Perjuangan mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan memang menuai waktu yang cukup panjang. Organisasi masyarakat sipil khususnya yang bergerak di kesehatan msyarakat menyadari urgensi pengendalian barang candu sampai persoalan standarisasi. Semua substansi itu bertujuan mewujudkan ketahanan sumber daya manusia Indonesia.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tersebut mengamanatkan Pemerintah untuk membuat dan menetapkan peraturan turunan dalam bentuk PP paling lambat 1 tahun setelah pengesahan UU. Artinya, tenggat waktu paling lambat tanggal 8 Agustus 2024. Artinya, pengesahan RPP Kesehatan juga merupakan momentum terakhir bagi Presiden Joko Widodo untuk memberikan warisan kekuasaan yang melindungi masyarakat. Kehadiran PP turunan UU menjadi esensial untuk perkembangan kesehatan dan perlindungan masyarakat
Akibat hampir setahun tak kunjung resmi, pada awal Juli 2024 Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama dengan 16 organisasi muda tak tinggal diam. Mereka adalah; Kolaborasi Bumi, Sinergi Bersama Mengurangi Asap Rokok di Kulon Progo (Semar-KU), Komunitas Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kita Sayang Remaja (Kisara) PKBI – Bali, Toco Rangers, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia, Ruandu Foundation, Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia, Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia, Trash Rangers Indonesia, Youth Rangers Indonesia, Forum Anak Kota Bogor, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi, Himpunan Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Siliwangi, dan Hasanuddin Contact.
Semua organisasi ini mengirimkan surat untuk mendesak Presiden Joko Widodo segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), turunan dari Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Poin yang paling utama menjadi sorotan adalah perihal pengendalian konsumsi zat adiktif.
Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan bahwa perokok laki-laki di Indonesia menempati urutan pertama di dunia dengan prevalensi 65,5 persen. Walaupun mengalami penurunan prevalensi, secara absolut, jumlah perokok mengalami peningkatan dari 60,3 juta di tahun 2011, menjadi 69,1 juta di tahun 2021. Hal ini juga makin parah karena prevalensi pengguna rokok elektronik yang justru mengalami peningkatan 10 kali lipat dalam 1 dekade.
Daniel Beltsazar, Project and Research Officer IYCTC menyatakan, bonus demografi Indonesia pada 2045 mendatang menjadi tidak maksimal. Hal ini karena meningkatnya konsumsi rokok secara umum dan pada anak. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menyatakan bahwa 19,2 persen pelajar usia 13-15 tahun saat ini adalah perokok.
Selain itu, konsumsi rokok yang tinggi juga dapat terlihat dari pembelanjaan rumah tangga yang memprioritaskan rokok daripada makanan bergizi. Kondisi ini menyebabkan peluang stunting yang lebih tinggi pada anak dengan anggota keluarga yang merokok.
“Tambahan lagi sampah rokok konvensional dan elektronik dalam jumlah besar dan penggunaan plastik yang mengkhawatirkan. Serta kerugian lingkungan lainnya yang bisa melalui pencegahan dulu,” kata Daniel.
Manik Marganamahendra, Ketua Umum IYCTC memperkuat argumen. Katanya, tanpa adanya regulasi yang kuat dan bermakna, Bappenas memprediksi pada 2030 prevalensi perokok anak di Indonesia bisa mencapai 16 persen atau sekitar 6 juta anak. Candu konsumsi rokok yang merugikan kesehatan dan ekonomi perokok dan lingkungannya jelas menghambat pembangunan manusia secara holistik. Contohnya; di Indonesia, rokok kretek filter menjadi komoditas penyumbang garis kemiskinan kedua sebesar 12,14 persen di perkotaan dan 11,34 persen di pedesaan.
