Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, Ali Maimun, menyatakan banjir bandang pada Februari 2024 adalah banjir terbesar yang pernah terjadi di Demak. Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak terdampak paling parah. Kondisi banjir yang amat parah bahkan membuat kolaps fasilitas kesehatan masyarakat, yakni pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di wilayah tersebut.
Banjir bandang mengancam tak hanya di Kabupaten Demak, tetapi hampir di seluruh pelosok tanah air. Padahal, banjir merupakan salah satu penyebab penyebaran penyakit leptospirosis. Penyakit ini memilki gejala yakni; demam akut pada manusia maupun hewan akibat infeksi bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang luka, lecet atau selaput lendir. Misalnya di; mata, mulut, nasofaring, dari urin binatang yang sakit alias sebagai carrier (pembawa).
Gejala yang terkesan sederhana ini nyatanya berpotensi sangat mematikan. Berdasarkan laporan dari Kabupaten/Kota di Jawa Tengah hingga akhir Maret 2024, ada 124 kasus leptospirosis dengan 23 orang meninggal dunia. Jika dibandingkan dengan tahun 2023, angka kasus leptospirosis sebanyak 884 kasus selama satu tahun dan 139 orang meninggal.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, pun membenarkan tentangkasus leptospirosis yang bisa menyebabkan pasien meninggal dunia. Salah satunya, kasus pasien leptospirosis di Solo, Jawa Tengah pada Maret 2024. Menurut dr. Siti, leptospirosis adalah jenis penyakit yang upaya preventifnya cukup efektif mencegah kematian dengan menggencarkan deteksi dini dan surveillance.
“Maka kalau baru bergejala disebut probable leptospirosis, karena belum diperiksa laboratorium (dan mendapatkan) konfirmasinya,” ujar dr. Siti kepada Prohealth.id, pada 28 Maret 2024.
Upaya mencegah lainnya, menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat terutama yang bekerja di pertanian, ladang, dan perkebunan untuk selalu memakai alas kaki seperti sepatu boots. Ini agar masyarakat bisa terhindar dari, penularan leptospirosis melalui air seni tikus yang terinfeksi bakteri leptospirosis.
“Saat banjir, hati-hati karena air kotor. Jangan bermain di air kotor. Kalau demam disertai gejala kuning, dan nyeri di otot kaki, segera ke RS atau Puskesmas. Sering cuci tangan dan terapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terutama saat banjir,” ujar Siti.
Kusut Pemahaman One Health
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof. Wiku Adisasmito, menyatakan leptospirosis adalah bagian dari zoonosis, yang masuk dalam bingkai kerja One Health. Ia menjelaskan, One Health merupakan sebuah pendekatan untuk memastikan capaian kesehatan dari empat sektor kunci yang saling terhubung yakni; manusia, hewan, pangan, dan lingkungan. Untuk itu, terbentuklah One Health High-Level Expert Panel (OHHLEP) sebagai quadripartite forum dari World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), World Organization for Animal Health (WOAH), dan UN Environment Programme (UNEP).
OHHLEP membantu 194 negara anggota, termasuk Indonesia, dalam mengimplementasikan kebijakan global untuk One Health. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam hal ini mewakili Indonesia One Health. Tujuan OHHEP salah satunya mencegah dan menyembuhkan penyakit zoonosis, alias penyakit yang penularannya dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Salah satu efek terberat berkaitan dengan transmisi penyakit dari hewan ke manusia, lalu menyebar dari manusia ke manusia lain seperti kejadian pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu.
“Pengalaman pandemi ini membuat kita sadar, mencari vaksin itu susah, mencari obat susah, mengatur lalu lintas susah, dan sebagainya,” ujar Prof. Wiku saat dihubungi oleh Prohealth.id, pada 26 April 2024.
Kerangka implementasi One Health berangkat dari inisiasi di level global. Mengingat hal itu, Prof. Wiku menyebut ada tantangan yang cukup besar untuk menjalankannya di Indonesia.
