Jakarta, Prohealth.id – Flu Singapura yang merebak mencemaskan para orang tua karena penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak. Penyakit ini masuk kategori ringan, tapi daya penularannya begitu tinggi. Bagi anak yang terjangkit flu ini menjadi malas untuk makan. Ini terjadi biasanya akibat ada sariawan di rongga mulut. Gejalanya yang khas membuat penyakit ini dikenal sebagai Hand, Foot, and Mouth Disease (HFMD).
Sebetulnya ini sudah dikenal pada 1957 di Kanada. Kemudian kasusnya banyak terjadi di Singapura sehingga sering disebut sebagai flu Singapura. HFMD atau flu Singapura adalah kumpulan gejala berupa lesi kulit. Terutama di tangan, telapak tangan, kaki, dan mulut.
“Gejala fisiknya merah-merah di telapak tangan, kaki, dan mulut. Flu Singapura disebabkan oleh virus dan banyak menyerang anak terutama di usia kurang dari lima tahun. Untuk orang dewasa bisa terkena tetapi kasusnya sangat jarang,” ungkap profesor Edi Hartoyo.
Dia menyebutkan penyebab flu Singapura adalah Coxsackievirus 16 (CA16) dan Enterovirus 71 (EV71). Meski merupakan penyakit yang ringan dan jarang menyebabkan kematian tetapi ada beberapa komplikasi yang perlu diwaspadai seperti komplikasi ke meningitis atau encephalitis. Insiden encephalitis di Taiwan akibat flu Singapura relatif tinggi dibandingkan dengan di Indonesia.
HFMD atau flu Singapura pernah menjadi wabah di Malaysia pada 1997, Taiwan, Tiongkok, dan Singapura pada 2000-an. Lalu Vietnam dan Indonesia pada 2009. Bahkan di Indonesia ada kasus yang menyebabkan kematian.
Cara Penularan Flu Singapura
Penularan bisa terjadi lewat kontak langsung maupun tidak langsung. Kontak langsung bisa dari sumber droplet. Misalnya batuk atau bersin. Bisa juga lewat sentuhan atau cairan. Hampir mirip penularan COVID-19. Sedangkan penularan tidak langsung misalnya melalui baju, peralatan makan, atau mainan.
Kalau virus masuk ke dalam saluran pernapasan maka akan terus ke laring tenggorokan. Kemudian di usus memperbanyak diri dan menyebar ke kelenjar limpa dalam waktu 24 jam. Komplikasi yang harus diwaspadai kalau menyerang otak. “Bisa menyebabkan meningitis maupun encephalitis walaupun kasusnya sangat jarang,” terang Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tersebut dalam seminar daring “Flu Singapura pada Anak” pada Maret ini.
Sejumlah jurnal melaporkan komplikasi ke encephalitis atau meningitis seperti yang terjadi di Singapura dan Taiwan. Karena itu perlu untuk waspada HFMD atau flu Singapura. Kalau ada gejala yang menunjukkan ke arah infeksi berat maka harus dirawat di rumah sakit. Misalnya anak demam tinggi, nafas cepat kaya orang sesak, dan kadang-kadang bisa memicu kejang. Terutama pada anak-anak yang ada riwayat kejang dari keluarga.Untuk komplikasi ke meningitis atau encephalitis itu gejalanya rasa agak nyeri. Hal ini bisa mengakibatkan tidak sadar, kejang, koma, bahkan kelumpuhan.
Gejala Flu Singapura
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini memaparkan ada sejumlah gejala flu Singapura yang dia teliti di Banjarmasin pada 2016. Dari 2000 kasus, demam persentasenya 70. Sedangkan lesi di kulit, di telapak tangan, telapak kaki, dan mulut itu hampir 100 persen.
Nyeri saat menelan yang menyebabkan anak tidak mau makan 83 persen. Kadang-kadang disertai batuk, pilek, sekitar 45 sampai 50 persen, dan bahkan ada muntah, kejang. Kejang sekitar 11 persen. Sebanyak 91 persen anak yang mengalami flu Singapura ada lesi di mulut, telapak tangan, dan kaki.
Namun tidak semuanya muncul. Hanya 78 persen pada mulut dan telapak kaki. 89 persen pada mulut dan telapak tangan. Kemudian telapak tangan dan kaki juga 52 persen. Mulut dan bokong 65 persen. Seluruh badan atau general HFMD sekitar 39 persen. Ini dibuktikan berdasarkan hasil PCR atau virus di lesinya.
Kalau ada demam kemudian tidak mau makan itu akibat nyeri pada tenggorokan. Ini membuat anak kelihatan lesu terutama pada anak-anak yang agak besar. “Nanti kalau ada anak kena sariawan tolong dilihat jangan-jangan bukan sariawan murni. Tetapi salah satu dari gejala flu Singapura,” ucapnya.
Edi menekankan pula pentingnya diagnosis klinis atas penyakit ini untuk dilihat wujud kelainannya. Hal ini dilakukan dengan swab tenggorokan maupun pemeriksaan feses untuk mendeteksi adanya virus. Sedangkan untuk serologi belum tersedia. Di samping itu bisa dengan biopsi otak. Tetapi biopsi otak itu selain susah, biasanya dilakukan saat post mortum atau setelah pasiennya tidak ada.
Pengobatan dan Pencegahan
Meski belum ada vaksinasi khusus untuk penyakit ini tetapi kabar baiknya bahwa penyakit ini bisa sembuh sendiri tanpa harus pengobatan yang spesifik. Edi menguraikan daya tahan tubuh yang baik akan membuat penyakit ini akan sembuh sendiri dalam waktu 7 sampai 10 hari. Cukup cairan oralnya untuk mencegah dehidrasi, cukup istirahat, dan makanan bergizi.
“Istirahat cukup kemudian terapi simtomatik. Kalau dia demam kasih obat panas. Boleh pakai obat kumur. Pada anak-anak dengan imunodefisiensi atau anak dengan imunokompromais bisa diberikan immunoglobulin. Tetapi sangat-sangat jarang.”
Sedangkan untuk penularan flu Singapura hampir sama dengan COVID-19 sehingga pencegahannya tidak jauh berbeda. Sanitasi harus dijaga. Baik diri sendiri maupun lingkungan. Seperti cuci tangan, peralatan makan, atau mainannya harus didisinfeksi atau dicuci bersih. Tak lupa, Edi senantiasa mengingatkan pentingnya nutrisi yang baik. “Karena nutrisi yang baik membangun daya tahan tubuh yang baik,” katanya.
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post