Kamar di rumah Ahmad Aris (29) cukup sederhana. Luas kamarnya sekitar 4 meter x 5 meter berdinding dan berlantai kayu. Di kamar itulah Aris, istri, serta kedua anaknya tiap malam terlelap. Namun, Aris setiap malam khawatir karena sudah dua bulan ini tikus menggigit kedua anaknya sebanyak tiga kali. Tikus-tikus itu bisa masuk ke kamarnya lewat sela-sela lubang tampungan air yang berada di lantai kamar. Ia takut kedua anaknya mengalami hal yang sama dengannya, terpapar penyakit leptospirosis.
Aris menderita penyakit leptospirosis pada Maret 2024. Sekitar empat bulan lalu, ia merasakan gejala berupa nyeri tulang yang tak tertahankan, meriang, dan demam. Seumur hidup, pria yang berubah haluan profesi dari nelayan ke petani garam ini tidak pernah mendengar tentang penyakit leptospirosis. Aris justru mengetahuinya ketika dirawat selama 13 hari di rumah sakit di wilayah Kabupaten Demak.
“Saya kira kena demam berdarah (DBD). Waktu itu awal gejalanya saat pulang dari mencari ikan rasanya capek sekali, tiba-tiba badan sakit semua, nyeri tulang, demam tinggi, dan tubuh tidak bisa digerakkan,” ujar Aris kepada Prohealth.id pada 21 Juni 2024 lalu.
Ia sempat ke dokter di sekitar kampung untuk memeriksakan kesehatannya. Saat itu, ia hanya diberi obat. Karena tak kunjung membaik, ia memutuskan pergi ke puskesmas. Ia kemudian dirujuk ke rumah sakit.
Aris kaget mendengar vonis dokter. Ia positif mengalami leptospirosis, meski merasa tak pernah digigit tikus.
“Dikasih tahu dokter kena sakit kencing tikus. Keluarga heran ada penyakit tersebut, tapi mereka menerima karena di rumah banyak tikus.”
Jumlah tikus yang berkeliaran di sekitar rumah Aris memang fantastis. Ia mengklaim jumlah tikus hingga ratusan. Tikus-tikus itu, kata Aris, setiap malam berkeliling ke setiap sudut rumahnya hingga menimbulkan suara gaduh.
“Saya lihat piring buat makan diinjak tikus, centong nasi digigiti. Tikus-tikus itu masuk ke rumah lewat titik lubang. Jumlah lubang itu di rumah ada sebanyak 20-an yang tersebar di semua ruangan rumah,” terang Aris.
Aris tak berdiam diri saja ketika dinding kayu rumah mertuanya itu digerogoti tikus. Ia sudah berusaha menutupnya dengan papan atau menyumpal dengan plastik, tetapi tikus-tikus itu kembali membuat lubang baru. Aris berniat membasmi tikus itu entah dengan obat atau perangkap. Namun, sang mertua melarangnya dengan dalih kasihan. Selain itu, ketika meracuni tikus, ia khawatir tikus itu mati dan bangkainya akan terselip di sela-sela dinding kayu rumah. Akibatnya, bangkai tikus sulit disingkirkan dan malah akan menimbulkan bau tak sedap.
“Rumah ini merupakan bangunan rumah kayu kuno. Sehingga ketika tikus mati di sela dinding, kami akan kesulitan mencarinya. Misal pun ketemu, kita harus bobol dinding kayunya,” kata Aris.
Ia melanjutkan, rumah ini disambangi banyak tikus karena bangunan rumah berasal dari kayu. Sementara, bangunan rumah tetangga kanan-kiri sudah bangunan permanen tembok dan beton. Alhasil tikus-tikus itu beralih ke rumahnya karena lebih mudah dibobol.
Rumah Aris berlokasi di RT 3/RW 1 Desa Babalan. Tepatnya di Kecamatan Wedung, di ujung timur sisi utara Kabupaten Demak yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Jepara. Mayoritas warga bekerja sebagai nelayan. Desa ini berjarak sekitar 25 kilometer dari kantor Pemerintah Kabupaten Demak.
Desa Babalan memiliki jumlah penghuni sembilan orang dengan dua kepala keluarga (KK). Dari sembilan orang tersebut, empat di antaranya merupakan dua balita dan dua anak. Rumah tersebut tak jauh dari sungai Babalan yang berada di sisi utara rumah. Sedangkan jarak rumah dengan sungai hanya 20 meter.
