Jakarta, Prohealth.id – Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menemukan usia sekolah mendominasi umur pertama kali merokok pada perokok di Indonesia.
SKI menyebut, anak berusia 15-19 tahun sebanyak 56,5 persen, lalu perokok usia 10-14 tahun yaitu18,4 persen adalah yang paling dominan. Angka ini senada dengan temuan Global Youth Tobacco Survey 2019 yang menunjukkan adanya kenaikan prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun.
Meskipun begitu, Kmenterian Kesehatan menyebutkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun telah menunjukkan penurunan menjadi 7,4 persen. Angka ini masih tinggi, jika berkaca dari target RPJMN 2014-2019 sebesar 5,4 persen. Bahkan angka prevalensi satu dekade lalu sebesar 7,2 persen.
Beladenta Amalia, Project Lead for Tobacco Control, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan, tingginya angka perokok anak memperlihatkan masih lemahnya komitmen pemerintah, khususnya kementerian terkait, dalam melindungi anak dari bahaya rokok.
“Apalagi, jumlah perokok aktif di Indonesia sekitar 77 juta orang dan termasuk yang paling tinggi di dunia,” katanya pada Jumat, 31 Mei 2024 lalu.
Bertepatan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2024, CISDI bekerja sama dengan Indonesian Youth Council For Tactical Changes (IYCTC) dan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) yang tergabung dalam Koalisi Pengendalian Tembakau menyelenggarakan survei penilaian dan aspirasi publik terhadap kinerja dan komitmen pemerintah dalam melindungi anak-anak dari bahaya rokok selama lima tahun terakhir.
Survei ini menyoroti Sembilan kementerian yang memiliki kewenangan untuk mengupayakan perlindungan anak dari bahaya rokok. Sebanyak 115 responden dari 15 provinsi telah mengikuti survei daring pada 22-29 Mei lalu. Hasilnya, mayoritas responden menganggap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai lembaga negara yang paling melindungi kesehatan anak dari bahaya rokok. Posisi kedua adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
KPPPA mendapatkan skor tertinggi karena dinilai cukup berkomitmen dalam memenuhi hak kesehatan anak. Alasannya, karena KPPPA memasukkan indikator kawasan tanpa rokok (KTR) dan pembatasan iklan, promosi, dan sponsor sebagai kriteria Kota Layak Anak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2022.
Amurwani Dwi Lestariningsih, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak dan Pendidikan KPPPA, menyatakan Kementerian PPPA akan terus berkomitmen memerangi adiksi nikotin. Terutama untuk melindungi anak-anak, karena dampaknya panjang dan tidak langsung terasa sekarang.
“Apalagi, cost untuk membiayai penyakit akibat merokok lebih tinggi,” ujar Amurwani.
Berada di posisi buntut dalam hasil survei, Kementerian Perindustrian dinilai masih jauh dari komitmen melindungi anak dari bahaya rokok. Kementerian ini dianggap kerap memberi ruang kepada industri rokok lewat dukungan investasi produk olahan tembakau yang berorientasi ekonomi. Kementerian ini abai pada perlindungan kesehatan masyarakat, khususnya anak.
Menindaklanjuti hasil survei, perwakilan CISDI menyambangi kantor KPPPA, Bappenas, dan Kementerian Perindustrian pada Jumat, 31 Mei 2024. Tim CISDI menyerahkan karangan bunga beserta rekomendasi penilaian dari publik terhadap kinerja ketiga kementerian tersebut dalam melindungi anak dari bahaya rokok.
Riset CISDI tahun 2023 menemukan 7 dari 10 peserta diskusi merupakan pelajar SMP dan SMA mencoba rokok untuk pertama kalinya dengan rokok batangan. Promosi yang masif dan harga terjangkau membuat pelajar terus membeli rokok batangan. Mereka merogoh kocek sebesar Rp30 ribu hingga Rp200 ribu setiap minggu hanya untuk membeli produk tembakau yang membahayakan kesehatan tersebut.
Beladenta menyatakan kepuasan publik terhadap kinerja kementerian secara umum dalam melindungi anak-anak kita ternyata masih relatif rendah. Pemerintah perlu memperhatikan penilaian publik ini sebagai bahan evaluasi serta memperkuat kembali komitmen perlindungan anak dari bahaya rokok.
“Jangan sampai momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia hanya menjadi ajang selebrasi yang melupakan esensi perlindungan hak atas kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak,” ujar Beladenta.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang kini masih dalam penggodokan oleh pemerintah jangan sampai luput dari pengawalan. Sebab, dalam draf rancangan versi September 2023 terbyka untuk publik, pemerintah telah memasukkan pasal-pasal pengamanan zat adiktif yang mengatur upaya perlindungan anak dari bahaya rokok. RPP Kesehatan antara lain mengatur pelarangan penjualan rokok bagi anak, remaja, dan ibu hamil.
Pentingnya dukungan untuk pengesahan rancangan RPP ini karena memuat pasal-pasal tentang pelarangan penjualan rokok batangan, iklan, hingga promosi dan sponsor produk rokok.
“RPP ini dapat membatasi ruang gerak industri rokok yang mengincar anak-anak sebagai konsumennya,” ucap Beladenta.
CISDI bersama IYCTC dan RUKKI menyampaikan tiga poin rekomendasi senada dengan harapan publik sesuai hasil survei.
Pertama, pemerintah harus memprioritaskan perlindungan anak dari bahaya rokok di atas kepentingan industri hasil tembakau. Ini adalah salah satu strategi pembangunan untuk mencapai Generasi Emas 2045.
Kedua, terdapat harmonisasi lintas kementerian dan lembaga untuk melindungi anak dan mencegah campur tangan industri hasil tembakau. Terutama dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan karena adanya benturan kepentingan.
Ketiga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Bappenas dapat menunjukkan kepemimpinannya dan menjadi role model bagi kementerian lain. Terutama dalam perlindungan anak-anak dari bahaya rokok.
“Kami berharap pemerintah mendengarkan dan menerapkan rekomendasi ini secara tepat dan konsisten. Komitmen kuat untuk melindungi anak dari bahaya rokok perlu diimplementasikan lewat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bukan hanya sektor industri semata,” kata Beladenta.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post