Produk yang ramai di pasaran saat ini memiliki target pasar anak dan remaja. Prevalensi penggunanya pun menyentuh angka 10,9 persen pada kelompok usia 10-18 tahun.
Survei dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan dalam rentang waktu tahun 2014 hingga 2019 terjadi peningkatan prevalensi perokok pelajar usia 13–15 tahun dari 18,3 persen menjadi 19,2 persen. Tentunya, hal ini adalah permasalahan serius yang membutuhkan perhatian dari banyak pihak.
Merespons persoalan ini, Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) ke-9 menggelar Youth Forum ke-8. Tujuannya dalam rangka menanamkan kesadaran dan semangat anak muda untuk mengendalikan konsumsi rokok elektronik. Upaya ini merupakan salah satu langkah ICTOH dalam mewujudkan Indonesia Emas di 2045 nanti.
Forum ini turut menghadirkan berbagai pihak terkait, termasuk Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc., Sp.P(K). Dokter dari Divisi Infeksi, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (DPKR-FKUI). Dalam kesempatan tersebut, dr. Erlina menuturkan bahwa ada pemahaman yang salah terkait rokok elektronik di tengah-tengah masyarakat kita. Menurutnya, rokok elektronik tidak lebih aman dari rokok konvensional. Ada banyak zat kimia penyebab kanker dan tuberkulosis yang terkandung dalam rokok elektronik.
“Ini pemahaman yang salah bahwa vape lebih aman dari rokok,” ujar dr. Erlina.
Selain itu, Mouhamad Bigwanto, Peneliti Kebijakan dari Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) mengatakan bahwa ada masalah mengakar terkait kebijakan kesehatan di Indonesia yang berkaitan dengan industri tembakau. Menurutnya, perlu ada langkah penyelesaian dari hulu untuk masalah satu ini.
“Cara termudah harusnya menyelesaikan dari hulu. Salah satunya dengan melarang secara industri tembakau mendapatkan akses jangkauan ke anak-anak.” Jelasnya.
Ada banyak cara untuk menyelesaikan permasalahan satu ini. Dalam 9th ICTOH 2024 dengan tema “Hentikan Campur Tangan Industri Tembakau, Demi Perlindungan Anak!”, turut membahas upaya penanganan dan juga pengendalian dari berbagai pihak.
Ayu Sri Wahyuni, perwakilan dari Hassanudin Contact dan MudaMudi Aksi TC, menyampaikan salah satu strateginya adalah melalui Peraturan kota Makassar untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Menurut Ayu, penguatan peraturan ini bisa dengan menggandeng pihak luar seperti universitas, pihak swasta, hingga tokoh masyarakat.
“Penguatan komitmen juga diperlukan dari universitas dan pihak swasta. Bahkan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat,” Jelas Ayu.
Sementara itu, Daniel Christanto, Peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga menambahkan pengalamannya mewujudkan Kampus Tanpa Asap Rokok di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur.
Keterlibatan Anak Muda
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, anak muda juga perlu turun tangan mendobrak regulasi yang ada. Dalam sebuah diskusi panel bertajuk “Pandangan Remaja: Mitigasi Interferensi Indutri Tembakau dalam Penyusunan Kebijakan,” Beladenta Amalia, perwakilan dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengatakan bahwa kemudahan akses untuk mendapatkan rokok ini merugikan
“Sekarang rokok eceran dan gerai jual rokok itu sangat murah aksesnya. Di Bandung sendiri saat ini, rokok eceran dan gerai jual rokok sangat mudah dijangkau dan akibatnya mudah dikonsumsi anak muda,” Jelas Bella.
Menambahkan hal ini, Anisya Aulia Lestari, Ketua Panitia Youth Forum ke-8 menyatakan penting bagi kita semua menyadari peran anak muda dalam penanganan konsumsi rokok. Anak muda perlu untuk saling menularkan pengetahuan dan kapasitas mereka dalam upaya pencegahan konsumsi rokok. Hal ini bisa dimulai dari keluarga hingga lingkungan pertemanan.
Ni Made Shellasih, mewakili Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) juga trutu berpendapat dengan menegaskan pentingnya transparansi dari pemerintah. Pasalnya, perilaku industri tembakau di manapun di dunia ini seharunya sama, Namun yang membedakan adalah respon dari pemerintahannya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post