Rumah-rumah penduduk di Desa Babalan tampak sangat rapat dan berada di bantaran kali Babalan. Terutama untuk rumah di RW 1. Selain rumah warga yang berhimpitan, sistem pengelolaan sampah warga juga belum terkelola dengan baik. Akibatnya, banyak tumpukan sampah yang tergenang di sepanjang kali Babalan.
Di kampung nelayan itu juga acapkali terendam air rob terutama ketika musim barat. Terakhir rob merendam kampung Babalan terjadi pada pekan kedua bulan Juni 2024.
Kondisi itu menyebabkan populasi tikus menjadi banyak. Sementara warga tak menganggapnya serius. Menurut mereka, tikus-tikus yang berseliweran di pinggir jalan adalah hal biasa.
Bersama sang istri, Aris hanya bisa berikhtiar untuk terus bertahan hidup. Ia berupaya rajin mencuci peralatan makan, membiasakan cuci tangan serta kaki sebelum makan maupun ketika hendak tidur. Perubahan gaya hidup ini merupakan pelajaran selepas ia merasakan pengalaman menderita leptospirosis. Setiap sudut ruangan rumah yang biasanya penuh dengan barang-barang rumah tangga bekas juga mulai dibereskan.
“Barang rongsok dibersihkan semua. Kondisi sekarang lebih baik dan lebih bersih karena takut ketularan (leptospirosis) lagi,” ujarnya.
Berangkat dari pengalaman tak menyenangkan itu, ia berharap Pemerintah Kabupaten Demak melakukan langkah pemberantasan dan pengendalian populasi tikus di lingkungan rumahnya. Sehingga tak ada yang kembali tertular leptospirosis. “Kami juga ingin petugas puskesmas melakukan cek kesehatan rutin ke masyarakat,” paparnya.
Mantan pasien leptospirosis lainnya, Nuri (56), warga RT 1 RW 1 Babalan, Wedung, Kabupaten Demak. Ia mengingat dengan jelas pengalaman terkena penyakit leptospirosis pada akhir Maret 2022 lalu. Hampir setiap hari rumah Nuri terendam banjir rob. Rumahnya berada persis di muara Sungai Babalan yang hanya selemparan batu dari pesisir pantai. Jarak rumah Nuri dengan Sungai Babalan dipisahkan jalan kampung selebar 3 meter.
Ia melihat banyak tikus yang masuk ke dalam rumahnya akibat tersapu banjir rob. Kala itu, ia tidak berpikir jauh bahwa tikus-tikus itu menjadi pembawa penyakit kritis yang akhirnya ia alami. Nuri mengalami leptospirosis dan dirawat di rumah sakit selama satu minggu.
“Saya sampai masuk ruang ICU. Jalan tidak bisa, mau apa-apa tidak bisa karena demam, tulang nyeri sekali. Penyebabnya yaitu penyakit kencing tikus (leptospirosis),” jelas Nuri saat ditemui di rumahnya, pada Jumat (21/6/2024).
Ayah dari enam anak ini meyakini, banjir rob menjadi biang keladi yang membawa tikus ke dalam rumah hingga menularkan penyakit leptospirosis. Nuri yakin ia tidak pernah digigit tikus. Ia pun tidak meragukan kebersihan rumahnya. Rumahnya terbuat dari tembok, dan itu ia anggap memperkecil peluang tikus untuk masuk. “Paling lewat atap rumah, itu pun tak sampai turun,” katanya.
Selain adanya banjir rob yang sering merendam rumah, Nuri mengakui bahwa ia jarang mencuci tangan dengan sabun sesudah beraktivitas. “Ya cuci tangan pakai air biasa lalu makan,” ujarnya.
Ia sama sekali tak menyangka terkena penyakit leptospirosis. Kini Nuri mengaku lebih berhati-hati dalam menjaga pola hidup karena telah merasakan perihnya menderita leptospirosis.
“Sekarang lebih berhati-hati, ketika pulang dari kerja di laut, mencuci tangan dan kaki dengan sabun,” tutur pria yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan ini.
Petugas Puskesmas Wedung 2, Kabupaten Demak, Khomsiah mengatakan, hampir setiap tahun kasus leptospirosis ditemukan di wilayah Desa Babalan, Kecamatan Wedung. Kasus ini sempat tak ditemukan pada 2023, tetapi muncul kembali tahun 2024.