Data termutakhir dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menurun dari 9,1 persen di tahun 2018 menjadi 7,4 persen secara nasional. Sayangnya capaian ini masih jauh dari target rekomendasi WHO. Angka ini juga masih lebih tinggi jika daripada prevalensi perokok anak pada tahun 2013 sebesar 7,2 persen. Padahal masih banyak daerah dengan prevalensi merokok anak di atas rata-rata nasional.
“Ini artinya, upaya dan peraturan yang saat ini belum cukup komprehensif untuk benar-benar melindungi anak dari perilaku merokok,” ujar Manik.
Bersama koalisi, mereka sempat memberikan ultimatum kepada Presiden Joko Widodo. Pasalnya, jika Presiden Joko Widodo belum juga mengesahkan RPP Turunannya, berarti beliau lalai dalam menjalankan amanat Undang-Undang, dan tentunya akan ada kekosongan hukum yang terjadi karena peraturan teknis turunan dari UU tersebut belum ada.
“Memang secara hukum, jika belum ada PP turunan, masyarakat masih bisa mengacu kepada PP terdahulu sebelum disahkannya UU 17. Tetapi bagaimana dengan substansi-substansi yang belum memiliki peraturan teknis dalam bentuk PP, masih digantung sampai sekarang kepastiannya,” tambah Manik.
Urgensi Melegitimasi PP
Selain mengirimkan surat, sejumlah cara lain dilakukan dengan komitmen tinggi selama satu bulan terakhir. Prohealth.id mencatat, Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia, Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia, Ikatan Lembaga Mahasiswa Keperawatan Indonesia bahkan melaksanakan audiensi mengenai 1 Tahun Undang Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Kepada Komisi IX DPR RI.
Pandu, Staf Ahli Wakil Sekretaris Jenderal ISMKI menyatakan bahwa pada kesempatan audiensi dengan Komisi IX, ada pembahasan tentang pembatalan rencana visi dan misi pembukaan 300 Fakultas Kedokteran Baru. Pandu menyebut, terkait visi dan misi pembukaan 300 FK baru memang perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini mengingat dari data PDDikti tahun 2020 masih terdapat 44 fakultas kedokteran yang memiliki akreditasi B dan 9 fakultas kedokteran yang memiliki akreditasi C.
“Selain itu, kami sebagai mahasiswa yang sudah menjalankan pendidikan pre-klinik dan akan menjalani pendidikan profesi (coass) merasakan bahwa ketimpangan kualitas fakultas kedokteran yang belum memiliki akreditasi A. Hal ini berdampak kepada kualitas lulusan dokter,” ungkapnya.
Wacana impor dokter asing sesuai isi UU No 17 tentang Kesehatan juga masih menuai kritik. Alasannya, karena memiliki berbagai potensi permasalahan terlebih jika terdapat regulasi mengenai standar pelayanan kesehatan dan sistem distribusi.
“Kami mentut bahwa penyusunan RPP mempertimbangkan seluruh organisasi profesi, organisasi masyarakat, mahasiswa, dan pihak lainnya. Mengingat guru kami (Dekan FK UNAIR) diberhentikan setelah memberi masukan terkait kebijakan tenaga medis asing,” kata Akmal, Wakil Sekretaris Jenderal ISMKI.
Isu terkait pendidikan profesi dan STR bagi tenaga kesehatan masyarakat yang tercantum dalam UU, terkait Pendidikan Profesi dan desiminasi STR juga menjadi pembahasan audiensi. Ramdani, Kepala Direktorat Advokasi ISMKMI menyatakan, kejelasan tentang pendidikan profesi bagi tenaga kesehatan masyarakat masih penuh tanda tanya. Hal ini karena belum adanya tindak lanjut ke depannya dan kapan akan mulai pendidikan profesi.
“STR juga kami meminta kejelasan diseminasi antara Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah karena masih terjadi di lapangan bahwa tenaga kesehatan masyarakat masih dimintakan STR untuk memenuhi kebutuhan administrasi,” ungkap Ramdani.
