, maka peruntukan yang adalah untuk ibu hamil dan anak hingga usia 2 tahun.
“Jika untuk pemenuhan gizi, apa artinya makan siang, jika anak-anak itu berangkat sekolah dengan perut kosong tidak sarapan, lalu malamnya makan mie atau seblak? Maka makan siang untuk pemenuhan gizi ini tidak ada artinya.”
Kedua, JPPI juga menyoroti biaya pendidikan yang bertambah mahal. Ia menilai, jika program ini dipaksakan, jelas akan jadi beban anggaran dan menambah utang negara. Akibat lainnya, tarif biaya pendidikan makin mahal dan tak terjangkau. Sementara masih banyak masyarakat menjerit karena biaya pendidikan dan belum terlaksananya program wajib belajar 12 tahun secara bebas biaya. “Di sekolah negari saja masih banyak pungli, apalagi di sekolah swasta maka biaya sekolah kian tak terjangkau,” tuturnya.
Ketiga, biaya makan siang rawan kebocoran yang mengakibatkan banyak kepala sekolah dan guru justru potensial masuk penjara.
“Kita harus menyadari, hingga kini sektor pendidikan maish masuk kategori 5 sektor terkorup di Indonesia. Maka, biaya makan siang yang jumlahnya sangat fantastis ini, bisa menjadi angin segar bagi para oknum di sektor pendidikan untuk melancarkan aksinya,” kata Ubaid.
Sebagai contoh, pemanfaatan dana BOS saja menurut Ubaid sampai hari ini masih bermasalah, apalagi dengan dana makan siang gratis nantinya. Keempat, jika program makan siang gratis ini dipaksakan, maka anggaran makan siang seharusnya berasal dari luar anggaran pendidikan. Saat ini anggaran pendidikan jumlahnya 20 persen. Porsi anggaran itu pun sudah sangat terbebani dengan gaji guru dan belanja operasional pegawai. Akibatnya, tidak dapat banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan akses dan juga mendorong kualitas pendidikan lebih baik.
Kelima, Ubaid menyebut bahwa pemerintah harus mendahulukan problem perioritas, daripada pelunasan janji kampanye demi populisme. Berdasarkan data BPS 2023, rata-rata lama sekolah nasional di Indonesia masih 8,7 tahun. Artinya setara SMP saja belum semua masyarakat Indonesia sudah lulus. Sementara dari segi kualitas, berdasarkan skor PISA 2022, kemampuan literasi-numerasi pelajar Indonesia masuk dalam kategori salah satu negara dengan skor terendah dan di bawah standar minimum rata-rata di dunia.
“Artinya, SDM Indonesia sudah sangat ketinggalan dari negara-negara luar, bahkan kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Apakah ini bisa diselesaikan dengan makan siang? Jelas tidak,” kata Ubaid.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post