“Alhamdulillah, setiap temuan kasus dikelola dengan baik, ada screening dini dari gejala yang disampaikan pasien. Ketika mengarah ke leptospirosis, kita overdiagnosis ke penyakitnya sehingga pasien segera dirujuk ke rumah sakit supaya dapat ditangani dengan baik,” terangnya.
Menurut Khomsiah, Desa Babalan termasuk wilayah langganan kasus leptospirosis karena berada di kawasan pesisir. Selain itu, tingkat kepadatan penduduk sangat rapat, dan pengelolaan sampah tidak terkelola dengan baik. “Populasi tikus sangat banyak terutama tikus wirok,” ucapnya.
Pihaknya terus berusaha mengedukasi masyarakat untuk menjaga perilaku hidup bersih dan sehat, serta jangan sampai ada kontak langsung dengan tikus. “Kami juga berpesan agar aktivitas harian warga usahakan selalu cuci tangan pakai sabun,” katanya.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Demak, sejak tahun 2010 hingga Juni 2024 tercatat ada sebanyak 625 penderita leptospirosis dengan jumlah korban meninggal dunia sejumlah 100 orang. Angka kematian tertinggi terjadi pada 2018, sebanyak 24 pasien leptospirosis meninggal dunia, termasuk jumlah penderita sebanyak 92 orang.
Selama kurun waktu 15 tahun, jumlah penderita leptospirosis di Kabupaten Demak cenderung fluktuatif. Namun, angka kasus terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Tercatat tahun 2022, ada sebanyak 42 penderita. Tahun 2023, ada 53 penderita dan hingga Juni 2024, ada 58 penderita. Selalu ada angka kematian dengan penyebab leptospirosis selama 15 tahun itu, kecuali tahun 2015. Meski tak ada yang meninggal dunia pada tahun itu, ada temuan penderita sebanyak 12 orang pasien.
Melihat data itu, Sub-Koordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Demak, Tri Handayani menyebut, ada tiga kecamatan meliputi Mranggen, Sayung, dan Karangawen yang memiliki angka leptospirosis tertinggi dengan masing-masing delapan kasus. Ia menjabarkan, wilayah dengan kondisi apapun, baik pesisir seperti Sayung maupun perkotaan seperti Mranggen tetap berpotensi ada temuan leptospirosis.
“Entah lingkungan pesisir atau tidak, risikonya kena leptospirosis tetap tinggi sepanjang wilayah itu kurang sehat dan tercemar,” paparnya saat ditemui Prohealth.id di kantornya, Jumat (21/6/2024).
Pemerintah menekan angka kasus leptospirosis dengan melakukan langkah pengawasan di masing-masing puskesmas di Kabupaten Demak. Petugas puskesmas akan segera melakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE) saat ada temuan kasus leptospirosis dalam rangka menelisik sumber kasus, cakupan penyebaran wilayahnya, dan jumlah penderitanya. Sedangkan dalam hal pencegahan, pihaknya telah bekerja sama dengan bidang promosi kesehatan (promkes) dan pemberdayaan di lembaganya.
“Namun, sosialisasi pencegahan ini tidak khusus leptospirosis saja melainkan kita gabungkan dengan program lain. Misal, tahun ini kita fokus pencegahan demam berdarah jadi sekalian disosialisasikan karena sama-sama berbasis lingkungan,” terangnya.
Di sisi lain, belum ada perda khusus yang menangani leptospirosis di Kabupaten Demak. Padahal angka kasus leptospirosis cukup tinggi. Meski begitu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak mengklaim serius menangani kasus melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Demak Nomor 440/131 Tahun 2023 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Daerah Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru Kabupaten Demak.
Dalam SK tersebut, Bupati Demak membentuk lima kelompok yang bertugas untuk menangani leptospirosis meliputi Kelompok Kerja Surveilans Berbasis Masyarakat, Kelompok Kerja Surveilans Terpadu, Kelompok Kerja Pendidikan dan Perubahan Perilaku, Kelompok Kerja Pengendalian Vektor dan Lingkungan. Terakhir, berupa Tim Respons Cepat. Kelompok-kelompok tersebut melibatkan lintas sektoral mulai dari Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana, Dinas Komunikasi dan Informatika, Badan Penanggulangan Bencana Daerah serta lembaga lainnya.
