Bersama aparat Pemerintah Kotamadya Jakarta Selatan, Kementerian Kesehatan secara tidak bertanggung jawab telah merebut paksa kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jalan Hang Jebat III, Jakarta Selatan. Aksi rebut paksa itu terjadi pada 10 Juli 2024 lalu.
Melalui pernyataan resminya, 22 Juli 2024, PKBI memerinci adanya tindakan brutal aparat di Hang Jebat menimbulkan kerugian besar bagi PKBI. Termasuk hilangnya bebagai peralatan dan dokumen kerja PKBI.
PKBI sangat menyesali tindakan represif yang menyebabkan hilangnya berbagai dokumen penting. Kejadian ini merupakan kehilangan besar bagi PKBI yang menempati lahan Hang Jebat selama 54 tahun.
Direktur Eksekutif PKBI, Eko Maryadi, menyatakan kekecewaan yang besar karena PKBI sudah berdiri 67 tahun. Bahkan, sudah menempati lahan di Hang Jebat selama 54 tahun.
Berdiri pada 1957, PKBI telah berperan aktif dalam layanan Keluarga Berencana. PKBI juga berperan dalam penurunan angka kematian ibu (AKI) dan advokasi untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi (kespro). PKBI Nasional memiliki 25 kantor PKBI daerah di tingkat provinsi, 178 PKBI cabang di tingkat kabupaten/kotamadya dan mengelola 25 klinik kespro di 17 provinsi, termasuk 3 klinik konseling kesehatan mental. Dokumen yang hilang itu pun adalah bukti catatan sejarah dan kontribusi PKBI pada bidang kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.
“Kami tidak rela diusir begitu saja. Meskipun di tanah milik negara, PKBI-lah yang membangun gedung kantor dengan uang sendiri. Selama beroperasi di Hang Jebat, PKBI taat membayar pajak, listrik, telefon, air, dan setiap tahun PKBI diaudit oleh auditor independen.”
Terkait laporan barang atau dokumen kerja yang hilang, Eko menilai Kemenkes harus bertanggung jawab dan segera mengembalikan dokumen-dokumen PKBI yang hilang. Pasalnya, prosedur perebutan kantor PKBI oleh Kemenkes adalah brutal, tidak bertanggung jawab dan tanpa memperhatikan dampak negatif.
Aksi penggerudukan dan perampasan asset PKBI mengakibatkan kerugian besar bagi serta menghambat kegiatan operasional, juga pelayanan PKBI kepada masyarakat.
PKBI menilai Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala DKI Jakarta No.Ad.7/2/34/70 menjadi dasar hukum valid bagi PKBI berkantor di Jalan Hang Jebat III.
PKBI mendesak Kemenkes bertanggung jawab atas tindakan brutal penggusuran kantor PKBI. Selain itu Kemenkes harus mengembalikan barang-barang yang hilang dan mengganti kerugian/kerusakan kantor PKBI di Hang Jebat.
“Kami menyerukan kepada seluruh relawan, simpatisan, dan jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di dalam dan luar negeri mendukung perjuangan PKBI dan memastikan keadilan.”
Empat Direktur Eksekutif Daerah (DED) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengadukan aksi brutal perampasan kantor pusat PKBI di Hang Jebat, Jakarta Selatan, kepada Ombudsman RI di Jakarta, Selasa 23 Juli 2024.
Keempat pimpinan eksekutif PKBI daerah adalah; M. Fajar Santoso, SH (DED PKBI Lampung), Zahrotul Ulya (DED PKBI Jawa Timur), Dian Mardiana (DED PKBI Jawa Barat) dan Adhitya Putri Utami (DED PKBI DKI Jakarta) diterima anggota Ombudsman RI Dadan Suparjo Suharmawijaya dan staf Ombudsman.
DED PKBI Jatim, Zahrotul Ulya membuka pengaduan, “Kami sampaikan bahwa penggusuran paksa terhadap kantor PKBI Nasional 10 Juli 2024 itu melanggar HAM dan mencederai rasa kemanusiaan.”
Dampak penggusuran kantor PKBI oleh Pemkot Kota Jakarta Selatan dan Kemenkes, bukan hanya merugikan staf dan karyawan PKBI Nasional. Penggusuran juga memberi dampak negatif pada warga penerima manfaat PKBI di berbagai daerah.
DED PKBI Lampung Fajar Santoso, SH menyoal penggunaan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI 207 tahun 2016 yang problematik.
“Penggunaan Pergub 207 sebagai dasar penggusuran kantor PKBI itu tidak tepat dan membuka tafsir bahwa penguasaan asset negara harus selalu menggusur warga, termasuk merugikan lembaga yang berkontribusi dalam program kesehatan nasional.”
PKBI mempertanyakan proses Kemenkes RI mendapatkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 374/1999. Kemenkes mengklaim sebagai milik Kemenkes, tetapi pada dasarnya bukan Hak Milik.
“Kami memohon Ombudsman RI dan Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) memeriksa prosedur pengajuan SHP oleh Kemenkes RI. Ini mengingat PKBI sebagai pihak yang memakai lahan Hang Jebat sejak 1970 pernah mengajukan Sertifikat kepada BPN namun justru SHP-nya malah diberikan ke Kemenkes RI,” tambah DED PKBI Jakarta, Putri Utami.
PKBI juga meminta Kemenkes RI menghentikan perampasan kantor, menghormati peran PKBI yang selama 67 tahun berkontribusi dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
“Apa salahnya Kemenkes dan PKBI duduk bersama mencari solusi yang bermartabat, berdialog. Jika perlu ada mediator yang adil dan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan. Karena PKBI bukan musuh pemerintah,” tegas Dian Mardiana, Direktur PKBI Jawa Barat.
Komisioner Ombudsman RI Dadan Suparjo Suharmawijaya menerima pengaduan PKBI dan memberikan beberapa masukan.
“Apakah saat terjadi penggusuran kantor Hang Jebat 10 Juli, pihak Pemkot Jaksel dan Kemenkes RI menunjukkan surat perintah? Atau surat tugas? Tolong ini tanya kepada Pemkot Jakarta Selatan.”
“Jika PKBI tidak mendapatkan kejelasan, kami dari Ombudsman akan menanyakan masalah ini kepada Pemkot dan Kemenkes RI,” kata Dadan Suparjo.
PKBI menjawab bahwa,tidak ada surat tugas apapun yang ditunjukkan saat Pemkot melakukan penggerudukan. PKBI telah berupaya melawan dan bernegosiasi oleh relawan dan Direktur Eksekutif PKBI namun tidak mendapat respon. Bahkan ada anggapan bahwa masalah hukum dengan PKBI sudah selesai.
“Ombudsman meminta PKBI melakukan penelusuran dokumen, dan proses pengajuan sertipikat lahan Hang Jebat ke BPN. Apabila dalam 14 hari pihak ATR/BPN tidak memberikan jawaban, maka Ombudsman yang akan menanyakan itu kepada Menteri ATR BPN,” tegas Dadan.
Dalam pengaduan ke Ombudsman, PKBI bersama organisasi masyarakat sipil. Sebut saja; Konsorsium Pembaruan Agraria, WALHI, dan Focal Point Komunikasi PKBI dan Focal Point Remaja Nasional PKBI.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post