Mengacu data Kementerian Kesehatan, angka kejadian tuberkulosis pada anak di Indonesia pada 2023 mencapai 136.969 kasus per 1 Maret 2024. Tuberkulosis pada anak seringkali terabaikan oleh penyedia layanan kesehatan karena sulitnya mendeteksi dan mendiagnosis kasus tersebut.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sinta Dewi Lestyoningrum menyatakan, jumlah biaya medis untuk pengobatan tuberkulosis (TB) terhitung dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan upah minimum regional (UMR) Provinsi Yogyakarta tahun 2022 per hari.
Kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya dalam menghitung cost of illness (COI) TB anak berdasarkan perspektif fasilitas kesehatan.
“Secara total, pelayan kesehatan tingkat lanjut yang menjadi rujukan pengobatan TB anak setidaknya menghabiskan rata-rata Rp988 ribu untuk setiap periode pengobatan,” kata Sinta, dalam webinar bertajuk “Tantangan dan Strategi dalam Upaya Percepatan Penurunan Kematian Neonatal, Bayi dan Balita”, Rabu, 12 Juni 2024 lalu.
Secara total, pasien tuberkulosis anak menjalani rata-rata delapan kali kunjungan dari awal diagnosis hingga dinyatakan sembuh baik di rumah sakit (RS) maupun di puskesmas, dengan biaya mencapai Rp 119 ribu per kunjungan.
Hitungan COI TB anak berdasarkan perspektif fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) ini menghitung seluruh biaya medis yang ditanggung oleh RS selama pengobatan, tanpa memandang cara pembayaran pasien TB anak. Biaya medis ini belum mencakup biaya langsung non-pengobatan lainnya, seperti biaya transportasi dan biaya makan selama pengobatan.
Lebih lanjut kata Sinta, hasil uji ekonometrik menunjukkan bahwa biaya profesional, biaya obat, biaya laboratorium, dan biaya penunjang medis berpengaruh signifikan terhadap besar biaya total pengobatan TB anak.
“Biaya profesional ini termasuk konsultasi dengan dokter spesialis, dokter gizi, dan kami temui beberapa pasien TB anak menjalani terapi psikologi,” jelas Sinta.
Biaya obat juga berkontribusi signifikan, karena beberapa pasien yang dirujuk disertai dengan komplikasi lain, seperti malnutrisi atau penyakit tambahan lain selama masa pengobatan, sehingga meningkatkan biaya pengobatan.
“Karena mengalami TB, daya tubuh pasien menurun, sehingga mudah sekali mengalami komplikasi lainnya,” tambah dia.
Rerata pasien TB anak dalam penelitian ini bervariasi, baik dari jumlah kunjungan dan jenis pengobatan tambahan selain obat TB. Hal ini menjadikan jumlah biaya per pasien akan berbeda dengan yang lain sesuai dengan gangguan bawaan yang mengiringi TB anak.
Fokus Penelitian di Yogyakarta
Sinta menjelaskan, penelitian yang dia dan tim lakukan merupakan salah satu penelitian cross-sectional, yang dilaksanakan di fasyankes Yogyakarta pada 2023.
Menurut Sinta, Yogyakarta dijadikan fokus penelitian, karena provinsi ini dilaporkan memiliki 2,82 persen TB anak dari jumlah seluruh kasus TB, dengan success rate 88 persen. Angka TB anak di Yogyakarta pada 2023 meningkat 542 kasus dari jumlah kasus 1.906 kasus pada 2022.
“Mengapa kami fokus pada tuberkulosis anak? Karena penelitian perhitungan beban ekonomi khusus untuk penyakit spesifik TB anak masih jarang dilakukan. Penelitian ini menggunakan perspektif perhitungan COI dari fasyankes untuk menghitung seluruh biaya pengobatan TB anak,” ungkap Sinta.
COI, jelas Sinta, adalah metode untuk menghitung angka kerugian akibat menderita suatu penyakit tertentu. Tujuan dari perhitungan COI adalah untuk mendapatkan deskripsi dari item, nilai, dan jumlah dari biaya yang dihabiskan untuk perawatan satu penyakit tertentu.
Data penelitian merupakan data retrospektif dari data billing dan medical record dengan ICD code TB pada pasien anak usia 0 hingga 14 tahun, yang telah menyelesaikan masa pengobatan selama 2022 hingga per 1 Maret 2023.
“Data pasien dikumpulkan pada tiga Rumah Sakit Umum Daerah kelas B, C, dan D terpilih, serta perwakilan puskesmas di 3 kab/kota di Provinsi Yogyakarta,” tambah dia.
Seluruh data pasien TB usia 0 hingga 14 tahun yang dinyatakan sembuh di software sistem informasi TB (SITB) per 1 Maret 2023, dilakukan sinkronisasi dengan data yang pihaknya kumpulkan di RS dan puskesmas. Data billing dan medical record pasien di-input ke dalam pivot excel perhitungan COI yang telah ada sebelumnya.
“Seluruh data dilakukan proses cleaning-editing-coding, untuk selanjutnya dilakukan uji baik secara deskriptif maupun statistik,” beber Sinta.
Secara total, terdapat 263 data billing dan medical record yang termasuk dalam kriteria. Sebagian besar atau 56 persen sedang menjalani perawatan dan pengobatan di RS kelas B.
Sejumlah 47 persen pasien merupakan pasien TB dengan usia 0 hingga 2 tahun. Ada 84 persen pasien masih dalam masa pertumbuhan usia 0 sampai 5 tahun.
“Ini menjadi concern juga bagaimana mengurangi angka prevalansi, sehingga kita bisa memastikan bahwa anak usia 0 sampai 5 tahun bisa mendapatkan perawatan dan pengobatan TB. Jika bisa, kita turunkan kembali angka tersebut, sehingga meningkatkan kualitas kesehatan anak usia 0 sampai 5 tahun,” tuturnya.
Untuk jumlah kunjungan rawat jalan, sebut Sinta, sebagian besar pasien setidaknya membutuhkan enam hingga sepuluh kali kunjungan, mulai dari didiagnosis TB anak sampai dinyatakan sembuh.
“Jika kita lihat sebaran berdasarkan skema pendanaan, kami membagi menjadi skema pendanaan BPJS non penerima bantuan iuran (PBI), BPJS Kis atau PBI, dan pendanaan out of pocket (OOP). Sebagian besar pasien menggunakan BPJS non PBI, dan hanya ada dua pasien yang melakukan pendanaan OOP atau umum,” urainya.
Pasien TB anak sebagian merupakan pasien yang memulai masa sekolah (PAUD-TK-SD). Dari penelitian ini, Sinta merekomendasikan perlunya kerja sama komprehensif dengan dinas pendidikan terkait dengan promosi kesehatan dan pencegahan penularan di tingkat sekolah.
Akses pengobatan menjadi salah satu isu juga berkaitan dengan hasil penelitian ini. Beberapa pasien TB anak dengan kondisi kesehatan tertentu membutuhkan pengobatan rutin di RS.
“Namun beberapa pasien memiliki kemungkinan untuk meneruskan pengobatan dengan pengambilan obat di fasyankes pertama tanpa mengurangi follow up hasil perkembangan,” tutur Sinta.
Mempermudah akses pengobatan melalui kerja sama dengan kader TB, menurut dia, sebagai saran untuk menekan biaya pasien TB anak selama menjalani pengobatan.
“Diperlukan komitmen pendanaan baik dari APBD maupun APBN. Sehingga, pelaksanaan program dapat berjalan dengan baik, khususnya untuk penemuan kasus, investigasi kontak, dan upaya pencegahan,” tandasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post