Implementasi dari SK itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemkab Demak bersama lembaga lintas sektoral melakukan langkah preventif penyebaran leptospirosis. Tri menerangkan, langkah itu telah dilakukan bekerja sama dengan PMI setempat melalui program dekontaminasi. Selain PMI, Dinkes juga bekerja sama dengan Dinas Pertanian. “Terutama untuk melakukan pengawasan penularan leptospirosis dari hewan lain yakni kambing. Temuan itu pernah ada, tapi sudah lama sekarang sudah belum ada laporan lagi,” ucapnya.
Faktor Kerentanan di Demak
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, dr. Ali Maimun, M.Kes, mengakui pencegahan leptospirosis di Demak termasuk sulit sehingga membutuhkan konsistensi. Pasalnya ada sejumlah indikator yang membuat Demak sangat rentan dengan penyakit leptospirosis.
“Jadi antara banjir yang terjadi kemarin dengan kasus leptospirosis itu tidak ada hubungannya karena leptospirosis Demak sudah lama. Demak itu banyak genangan air, dari rob karena beberapa daerah dan kecamatan ada rob. Di Demak itu juga banyak untuk tempat hidup tikus,” tuturnya.
Faktor kerentanan di Demak selain masalah lingkungan yang punya banyak genangan air, tetapi juga karena mata pencaharian masyarakat mayoritas adalah petani dan nelayan. Mayoritas petani dan nelayan tidak memakai alas kaki sebagai pelindung diri. Kondisi ini menjadi faktor risiko penularan penyakit leptospirosis. Sebagai contoh, ketika ada luka di kaki petani yang tidak memakaibawa alat pelindung diri, petani tersebut makin rentan terkena penyakit leptospirosis.
Faktor ketiga, dr. Ali mengakui tingginya populasi tikus di Demak. Kondisi ini jelas menambah wilayah penularan bakteri leptospira. Terbukti dari penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pernah menyatakan bakteri leptospira tidak hanya tersebar dalam tikus kucing, tetapi juga bisa melalui urine kambing atau sapi.
“Kalau dulu, tim koordinasi Dinas Kesehatan mencatat pasien leptospirosis banyak meninggal, angka kematian tinggi. Diagnosis leptospirosisnya telat. Masuk rumah sakit beberapa hari saja, lalu mati. Ternyata leptospirosis,” kenangnya.
Namun kini, Pemerintah Kabupaten Demak sudah melakukan transformasi penanganan leptospirosis dengan mengandalkan cara preventif atau pencegahan. Awalnya dengan transfer ilmu dan berbagi tips menyosialisasikan bahaya leptospirosis dengan memperkuat surveillance. Penguatan di level puskesmas menjadi prioritas, sehingga deteksi dini secara berkala dilakukan guna mendeteksi leptospirosis. Sebagai hasilnya, temuan leptospirosis semakin banyak, tetapi secara otomatis angka kematian menurun.
Bentuk transfer ilmu tentu sangat beragam. Setelah terbit Peraturan Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Nomor 7 Tahun 2023, Pemkab Demak bekerja sama dengan lembaga USAID untuk mempercepat surveillance. Metode ini dengan memulai proses deteksi dini tidak hanya dengan sampling dari penderita, tetapi juga mempercepat surveillance dari sumber penyebaran awal, yakni tikus.
“Ada dukungan dana untuk membantu pemeriksaan leptospirosis, dan (USAID) memfasilitasi pemeriksaan sampel darah manusia, juga pada hewan-hewan (tikus dan ternak),” ucapnya.
Upaya surveillance ini tidak dilakukan sendiri oleh Dinas Kesehatan dan bantuan dari pusat atau lembaga donor melalui hibah. Kata dr. Ali, Dinas Kesehatan juga berkoordinasi tentang kebersihan lingkungan melalui kolaborasi dengan dinas-dinas yang lain. Misalnya, dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk mengurus masalah kebersihan sungai. Dinas Kesehatan juga bekerja sama dengan Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dalam mendeteksi leptospira yang pada hewan.
“Misalnya untuk tikus sawah, kami kerja sama dengan Dinas Pertanian mereka membantu supaya membunuh massal tikus di sawah. Karena ada sinergi ini dengan Dinas Pertanian. Semua kolaborasi, terpadu, sinergi, dan untuk pemerintah dan masyarakat keperluannya juga kita update, dan kita berikan sehingga ini kasus leptospirosis di Demak menjadi kasus yang bisa diturunkan angka kematiannya,” ujar dr. Ali.