Misalnya saja, untuk pencegahan kasus zoonosis dan jaminan One Health, terbentuk quadripartite dari 4 organisasi dunia dan pandemic treaty. Mekanisme forum dan sistem kerja sama melibatkan keempat organisasi dunia: sektor kesehatan manusia yaitu WHO, sektor pangan yakni FAO, sektor kesehatan hewan yakni WOAH, dan sektor lingkungan yaitu UNEP.
Sayangnya, di Indonesia sistem tata pemerintahan cukup rumit, dari level pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Begitupun kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal berbeda. Akibatnya, proses implementasi kerja One Health menjadi lebih panjang dan memakan waktu lama.
Salah satu upaya mencegah penularan zoonosis adalah penguatan struktur kelembagaan pada kesehatan manusia. Struktur yang kuat akan membuat proses deteksi dini dan surveillance menjadi cepat dan efisien, baik untuk kesehatan manusia maupun untuk kesehatan hewan dan tanaman.
Selama ini belum ada yang melakukan laporan terhadap surveillance penyakit hewan yang potensial zoonosis dari sektor kesehatan hewan. Surveillance justru dari sektor kesehatan manusia, karena menunggu sampai ada gejala pada manusia. Sementara pada tataran global, WHO sudah mengatur mekanisme deteksi awal penyakit pada hewan.
“Nah, setiap negara punya aturan dan karakter berbeda. Akibatnya, kadang di level global menjadi tidak nyambung dengan yang di nasional dan lokal,” ujar Prof. Wiku.
Ketidakharmonisan ini, menurut Prof. Wiku, akibat kesalahpahaman dalam menyikapi One Health, yang hanya sebatas kerja Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal, implementasi kebijakan pencegahan zoonosis seharusnya juga menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah. Secara spesifik, Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, termasuk Dinas Pangan dan Dinas Peternakan serta Kesehatan Hewan.
“Makanya seperti hal-hal teknis infrastruktur dan fasilitas disiapkan. Jika kasus seperti Covid-19 muncul kembali, laboratorium untuk surveillance harus melibatkan banyak pihak. Utamanya untuk detect, prevent, dan response. Untuk detect itu perlu laboratorium. Kalau kasus ditemukan pada hewan, kan tidak bisa dikerjakan di laboratorium, atau puskesmas, dan rumah sakit untuk manusia,” sambungnya.
Prinsip yang sama juga berlaku untuk pencegahan leptospirosis. Menurut Prof. Wiku, surveilans untuk pencegahan leptospirosis memang belum banyak di level hulu, yakni mencegah dari sumber bakteri yang hidup dalam air kencing tikus. Selama ini, pencegahan penyakit pada hewan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Namun, spesialisasi tugas direktorat ini tidak berlaku di level pemerintah daerah. Tugas yang sama terkadang bisa dibebankan kepada Dinas Pertanian, atau Dinas Peternakan. Hanya segelintir pemerintah daerah yang punya Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan.
“Jadi, kalau ada pertanyaan, ada dokter hewan tidak? Belum tentu. Kalau misalnya vaksinasi untuk hewan ada tidak? Ya bisa jadi tidak ada, karena bukan fokus pemerintah daerah di sektor itu.”
Konteks unik dari pencegahan leptospirosis adalah tikus yang populasinya tinggi. Umumnya, tikus hidup di wilayah yang lembab dan kotor. Artinya, ada peran Dinas Kebersihan selain Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Maklum, tidak lazim untuk memelihara tikus dalam peternakan.
“Jadi pencegahannya adalah basmi tikusnya. Tikusnya di gorong-gorong sampai masuk ke rumah. Indonesia rentan terhadap banjir, makanan berlimpah, sampahnya tidak karuan. Lalu bagaimana? Kita tahu caranya. Terus siapa yang melakukan? Itu harus masuk ke gorong-gorong, harus membersihkan semuanya,” terang Prof. Wiku.
Perlu ada pengaturan tegas di perumahan untuk cara pembuangan sampah harus agar sampah bisa terkendali. Kebijakan yang belum bisa terimplementasi inilah yang menyebabkan masalah itu terus muncul lagi. “Makin lama makin besar,” sambung Prof. Wiku.
Ia mengingatkan, pencegahan penyakit zoonosis akibat virus atau bakteri sebenarnya cukup memfokuskan perhatian kepada sumber utama atau stressor.
