Zahrah, kini 19 tahun, masih ingat betul pernah bertanya pada ibunya. “Mengapa harus aku yang sakit? Mengapa aku harus terkena kanker?”, tanya Zahrah kecil.
Pada usia empat tahun, dia didiagnosa retinoblastoma di sebuah klinik khusus mata. Klinik itu kemudian merujuknya ke rumah sakit di Jakarta. Retinoblastoma ini menyebabkan bola matanya harus diangkat.
“Saya sudah dinyatakan stadium 2 dan memang harus dioperasi. Tetapi dari pihak keluarga saya masih belum mengizinkan untuk pengangkatan bola matanya,” tuturnya.
Akibat dokter menjelaskan kalau kanker bisa menyebar, orangtua Zahrah akhirnya setuju untuk pengangkatan bola mata sang buah hati.
Saat hasil diagnosis menyatakan Zahrah mengidap kanker, kedua orangtuanya bergantian mengurusnya. Ayahnya yang awalnya bekerja sebagai satpam di sebuah toko buku kemudian harus gonta-ganti pekerjaan. Sedangkan ibunya bekerja di pabrik sepatu.
Biaya rumah sakit untuk pasien kanker anak yang tinggi membuat ekonomi keluarga pun goyang. Sang ayah pun mencoba mengajukan bantuan donasi. Sayang kebutuhan biayanya terus meningkat. Salah satunya untuk membeli bola mata palsu dan harganya tidak murah.
Di tengah kesulitan itu, mereka bertemu Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI). Lembaga ini yang kemudian memberikan bantuan pada keluarga Zahrah.
YOAI berdiri pada 24 Mei 1993. Lembaga itu memiliki program “Pita Emas” untuk membantu pasien dan penyintas kanker anak.
“Karena anak itu seperti emas. Jadi sangat berharga sekali bagi kita,” jelas salah satu pendiri YOAI, Kartika Purwanto.
Perjuangan Keluarga Pasien
Kanker pada anak-anak harus mendapat perhatian khusus sebab mereka adalah generasi masa depan. Upaya deteksi dini akan membuka peluang kesembuhan kanker anak makin tinggi.
Namun ketidaktahuan masyarakat membuat deteksi kanker pada anak kerap terlambat. Ada yang justru mencari pengobatan alternatif setelah melalui diagnosis. Ketika kanker sudah menyebar, baru kembali minta bantuan medis.
”Masa pengobatan kanker tergantung jenisnya. Sebelum dokter mengatakan pengobatan sudah selesai maka jangan berhenti,” terang Endang Windiastuti, dokter spesialis anak subspesialisasi hematologi onkologi.
Dalam banyak kasus, anak merasa sudah sehat padahal masih harus menjalani kemoterapi. Mereka sudah lost to follow up. Maka kuncinya ada di orangtua yang harus paham soal proses pengobatan ini. Orang tua seharusnya bisa memberi pemahaman pada anaknya yang sedang menjalani pengobatan.
“Selama dokter mengatakan pengobatan belum selesai, tidak pernah menyebutnya sembuh. Kami menyebutnya remisi, istilah dalam kedokteran. Kalau kemungkinan tidak kambuh setelah lima tahun, benar-benar tidak kambuh, kami menyebutnya survivor,” lanjut dokter Endang.
Pola pengasuhan juga berubah ketika ada keluarga yang memiliki anak dengan kanker dan dia bukan anak tunggal. Orangtua akan kebingungan bagaimana membagi perhatian pada anak-anaknya.
“Ini pelik banget. Belum tentu konseling saya bisa memberikan jalan keluar,” kata Widiawati Bayu, psikolog yang mendampingi keluarga yang memiliki anak dengan kanker.
Dia menambahkan,”Karena di sini juga menyangkut keuangan. Ketika anaknya didiagnosa kanker, ayahnya harus berhenti bekerja. Ketika ayahnya berhenti bekerja berarti berhenti keuangan yang masuk.”
Umumnya orangtua terkejut ketika memiliki anak dengan kanker. Sampai akhirnya bisa menerima pun membutuhkan proses yang tidak mudah.
Bangkit Meski Sempat Diasingkan
Orangtua Zahrah tidak pernah lelah menyemangati sang buah hati. Ada satu pengalaman tidak menyenangkan bagi Zahrah. Saat duduk di bangku sekolah dasar, dia sangat tertekan karena mengalami perundungan atau bullying selama empat tahun. Dia pun mencoba menghadapinya namun saat berada di kelas 4 merasa tidak sanggup lagi.
“Saya pernah sekitar dua minggu atau seminggu tidak masuk sekolah karena tidak sanggup lagi bertemu orang yang terus mengolok-olok saya,” kisahnya.
Saat kelas lima, ada guru wali kelas memperhatikan situasi Zahrah yang mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya. Tak tinggal diam, guru itu pun memberikan pengetahuan tentang bullying ke para siswa dan menjelaskan tentang kondisi Zahrah.
Situasi menjadi lebih baik saat kelas enam. Ada siswa-siswa yang mengerti riwayat Zahrah dan menjadi sahabatnya. “Mereka mengerti karena tahu saya punya riwayat kanker,” ujarnya.
Semangat Zahrah bangkit ketika mulai duduk di bangku SMP. Ia aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Teman-teman sekolahnya juga ingin tahu apa itu kanker.