Menjamin Infrastruktur Aman dan Sehat
Menurut Direktur Sanitasi Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Tanozisochi Lase, masalah sanitasi seperti yang dialami beberapa pasien leptospirosis sebenarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan utamanya pemerintah daerah. Dalam UU No. 14 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah, sudah terbagi bahwa sanitasi masuk urusan pemerintah daerah.
“Kalau mau kita ubah, kita harus ubah undang-undangnya. UU itu kan panjang. Bangun sanitasi di Indonesia itu sebenarnya gampang, Rp10-20 triliun, selesai. Tapi ini UU tidak mengatakan seperti itu. Itu tugasnya pemerintah daerah. Tugas kami membuat standar, pembinaan, membantu bagi yang tidak mampu,” jelas pria yang kerap dipanggil Anes ini kepada Prohealth.id ketika ditemui di kantornya, 19 April 2024.
Memang selama ini Kementerian PUPR membantu pemerintah daerah membangun khususnya di pemerintah daerah yang tidak mampu. Adapun pengadaan bantuan membangun sanitasi juga bersifat tidak mutlak, alias tergantung permintaan pemerintah daerah terkait. Namun, seringkali pemerintah daerah tidak memiliki perspektif terkait pengelolaan limbah dan sanitasi yang layak, sehat, dan aman. Hal ini tercermin dari kosongnya rencana induk limbah sampai peraturan daerah tentang pengelolaan limbah. Ia menyimpulkan, keinginan pemda menjadikan pengelolaan sanitasi sebagai program prioritas masih lemah.
“Kami di sanitasi PUPR punya balai-balai. Balai itu membuat tata koordinasi, mengundang Pemda, sudah disampaikan. Tetapi yang kita sampaikan, ada yang tidak mampu dan tidak bisa, lalu kami memberikan bantuan ada syaratnya. Ya syaratnya harus ada perencanaannya. Kadang pemerintah daerah tidak ada perencanaannya,” jelasnya.
Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri mencoba menangani hal ini dengan menerbitkan PP Standar Pelayanan Minimal, sehingga pemda bisa mengalokasikan dana lebih untuk pencapaian standar layanan minimal, termasuk untuk sanitasi. Sayangnya, kata Anes, aturan tersebut belum memasukkan konsekuensi atau sanksi jika pemda tidak melaksanakan standar pelayanan minimal itu.
“Sekalipun tidak memenuhi kewajiban (standar pelayanan minimal, (Dana Alokasi Khusus/DAK) tetap dikasih,” tuturnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan, dr. Imran Pambudi, membenarkan bahwa setiap pemerintah daerah punya fokusnya masing-masing dalam pencegahan penyakit zoonosis. Artinya, belum tentu leptospirosis menjadi prioritas bagi sebagian pemerintah daerah.
Kata dr. Imran, penanganan untuk leptospirosis di Indonesia memang masih sangat mengandalkan metode kuratif, alias penyembuhan ketimbang preventif dan deteksi dini. Ia beralasan, metode penanganan kuratif ini bukan semata karena sulitnya pembagian tanggung jawab di level pemerintah daerah, tetapi dari sisi ekonomi, lebih murah.
“Obat-obatan untuk leptospirosis itu tidak terlalu mahal,” ujar dr. Imran saat ditemui Prohealth.id pada 2 April 2024.
Merumuskan Prioritas dengan Kerangka One-Health
Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof. Wiku Adisasmito, cara tercepat mencegah leptospirosis adalah dengan menangani populasi tikus di perumahan warga.
“Kepemimpinan di daerah itu karena otonomi daerah harus punya willing ekstra. Pasti akan berhitung, keluar uang sekian, menguntungkan atau tidak ya? Atau lebih baik nanti saja. Ketika sakit, lalu diobati saja. Lebih murah, tetapi untuk kami (tenaga medis dan pakar) itu tidak menyenangkan. Kalau nanti jadi masalah besar, kita semua yang kesulitan,” ujarnya.
Menurutnya, dalam kerangka kerja One Health, maka kejadian warga di Demak bisa menjadi satu contoh bagaimana masalah keterbatasan biaya untuk giat preventif dan deteksi dini sebenarnya menjadi peluang kolaborasi antara negara maju dengan negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah. Hal ini kontekstual di Indonesia karena proses penganggaran yang berada di level pemerintah daerah.