Zoonosis dan Ancamannya
Zoonosis adalah penyakit yang bersumber dari hewan sebagai vektor, sehingga pendekatannya tidak bisa dengan manusia sendiri. Harus ada kerja sama antara sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan, dr. Imran Pambudi, menyatakan Indonesia menjadi wilayah yang cukup rentan mengalami zoonosis. Jika tidak ada antisipasi khusus, maka kasus zoonosis di Indonesia berpotensi meningkat..
Faktor utama adalah masalah perubahan iklim yang membuat suhu bumi meningkat. Secara teknis, peningkatan suhu menyebabkan pencairan es. Padahal, banyak bakteri dan virus purba yang terperangkap dalam es. Pencarian es membuat bakteri dan virus ini keluar, lalu mulai menginfeksi dari yang terdekat, yaitu ikan-ikan.
“Ikan, lalu dikonsumsi oleh burung yang menjadi perantara lewat siklus migrasi. Lokasi Indonesia di wilayah khatulistiwa adalah salah satu faktor yang menjadikan Indonesia rentan terhadap zoonosis,” tutur dr. Imran saat ditemui tim Prohealth.id, pada 3 April 2024.
Kondisi ini makin parah karena kesadaran masyarakat untuk melaporkan sesuatu yang tidak biasa juga masih kurang. Sebagai contoh, kata dr. Imran, ketika ada burung mati mendadak, sejumlah masyarakat masih enggan untuk bertindak melaporkan kejadian tersebut.
Tantangan lain yang cukup besar untuk mencegah zoonosis kerugian secara ekonomi. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Wabah menyebutkan jika ada hewan yang terkena penyakit maka harus dimusnahkan. Akibatnya, seringkali terjadi keterlambatan pelaporan, karena si pemilik peternakan kerap ragu dengan penyakit dari hewan ternaknya. Ada kecemasan jika harus memusnahkan ternaknya, ada konsekuensi pemilik peternakan harus menanggung kerugian yang besar. Hal ini berimplikasi pada proses keterlambatan pelaporan. Padahal, tidak mungkin terjadi penularan zoonosis di manusia jika tidak bersumber dari hewan.
“Jika permasalahan yang di hewan bisa terlebih dahulu di-maintain, itu tidak akan menular ke manusia,” kata dr. Imran.
Senada dengan Prof. Wiku Adisasmito, kata dr. Imran, tantangan yang cukup berat dalam mencegah dan mengatasi zoonosis adalah ketimpangan sumber daya, baik itu sumber daya manusia, sumber daya obat atau vaksin, dan sumber daya fasilitas.
Untuk menekan kejadian zoonosis, dr. Imran menyebut surveillance adalah kunci, apalagi jika berbasis hasil laboratorium. Sayangnya, penataan laboratorium di Indonesia masih berjenjang, mulai dari level puskesmas. Laboratorium di puskesmas (Labkesmas) juga masih harus berkoordinasi dengan laboratorium kesehatan hewan. Di sinilah, kondisi harmonisasi kerap kali terhambat.
Regulasi sudah ada, tetapi kerap tersandung implementasi di setiap sektor karena perbedaan prioritas. Sebagai contoh, masalah rabies yang penularannya lewat gigitan anjing. Selama anjing sudah vaksin, dr. Imran meyakinkan tidak masalah. Namun, permasalahan saat ini adalah vaksinasi rabies di Indonesia itu baru sekitar 20 persen. Penanggung jawab utama adalah Kementerian Pertanian yang menangani persoalan peternakan hewan.
“Sayangnya tahun ini mereka tidak memiliki biaya untuk membeli vaksin dan prioritas mereka adalah untuk hewan produsen (livestock) seperti unggas dan sapi,” ujarnya.
Saling Tunjuk Tanggung Jawab
Potensi terjadinya saling tunjuk dalam pencegahan zoonosis membuat pemerintah melakukan sejumlah kajian dan mempersiapkan peraturan. Menurut Kepala Pusat Riset Veteriner Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. drh. Harimurti Nuradji, pihaknya bertugas melakukan kajian terkait atau penelitian riset dan inovasi untuk zoonosis berbasis teknologi.
