Belakangan ramai di media sosial perbincangan mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Banyak pro dan kontra dari warganet mengenai isi dari RPP Kesehatan tersebut.
Salah satu substansi yang menjadi bahan perdebatan adalah tentang pengendalian zat adiktif berupa produk tembakau. Ya, masyarakat kerap menyebutnya sebagai rokok dan rokok elektronik. Pemerintah berniat melarang penjualan rokok dengan sistem zonasi dan mengatur lebih lanjut iklan produk tembakau tersebut.
Dalam rancangan peraturan tersebut, pedagang dalam radius 200 meter dari sekolah dan fasilitas pendidikan lainnya dilarang menjual rokok. Tujuannya untuk mencegah kemudahan akses anak-anak membeli rokok. Selain itu, RPP juga memuat larangan iklan luar ruang produk tembakau dalam radius 500 meter dari fasilitas pendidikan.
Sebagai informasi, pemerintah mempunyai tenggat waktu untuk segera mengesahkan RPP Kesehatan paling lambat 1 tahun. Hal ini sesuai amanat UU Nomor 17/2023, yang akan jatuh pada tanggal 8 Agustus 2024 mendatang.
Warganet menilai pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari fasilitas pendidikan akan berakibat negatif pada ekonomi. Utamanya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan pendapatan warung sektor usaha informal. Pelarangan iklan rokok luar ruang pada billboard dan sejenisnya pun akan merugikan bagi industri periklanan dan kreatif.
Padahal, data Survei Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa 56,9 persen perokok saat ini mulai merokok pada usia 15-19 tahun. Lalu 18, 4 persen mulai merokok di usia 10-14 tahun. Prevalensi perokok usia 10-18 tahun saat ini pun masih cukup tinggi. Bandingkan dengan negara ASEAN lainnya di angka 7,4 persen.
Manik Marganamahendra, Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyatakan bahwa kebijakan pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari fasilitas pendidikan adalah keputusan yang tepat.
“Bahkan mungkin perlu dukungan agar lebih progresif lagi,” tanggapnya melalui siaran pers, 24 Juli 2024.
Saat ini terjadi kekosongan regulasi yang tegas dalam mencegah anak-anak membeli rokok di warung-warung informal. Padahal rokok merupakan barang dengan zat adiktif yang seharusnya terkendali secara ketat. Sama halnya seperti alkohol. Manik juga menambahkan pada tahun 2019, sebanyak 76,6 persen dari perokok anak usia 13-15 tahun di Indonesia membeli rokoknya dari ritel dan warung. Sementara itu ada 60,6 persen perokok karena tidak ada pencegahan akhirnya membeli rokok atas dasar usianya.
“Fenomena ini adalah kegagalan sistemik negara dengan tidak memberikan perlindungan konsumen pada anak-anak yang seharusnya tidak dapat mengakses rokok dengan mudah,” jelas Manik.
Tanpa adanya regulasi yang tegas dan jelas terukur, maka bukan mustahil jumlah perokok anak di Indonesia justru terus meningkat. IYCTC meyakini bahwa kebijakan zonasi pelarangan penjualan rokok dan larangan beriklan merupakan hal yang solutif untuk mencegah semakin besarnya jumlah perokok anak di Indonesia. Menghambat kebijakan ini artinya menggadaikan masa depan dan potensi anak bangsa kepada industri rokok.
Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC menambahkan, banyak penelitian yang menyatakan bahwa iklan rokok terbukti berpengaruh dan membuat anak-anak menjadi perokok. Salah satunya menurut penelitian dari Tobacco Control Support
Centre-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI). Pasalnya, iklan rokok di televisi, acara musik, dan distribusi sampel rokok gratis adalah bentuk iklan, promosi, dan sponsor yang paling terkait dengan kebiasaan merokok pada anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Pada tahun 2015, Yayasan Lentera Anak merilis laporan hasil pemantauan di 360 sekolah di lima kota. Ada Jakarta, Bandung, Makassar, Mataram, dan Padang. Hasilnya, ada pengamatan iklan rokok luar ruang di sekitar 1 dari setiap 3 sekolah. Iklan rokok di tempat penjualan ada di sekitar 85 persen sekolah amatan. Hasil pemantauan menunjukkan industri rokok secara intensif melakukan iklan dan promosi di area sekitar sekolah, tempat anak-anak dan remaja beraktivitas setiap hari.
“Data terbaru, menurut penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) tahun 2021 menunjukkan densitas warung dan hubungannya dengan akses anak Sekolah Dasar (SD) terhadap rokok. Hasilnya menunjukkan ada 15 warung dalam radius 1 km2di DKI Jakarta, dan setidaknya 1 warung yang dapat menjual rokok secara batangan kepada anak dalam radius 100 meter dari sekolah. Sehingga urgensi pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah menjadi valid,” tambah Daniel Beltsazar, Research and Project Officer IYCTC.
Daniel menjelaskan bahwa sebelum adanya RPP ini, beberapa pemerintah daerah sudah lebih dulu melarang iklan rokok di daerahnya. Salah satunya kota Bogor. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah justru menunjukkan setelah melarang iklan rokok, pendapatan asli daerahnya (PAD) meningkat dari Rp115 miliar tahun 2009, saat iklan rokok pertama kali dilarang, di tahun 2016 menjadi Rp600an miliar.
“Hal itu kemudian diikuti oleh Kota Depok yang PADnya hampir 9 miliar saat ada iklan rokok di 2014, begitu dilarang, PAD di tahun 2018 malah jadi 12 miliar. Hal ini kemudian diikuti oleh kota-kabupaten lain di Indonesia karena pendapatan daerah mereka meningkat,” ungkap Daniel.
IYCTC menilai bahwa seharusnya ada kekhawatiran atas masa depan anak-anak yang harus tergadaikan akibat kepentingan profit industri rokok. Indonesia hanya memiliki waktu kurang dari 15 tahun untuk mencapai hasil maksimal dari bonus demografi mendatang. Sehingga sukses menyambut Indonesia Emas tanpa ragu dan takut dibayang-bayangi oleh dampak konsumsi rokok.
“Kami mengajak publik untuk menandatangani petisi untuk mendesak Presiden Joko Widodo segera mengesahkan RPP Kesehatan. Tautan melalui https://s.id/SahkanRPPKesehatan utamanya untuk melindungi anak-anak kini dan nanti,” tutur Manik.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post