Produk hasil tembakau seperti rokok jelas merugikan kesehatan karena menyebabkan kanker, penyakit jantung, stroke, maupun gangguan pernapasan. Namun regulasi yang longgar, budaya permisif, dan tingginya prevalensi perokok memungkinkan produk ini terus bergigi.
Buku berjudul; “A Giant Pack of Lies Part 2: Kebohongan Besar Industri Rokok” mengupas berbagai strategi dan taktik industri rokok yang harus berhadapan dengan fakta kasus kesehatan. Buku garapan sejumlah anggota Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta ini memuat sejumlah bab terkait dampak buruk rokok pada orang muda. Mulai dari intervensi industri si event olahraga, pekerja anak, hingga kampus.
Jumlah perokok Indonesia menempati posisi ketiga terbesar dunia. Peningkatan jumlah perokok dewasanya dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta pada 2021. Prevalensi perokok anak juga tertinggi kedua di dunia dengan angka perokok anak usia 10 hingga 18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Prevalensi ini diperkirakan akan terus naik jika tidak ada kebijakan yang lebih tegas.
Sementara hasil riset Kementerian Kesehatan (2015) mengungkapkan ekonomi Indonesia merugi US$45,9 miliar akibat konsumsi tembakau. Dengan hampir 2 juta kasus penyakit terkait tembakau dan 230.862 kematian terkait tembakau. Angka itu empat kali lipat lebih tinggi dari pendapatan hasil cukai rokok pada tahun yang sama.
Data BPJS Kesehatan (2018) menunjukkan rokok menjadi salah satu penyumbang penyakit katastropik yang menelan porsi pembiayaan terbesar di BPJS Kesehatan. Jumlahnya Rp 4,6 triliun. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan saat itu menemukan bahwa keuangan BPJS defisit karena sekitar 21 persen anggarannya terpakai untuk membiayai penyakit katastropik yang berkaitan dengan tembakau. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah berujar konsumsi rokok di Indonesia membuat beban Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai Rp27,7 triliun.
Salah satu masalah utama dalam pengendalian tembakau adalah lemahnya kebijakan pemerintah. Indonesia tidak meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah perjanjian internasional yang bertujuan mengurangi konsumsi tembakau dan melindungi kesehatan masyarakat, meskipun negara ini turut menyusun FCTC.
Penolakan Indonesia terhadap FCTC akibat kuatnya intervensi industri rokok. Bahkan industri ini berperan dalam penghilangan pasal yang mengatur zat adiktif pada produk tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan 2009.
Lobi perusahaan rokok juga dilakukan terkait peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) agar penerapannya tidak terlalu ketat. Serta menginginkan beberapa tempat strategis seperti kafe, hotel, dan kawasan ekonomi tetap bisa menjual rokok. Pembahasan Raperda KTR di DPRD DKI Jakarta pun menjadi tertunda meskipun sudah menjadi program legislasi prioritas sejak 2015. Pengaruh kuat industri di tingkat nasional terjadi dalam pembahasan RUU Pertembakauan sejak 2016. Banyak pasal yang ditentang oleh para pelaku industri rokok.
Industri ini berperan membantu lewat tanggung jawab sosial alias Corporate Social Responsibility (CSR) meliputi; pembangunan bandara oleh PT Gudang Garam di Kediri.
Hubungan dekat terjalin dengan pejabat pemerintah. Beberapa mantan pejabat beralih bekerja di perusahaan rokok pasca pensiun sehingga menciptakan potensi konflik kepentingan.
Meskipun jumlah perusahaan rokok berkurang sejak 2007 tetapi beberapa perusahaan besar masih menguasai pasar. Seperti PT HM Sampoerna dan Gudang Garam. Sektor ini tetap meraih untung dan tetap menjadi kontributor signifikan bagi pendapatan negara meskipun ada peningkatan cukai.
Industri terus berkembang termasuk dengan munculnya rokok elektronik sejak 2010. Rokok elektronik atau vape telah menjadi produk global dengan banyak varian sejak pertama kali muncul pada 1963 oleh Herbert A. Gilbert. Populer meski kontroversial terkait masalah kesehatan. Namun beberapa perusahaan besar mulai berinvestasi dengan memproduksi vape.
Ada klaim bahwa vape lebih aman daripada rokok konvensional meski penelitian medis menampakkan bahayanya. Termasuk kandungan nikotin, bahan kimia berbahaya, dan logam berat.
Pemasaran produk ini menyasar anak muda dengan banyak produk yang dipromosikan melalui media sosial dan influencer. Pemerintah dan organisasi kesehatan mengimbau pembatasan pemasaran, regulasi yang lebih ketat, serta peningkatan kesadaran mengenai dampak negatifnya. Perkembangan industri vape kian menambah kompleksitas upaya pengendalian tembakau di Indonesia.
Buku ini juga mengungkap rantai bisnis tembakau yang koruptif. Rantai bisnis tembakau di Indonesia menunjukkan ketidakadilan struktural. Petani tembakau berada di posisi paling bawah sedangkan tengkulak dan pabrik rokok mendominasi harga dan kualitas tembakau.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post