“Bahkan kemarin juga ada kegiatan riset dan inovasi untuk melihat kasus leptospirosis pada hewan, manusia, dan lingkungan,” ujar drh. Harimurti kepada tim Prohealth.id, pada 30 April 2024 lalu.
Untuk memuluskan kebijakan pencegahan dan penanggulangan zoonosis, ia mengaku ada metode surveillance dan transparan informasi juga data. Inovasi tersebut berisikan informasi dan penyebab, karakter penyakit, efektivitas obat, cara pengendalian, dan pencegahan.
Mewakili lembaga riset nasional, drh. Harimurti menyatakan tantangan menangani zoonosis adalah masalah geografis Indonesia yang sangat luas, sedangkan data dan informasi kasus terbatas, lalu sistem pemantauan early warning belum sempurna di setiap daerah.
“Misalnya ada kasus awal, konsep pencegahan pengendalian itu harus sejak dini, maka hasilnya akan optimal,” ujarnya.
Sebagai contoh, jika kasusnya masih sedikit, segera lakukan isolasi. Pengendaliannya juga akan jadi lebih cepat. Namun, karena keterbatasan teknis, contoh; anggaran, lalu tumpang-tindih kewenangan memperlambat proses eksekusi. Terkhusus, kata drh. Harimurti jika berkaitan dengan temuan penyakit pada hewan.
“Nanti hewannya hewan liar. Lalu siapa yang nanti akan melakukan kewenangan atau kegiatan pencegahan, pengendalian zoonosis itu; atau misalnya di lingkungan ini siapa yang akan melakukan?”
Berbeda dengan Prof. Wiku, menurut drh. Harimurti, di level nasional saat ini beberapa instansi yang terkait yakni; Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta BRIN bisa berkolaborasi untuk riset One Health agar kebijakan masa depan lebih optimal. Meski demikian, perlu optimalisasi untuk proses surveillance berkala dan rutin, inheren dengan tugas dan fungsi masing-masing kementerian.
“Ini (surveillance) memang butuh kolaborasi lintas sektor. Misalnya, sedang diinisiasi melalui kegiatan pandemic fund jadi melakukan lintas sektoral sehingga nanti tugas dan fungsinya jelas,” katanya.
Selain itu, pemerintah bisa membentuk tim investigasi bersama di lapangan untuk pengambilan sampel, tergantung kewenangan masing-masing instansi. Hanya saja, Harimurti mengingatkan perlu ada harmonisasi berkaitan dengan kewenangan di daerah yang cenderung berubah karena berbeda dari konteks di pusat.
Untuk menjawab tantangan tersebut, saat ini sudah ada teknologi informasi untuk surveillance zoonosis yaitu SIZE. Sistem Informasi Zoonosis dan Emerging Diseases (SIZE) adalah hasil inisiatif Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Kolaborasinya dengan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional. SIZE menunjukkan bahwa menangani zoonosis butuh kolaborasi lintas sektoral dan berbagi informasi terkait dengan data tersebut. SIZE resmi beroperasi pada 19 Desember 2023.
“Melalui SIZE, maksud sharing data dan informasi terkait zoonosis yang ada di Indonesia seperti misalnya kasus leptospirosis. Mungkin data kasus pada manusia perlu dihubungkan dengan data kasus yang ada di luar dan lingkungan. Itu sebenarnya yang ingin diakses, disatukan di dalam sistem informasi SIZE yang ada di Kemenko PMK,” ujar Harimurti.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), bertugas menjadi koordinator penerapan One Health. Oleh karenanya, terbit peraturan yang bisa mengharmonisasi tujuan One Health. Adapun tujuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 tahun 2022, tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru (PIB).
Plt. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, Budiono Subambang, menyatakan saat ini di tataran global, One Health memang masuk ke dalam pandemic treaty oleh negara-negara WHO. Namun, tidak semua negara terutama negara berkembang setuju pengaturan One Health dalam perjanjian tersebut.