Pada kesempatan audiensi ada pula pembahasan mengenai pemerataan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Berdasarkan dari Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada bagian Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam negeri dimana Pemerintah Pusat untuk memastikan pendistribusian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
“Kita minta untuk DPR RI Komisi IX mengawal Undang-Undang turunan baik Perpres, Perpu, dan Perda untuk memastikan fasilitas kesehatan tenaga medis dan tenaga kesehatan itu merata seluruh wilayah di Indonesia dan tidak tersentralisasi pada wilayah jawa saja,” kata Moh. Nopil, Direktur Jenderal Kastrad ILMIKI Nasional.
Krisdayanti, selaku Anggota Komisi IX menanggapi bahwa pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan asing, hanya dalam konteks spesialis dan subspesialis. Wakil Ketua Komisi IX Emanuel Melkiades Lakalena juga menyampaikan bahwa terdapat kasus alat mamografi di daerah tidak terpakai karena tidak ada ahli fisikawan nuklir.
Nurhadi anggota Komisi IX menyatakan soal pembukaan FK baru terlaksana karena kurangnya rasio dokter di Indonesia. Namun, Nurhadi menegaskan bahwa Komisi IX DPR RI akan tetap memperhatikan kualitas pendidikan FK. Selain itu, ia menyebut Komisi IX DPR RI sudah menanyakan Menteri Kesehatan di Rapat Kerja terkait Pemecatan Dekan FK UNAIR. Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengaku tidak melakukan intervensi apapun. Terkait STR seumur hidup, Komisi IX juga mendukung agar ada parameter evaluasi kompetensi secara berkala yang menggantikan STR.
Komisi IX DPR RI akan menampung aspirasi dari Perwakilan Mahasiswa Rumpun Kesehatan dalam audiensi Rapat Dengar Pendapat. Hasil audiensi juga berisikan dokumentasi kegiatan dan penyampaian simbolis berkas policy brief.
Proses yang cukup ketat dan intens selama satu bulan terakhir pun membuahkan hasil. Pada 29 Juli 2024, Pemerintah menerbitkan aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Terbitlah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Asal tahu saja, PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat, 26 Juli 2024.
Salah satu poin penting dalam peraturan ini adalah mengenai registrasi dan perizinan tenaga medis dan tenaga kesehatan. Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. M. Syahril, menyatakan setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan yang akan melakukan praktik keprofesiannya wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Pasal 682 ayat (2) PP tersebut menyatakan bahwa satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik. Namun, terdapat pengecualian bagi dokter dan dokter gigi bisa menjalankan praktik di maksimal tiga tempat dengan syarat tertentu.
“Boleh praktik di tiga tempat, tapi, ya, satu SIP berlaku di satu tempat praktik. Artinya kalau praktik di tiga tempat, SIP-nya harus punya tiga,” ujar dr. Syahril.
Ia menambahkan, ketentuan mengenai jumlah maksimal tempat praktik ini masih mengacu pada peraturan sebelumnya. “Masih mengikuti ketentuan di peraturan lama,” ujar dr. Syahril.
Hal lain yang harus menjadi perhatia, dokter menjamin kapasitas dan kualitas pelayanan tidak menurun meski praktik di beberapa tempat. Ini berarti dokter harus dapat mengelola waktu dengan baik dan memastikan bahwa setiap pasien mendapatkan perhatian yang layak.
Selain itu, jarak antara tempat praktik harus menjadi perhatian agar tidak mengganggu waktu tempuh dan jadwal praktik dokter. Tempat-tempat tersebut sebaiknya berada dalam radius yang memungkinkan dokter untuk berpindah dengan efisien.
“Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Serta memastikan tenaga medis dapat memberikan pelayanan secara maksimal di tempat praktiknya,” lanjut dr. Syahril.
Kepatuhan terhadap ketentuan ini akan mendukung upaya pemerintah dalam menjaga standar kualitas pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Ini juga akan menjadi penguat bagi pemerintah untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post