“Negara maju bisa membiayai dan memberikan obat maupun vaksin, dan sharing benefit melalui penelitian patogen yang ditemukan di negara berkembang. Kenapa patogen ditemukan di negara berkembang yang potensial pandemi? Ya, karena biodiversitasnya masih bagus,” ujar Prof. Wiku kepada Prohealth.id melalui Zoom, pada 26 April 2024.
Namun, untuk bisa melakukan surveillance dengan keterbatasan dana, perlu melakukan pembagian benefit. Ketika menemukan patogen, uang akan diberikan kepada negara asal patogen dan bisa dipakai untuk surveillance. Dengan metode inilah, menurut Prof. Wiku, cukup adil bagi negara-negara berkembang agar bisa menyetujui mekanisme One Health.
“Kalau tidak mau share benefit, tidak mau ada pasal One Health, tidak masalah. Kok tidak setuju sama One Health? Sama saja kayak Anda setuju tetapi mengapa Anda tidak setuju benefit sharing? Jadi tidak fair dong. Anda dapat patogennya dari tempat kita, karena dia pakai prinsipnya sovereignty orang negara berkembang. Prinsipnya kedaulatan negara, jadi biodiversity miliknya.”
Prof. Wiku menerangkan skema ini potensial karena terakomodasi dalam Nagoya Protocol yang dikomandoi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Alhasil, untuk mewujudkan strategi ini tidak bisa hanya diatur oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan WHO. Kondisi kompleksitas ini yang membuat Prof. Wiku berpendapat, harus ada streamline yang menyelaraskan untuk melancarkan One Health. Sejauh ini, dari lokal ke global belum tersambung sehingga penanganan zoonosis masih lemah di Indonesia.
Meninjau Komitmen dan Harmonisasi
Prof. Wiku Adisasmito menyebut bahwa proses penerapan One Health tidak akan lepas dari pengelolaan biodiversitas atau keanekaragaman hayati di Indonesia. Apalagi, peluang munculnya patogen penyebab endemi atau pandemi dari zoonosis di Indonesia cukup besar.
Untuk itu dalam mendukung pencegahan zoonosis seperti leptospirosis tanpa mengabaikan keanekaragaman hayati, pemerintah tengah merevisi Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE).
“Revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 menjadi penting dalam upaya menjaga relevansi prinsip-prinsip konservasi, yang diperkuat implementasinya dengan kondisi hingga saat ini. Terima kasih dalam proses yang cukup panjang dan cukup berat, sebanyak 24 pasal dari total 45 pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tetap dipertahankan,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, saat menyampaikan Pendapat Akhir Mini Pemerintah dalam rapat kerja pada 14 Juni 2024.
Sebagaimana penyampaian laporan Panitia Kerja (PANJA), Siti Nurbaya mengatakan semangat penguatan UU Nomor 5 Tahun 1990 telah dirumuskan berkenaan dengan tantangan keterbatasan penyidikan dan sanksi yang belum optimal. Melalui pembahasan intensif rapat-rapat panitia kerja, Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi, secara keseluruhan ada perubahan terhadap 21 Pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1990, dengan esensi kebaruan. Hal ini mencakup terutama, yaitu: pengaturan kegiatan konservasi di KSA dan KPA, kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil (KKPWP3K), dan areal preservasi, yang diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan KSDAHE di kawasan-kawasan tersebut.
Selain itu, pimpinan dan anggota Komisi IV DPR RI menilai pentingnya memformulasikan ekosistem di luar kawasan hutan konservasi dan hutan negara, terutama dalam format baru dalam RUU KSDAHE. Tujuannya menjamin penerapan prinsip konservasi di luar areal KSA, KPA dan KKPWP3K, melalui pengaturan areal preservasi. Dengan demikian, ekosistem penting termasuk keberadaan tumbuhan dan satwa liar di luar KSA, KPA, dan KKPWP3K mendapatkan kepastian hukum dalam pengelolaannya ke depan.
Siti Nurbaya mengatakan pemerintah berhasil merumuskan penguatan larangan, sanksi dan pidana, untuk menjaga keutuhan konservasi sumber daya alam, dengan norma larangan tindak pidana di bidang tumbuhan dan satwa liar termasuk kejahatan yang mempergunakan media sosial. Demikian pula klausul mempertegas dan memperberat sanksi pidana termasuk pemberatan sanksi untuk korporasi; serta sanksi pidana tambahan antara lain pembayaran ganti rugi; biaya pemulihan ekosistem; serta biaya rehabilitasi, translokasi, dan pelepasliaran satwa.