“Kalau di tingkat nasional, One Health sudah menjadi inisiatif presiden saat KTT ASEAN dan rekomendasi pertemuan menteri-menteri kesehatan G20 di Indonesia tahun lalu,” kata Budiono kepada Prohealth.id secara virtual pada 22 Mei 2024 lalu.
Sebagai instansi yang menjadi koordinator harmonisasi pencegahan zoonosis, Budiono menyebutkan beberapa tantangan yang akan mengancam keberlanjutan One Health. Pertama, tantangan dalam mengintegrasikan inisiatif One Health ke dalam dokumen perencanaan pembangunan yang akan datang, khususnya pasca pergantian kepemimpinan. Kedua, ada tantangan untuk menjaga komitmen dalam pelaksanaan peta jalan dalam Permenko PMK 7/2022 yang menyebut penguatan surveillance berbasis masyarakat, operasionalisasi dan pengembangan SIZE nasional dan rencana aksi pengendalian resistensi antimikroba.
Optimalisasi SIZE
Budiono menjelaskan bahwa saat ini permenko PMK 7/2022 sudah berlaku dan menjadi acuan dalam berbagai upaya peningkatan kapasitas pencegahan dan pengendalian zoonosis dan penyakit infeksius baru (PIB). Perlu beberapa cara untuk mempercepat pelaksanaannya.
Pertama, membentuk Tim Koordinasi Zoonosis dan PIB di tingkat pusat dan daerah. Untuk tingkat pusat, saat ini masih dalam tahap konfirmasi keanggotaan oleh eselon 1 lintas K/L, sedangkan di tingkat daerah belum semua provinsi dan kabupaten/kota membentuk Tim Koordinasi Daerah atau TIKORDA.
Kedua, menetapkan daftar penyakit wajib lapor. Hasil pembahasan rakor teknis merekomendasikan 10 jenis penyakit masuk dalam daftar wajib lapor. Kata Budiono, saat ini daftar tersebut masih menunggu konfirmasi dari Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, dan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK.
Ketiga, Pemda c.q. Dinas Kesehatan bersama perangkat daerah lain agar mengaktivasi SIZE. Sesuai Surat Edaran Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Nomor: PV.03.06/C/559/2024. Isinya meminta agar Kepala Dinas Kesehatan menugaskan Kepala Bidang yang menangani pengendalian penyakit melakukan permintaan kode aktivasi yang bisa digunakan oleh petugas lintas sektor di masing-masing daerah.
Saat ini pengguna SIZE masih berjumlah 126 pemerintah daerah dari 32 kabupaten atau kota. Akibatnya, tingkat respons cepat lintas sektor terhadap alert baru mencapai 1 persen. Kata Budiono, agar pemanfaatan SIZE menjadi lebih optimal maka setidaknya ada 20.000 pengguna yang tersebar di seluruh kabupaten atau kota, dengan tingkat respons cepat terhadap alert setidaknya sebesar 50 persen.
Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kemenko PMK, Nancy Dian Anggraeni, menyatakan penegakan pada peran pemerintah daerah menjadi sangat penting karena proses surveillance menjadi tugas dan fungsi dinas. Sementara itu, layanan terdepan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau puskesmas dan surveillance belum menjadi fungsi puskesmas. Tenaga surveillance, orang dengan kompetensi epidemiologi belum menjadi tenaga wajib. Sedangkan surveillance akan sangat bermakna apabila mampu memberikan peringatan dini sehingga bisa melakukan antisipasi dan respons cepat.
Nancy menjelaskan peningkatan kualitas surveillance berbasis laboratorium. Sayangnya, saat ini kapasitas laboratorium dalam mendeteksi zoonosis dan penyakit infeksius baru masih terbatas.
“Oleh karena itu, Kemenkes sedang melakukan transformasi untuk peningkatan kapasitas laboratorium kesmas, termasuk dengan rencana penetapan jejaring laboratorium surveillance yang akan melibatkan lab universitas, lab swasta dan lab kesehatan hewan.”
Reporter: Gloria Fransisca Katharina Lawi dan Felicia Tungadi
Infografis: Abdus Somad
Editor: Marina Nasution
Liputan ini mendapatkan dukungan hibah dari Earth Journalism Network tentang One Health di Indonesia.
Discussion about this post