“Saya malah senang kalau ditanya kaya itu. Berarti orang ini ingin tahu informasi seputar kanker,” ucap dia.
Semangat juga Zahrah peroleh di YOAI. Di sana ada perkumpulan bernama Cancer Buster Community (CBC) untuk mereka yang sembuh dari kanker. Ada sharing session di perkumpulan itu, seperti sesi motivasi, sesi untuk psikologi, dan sesi medis.
“Kita sharing dan tidak perlu minder untuk mengungkapkan sesuatu. Misalnya kalau kena bully,” jelas Zahrah.
Ia juga bercerita usai lulus sekolah kejuruan dan hendak melamar bekerja ada prosedur medical check up dan pertanyaan soal riwayat operasi.
“Saya itu tidak bisa lulus karena mata saya itu ada bekas operasinya padahal saya sanggup untuk bekerja. Saya sangat kecewa,” ungkapnya.
Meski mengalami stigma dan diskriminasi, Zahrah tidak menyerah. Riwayat kesehatan tidak menghalanginya untuk mengembangkan kreativitas. Dia bahkan jadi juara lomba puisi online.
Saat ini Zahrah sedang menempuh kuliah di Universitas Terbuka Jurusan Ilmu Komunikasi.
Mengejawantahkan Kebijakan Yang Memihak
Ruang lingkup anak dengan riwayat kanker tidak saja soal kesehatan. Ada sejumlah aspek yang mengelilinginya.
Peristiwa bullying di sekolah yang menimpa anak dengan kanker akibat peraturan dan regulasi yang belum akomodatif terhadap penciptaan ruang yang inklusif.
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), lembaga yang peduli atas masalah hak asasi manusia dan warga, menyebutkan bullying masuk dalam kategori kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Instrumen itu sebenarnya sudah ada di Kementerian Pendidikan. Ada mekanisme ketika memang terjadi bullying dalam kategori kekerasan itu bisa ditindaklanjuti,” ucap Alif Fauzi Nurwidiastomo dari LBH Jakarta.
Namun penyelesaiannya bisa jadi tidak terkesan win win solution. Perlu ada ruang aman perlu agar korban bullying ini bisa melanjutkan hak atas pendidikannya. Seringkali butuh menempuh mekanisme berjenjang yang melelahkan dan menguras emosi.
Di sisi lain bullying bisa berdampak pada kesehatan mental. Karena itu korban bullying ini atau wali keluarga bisa menempuh hak atas bantuan hukum sehingga bisa meminimalisir energi dari proses yang rumit itu.
Perlu ada perbandingan perihal gagasan sekolah inklusif yang sering bergaung, dengan sumber daya yang hadir di lembaga pendidikan dan kondisi faktualnya. Sejauh mana muatan yang bersifat mengedukasi prinsip universal dan inklusif itu bisa ditanamkan pada tiap siswa, guru, atau staf lain di lembaga pendidikan.
Tak hanya di sekolah, stigma dan diskriminasi juga terjadi saat melamar pekerjaan. Sehat jasmani dan rohani lazim menjadi prasyarat.
Terkait hal tersebut maka ada beberapa intervensi yang bisa dilakukan warga. Di antaranya dengan menguji pasal-pasal yang memang terkesan ataupun menimbulkan stigma dan diskriminasi, mendorong pembentuk undang-undang atau pemerintah untuk menghadirkan ruang-ruang inklusif, dan memaksimalkan peran lembaga negara independen seperti Komisi Nasional Disabilitas, Komnas HAM, dan KPAI jika memang korbannya adalah anak.
Alif juga menyoroti problem hak atas pekerjaan. Karena para orang tua ada yang terpaksa beralih pekerjaan ketika mengurus anaknya yang sedang menjalani pengobatan akibat kanker.
Menurutnya, paket undang-undang saat ini tidak menjamin penciptaan lapangan kerja yang bisa menjangkau seluruh warga negara. Ini bahkan memperpanjang ketidakpastian kerja.
“Pasar tenaga kerja easy hire, easy fired. Kondisi ini sangat rumit di Indonesia dan saling berkelindan.”
Bertautan dengan itu maka dia menilai bantuan sosial pemerintah perlu menyasar orang-orang dengan kendala atau kebutuhan karakteristik khusus. Seperti para orang tua ataupun keluarga pendamping pasien kanker anak mengingat proses pengobatan kanker membutuhkan waktu panjang dan sejumlah konsekuensi yang harus mereka hadapi.
Pemerintah yang punya konsern menurutnya juga harus mengejawantahkan dalam bentuk kebijakan. Beragam level kebijakan, baik di level undang-undang sampai peraturan daerah, harus mencerminkannya. Bukan seperti saat ini di mana pos anggaran di kesehatan dan pendidikan jauh lebih kecil daripada sektor pertahanan.
“Jadi jangan cuma berupa jargon dan pesan yang disampaikan kepada publik atau melalui kanal komunikasi pemerintah. Harus bisa kita lihat pengejawantahannya dalam beragam paket kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” ujarnya.
Sementara Zahrah sebagai survivor berharap Kementerian Kesehatan memiliki program atau kebijakan yang memberi dukungan dan afirmasi positif kepada pasien kanker.
“Menteri Kesehatan harus lebih memberi perhatian. Karena kanker di Indonesia semakin meningkat dan itu bukan dari kalangan anak-anak saja. Saya lihat di Indonesia itu jarang banget afirmasi mengenai kanker yang bagus,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post