Menurut Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dari daerah pemilihan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Fahira Idris, revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE) dilakukan karena saat ini ada urgensi untuk bisa mengelola sekaligus melestarikan sumber daya alam di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE telah menjadi dasar hukum penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selama lebih dari 30 tahun. Aturan ini menjadi dasar dan acuan utama dalam pengelolaan sumber daya alam hayati Indonesia, melalui 3 (tiga) pilar konservasi, yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Konservasi ekosistem sumber daya hayati dan genetik sangat vital bagi kehidupan manusia. Untuk itu, perlu pengaturan yang bertujuan melestarikan dan melindungi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sekaligus dalam upaya peningkatan kesejahteraan, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam hayati, dan pelibatan masyarakat dengan tidak mengabaikan karakteristik dan keberlangsungan hidup ekosistem.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE, menurut Fahira, memerlukan penyempurnaan guna menampung perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat mengenai penyelenggaraan KSDAHE saat ini. Selain itu, penyempurnaan regulasi ini merupakan wujud komitmen pemangku kebijakan dalam mencegah zoonosis dan menerapkan komitmen One Health secara kredibel dan berkelanjutan.
“Terkait dengan zoonosis dan prinsip One Health yang dibahas sejak awal dalam draf RUU ini adalah terkait dengan medik konservasi. Usulan terkait pengaturan mengenai medik konservasi ini dihapus karena merupakan aktivitas penyelenggaraan kesehatan hewan, dan hal ini merupakan bagian dari mekanisme pengawetan tumbuhan dan satwa liar yang selama ini telah diatur dalam PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa,” ujarnya.
Meski begitu, draf RUU ini akan mengamanatkan ketentuan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Selain itu pengawetan jenis tumbuhan dan satwa serta keanekaragaman genetik, yang lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“Kita tunggu nanti bagaimana bentuk pengaturannya di dalam PP.”
Prohealth.id mencatat, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang KSDAHE sebenarnya sudah ada sejak Desember 2017. Saat itu, pimpinan DPR menyodorkan draf RUU KSDAHE beserta naskah akademik. Lalu pada 23 Januari 2018, Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) mencoba menyampaikan RUU KSDAHE dan naskah akademik kepada internal kementerian terkait untuk membahas daftar inventaris masalah atau DIM RUU. Proses RUU KSDAHE juga molor karena penolakan dari kelompok masyarakat sipil yangmenilai proses revisi UU KSDAHE tidak transparan.
Menanggapi hal itu, Fahira menerangkan bahwa peran serta masyarakat dalam KSDAHE diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam mengembangkan peran serta masyarakat tersebut, pemerintah pusat dan pemda menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran KSDAHE di kalangan masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan.
“Peran serta masyarakat dalam KSDAHE juga termasuk pelibatan masyarakat hukum adat yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam rapat RUU KSDAHE pada 9 Juli 2024, klausul tentang zoonosis dan One Health ternyata tidak masuk dalam pembahasan. Prohealth.id mencoba mengonfirmasi ke Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Ermarini, tetapi ia tidak menjawab alasan mengapa zoonosis dan One Health tidak masuk dalam RUU KSDAHE. Ia menyebut, bahwa RUU KSDAHE bertujuan untuk melaksanakan tiga pilar penyelenggaraan konservasi secara efektif yakni perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya guna keberlanjutannya.
RUU KSDAHE juga menjamin perlindungan dan pengelolaan habitat alami secara berkelanjutan. RUU KSDAHE sanggup menegakkan hukum atas kejahatan pada bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya seperti perburuan dan perdagangan ilegal spesies-spesies dilindungi dan terancam punah.
Anggia menyebut RUU KSDAHE menjamin pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian sumber daya alam hayati.
“Peran serta masyarakat termasuk masyarakat hukum adat dalam pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,” katanya pada 9 Juli 2024.
Meski tak memasukkan zoonosis dan One Health, Anggia menyebut RUU KSDAHE akan menjamin ketersediaan anggaran yang memadai untuk kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sehingga bisa mengatasi konflik manusia dengan satwa liar yang selama ini terjadi.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi, Iwan Arifianto, Irsyan Hasyim
Editor: Marina Nasution
Discussion about this post